Memaafkan Kesalahan dan Mengubur Dendam
Waktu terus berputar dan beragam peristiwa ikut mengiringi
derap langkah kehidupan manusia. Adalah kenyataan bahwa problematika
hidup bermasyarakat sangatlah kompleks.
Yang demikian itu karena
masyarakat berikut seluruh lapisannya memiliki
karakter dan kepribadian
yang tidak sama.
Demikian pula tingkat pemahaman tentang agama dan kesiapan untuk
menjalankannya dalam kehidupan sehari-hari pun sangat beragam. Oleh
sebab itu, masing-masing individu hendaknya memiliki kesiapan jiwa yang
bisa menjadi bekal menghadapi keadaan apapun dengan tepat. Di antaranya
adalah sikap tabah dan lapang dada yang didukung oleh ilmu syariat. Bisa
dikatakan, secara umum orang itu siap untuk dipuji dan diberi, namun
sangat berat jika dicela dan dinodai. Di sinilah ujian, apakah seseorang
mampu menguasai dirinya saat pribadinya disinggung dan haknya
ditelikung. Dalam Al-Qur’an, Allah l memuji orang-orang yang mampu
menahan amarahnya seperti firman-Nya:
“Dan orang-orang yang menahan amarahnya.” (Ali ’Imran: 134)
Demikian pula Rasulullah n telah menegaskan bahwa orang yang mampu menahan dirinya di saat marah dia sejatinya orang yang kuat. Rasulullah n bersabda:
لَيْسَ الشَّدِيْدُ باِلصُّرْعَةِ إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
“Orang yang kuat bukan yang banyak mengalahkan orang dengan
kekuatannya. Orang yang kuat hanyalah yang mampu menahan dirinya di saat
marah.” (HR. Al-Bukhari no. 6114)
Memaafkan
Adalah amalan yang sangat mulia ketika seseorang mampu bersabar
terhadap gangguan yang ditimpakan orang kepadanya serta memaafkan
kesalahan orang padahal ia mampu untuk membalasnya. Gangguan itu
bermacam-macam bentuknya. Adakalanya berupa cercaan, pukulan, perampasan
hak, dan semisalnya. Memang sebuah kewajaran bila seseorang menuntut
haknya dan membalas orang yang menyakitinya. Dan dibolehkan seseorang
membalas kejelekan orang lain dengan yang semisalnya. Namun alangkah
mulia dan baik akibatnya bila dia memaafkannya. Allah l berfirman:
“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa.
Barangsiapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan)
Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.”
(Asy-Syura: 40)
Ayat ini menyebutkan bahwa tingkat pembalasan ada tiga:
Pertama:
Adil, yaitu membalas kejelekan dengan kejelekan serupa,
tanpa menambahi atau mengurangi. Misalnya jiwa dibalas dengan jiwa,
anggota tubuh dengan anggota tubuh yang sepadan, dan harta diganti
dengan yang sebanding.1
Kedua:
Kemuliaan, yaitu memaafkan orang yang berbuat jelek kepadanya
bila dirasa ada perbaikan bagi orang yang berbuat jelek. Ditekankan
dalam pemaafan, adanya perbaikan dan membuahkan maslahat yang besar.
Bila seorang tidak pantas untuk dimaafkan dan maslahat yang sesuai
syariat menuntut untuk dihukum, maka dalam kondisi seperti ini tidak
dianjurkan untuk dimaafkan.
Ketiga: Zalim yaitu berbuat jahat kepada orang dan membalas orang
yang berbuat jahat dengan pembalasan yang melebihi kejahatannya. (Lihat
Taisir Al-Karim Ar-Rahman hal. 760, cet. Ar-Risalah)
Kedudukan yang mulia
Memaafkan kesalahan orang acapkali dianggap sebagai sikap lemah dan
bentuk kehinaan, padahal justru sebaliknya. Bila orang membalas
kejahatan yang dilakukan seseorang kepadanya, maka sejatinya di mata
manusia tidak ada keutamaannya. Tapi di kala dia memaafkan padahal mampu
untuk membalasnya, maka dia mulia di hadapan Allah l dan manusia.
Berikut beberapa kemuliaan dari memaafkan kesalahan.
1. Mendatangkan kecintaan
Allah l berfirman dalam surat Fushshilat ayat 34-35:
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu)
dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan
antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat
setia. Dan sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan
kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” (Fushshilat: 34-35)
Ibnu Katsir t menerangkan: “Bila kamu berbuat baik kepada orang yang
berbuat jelek kepadamu maka kebaikan ini akan menggiring orang yang
berlaku jahat tadi merapat denganmu, mencintaimu, dan condong kepadamu
sehingga dia (akhirnya) menjadi temanmu yang dekat. Ibnu ‘Abbas c
mengatakan: ‘Allah l memerintahkan orang beriman untuk bersabar di kala
marah, bermurah hati ketika diremehkan, dan memaafkan di saat
diperlakukan jelek. Bila mereka melakukan ini maka Allah l menjaga
mereka dari (tipu daya) setan dan musuh pun tunduk kepadanya sehingga
menjadi teman yang dekat’.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim 4/109)
2. Mendapat pembelaan dari Allah l
Al-Imam Muslim t meriwayatkan hadits Abu Hurairah z bahwa ada seorang
laki-laki berkata: ”Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku punya kerabat.
Aku berusaha menyambungnya namun mereka memutuskan hubungan denganku.
Aku berbuat kebaikan kepada mereka namun mereka berbuat jelek. Aku
bersabar dari mereka namun mereka berbuat kebodohan terhadapku.” Maka
Rasulullah n bersabda:
لَئِنْ كُنْتَ كَمَا قُلْتَ فَكَأَنَّمَا تُسِفُّهُمُ الْمَلَّ وَلَا
يَزَالُ مَعَكَ مِنَ اللهِ ظَهِيرٌ عَلَيْهِمْ مَا دُمْتَ عَلَى ذَلِكَ
“Jika benar yang kamu ucapkan maka seolah-olah kamu menebarkan abu
panas kepada mereka. Dan kamu senantiasa mendapat penolong dari Allah l
atas mereka selama kamu di atas hal itu.” (HR. Muslim)
3. Memperoleh ampunan dan kecintaan dari Allah l
Allah l berfirman:
“Dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka)
maka sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.”
(At-Taghabun: 14)
Adalah Abu Bakr z dahulu biasa memberikan nafkah kepada orang-orang
yang tidak mampu, di antaranya Misthah bin Utsatsah. Dia termasuk famili
Abu Bakr dan muhajirin. Di saat tersebar berita dusta seputar ‘Aisyah
binti Abi Bakr istri Nabi n, Misthah termasuk salah seorang yang
menyebarkannya. Kemudian Allah l menurunkan ayat menjelaskan kesucian
‘Aisyah dari tuduhan kekejian. Misthah pun dihukum dera dan Allah l
memberi taubat kepadanya. Setelah peristiwa itu, Abu Bakr z bersumpah
untuk memutuskan nafkah dan pemberian kepadanya. Maka Allah l menurunkan
firman-Nya:
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di
antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan)
kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang
berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang
dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah
adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (An-Nur: 22)
Abu Bakar z mengatakan: “Betul, demi Allah. Aku ingin agar Allah l
mengampuniku.” Lantas Abu Bakr z kembali memberikan nafkah kepada
Misthah z. (lihat Shahih Al-Bukhari no. 4750 dan Tafsir Ibnu Katsir
3/286-287)
Nabi n bersabda:
“Sayangilah-makhluk-maka kamu akan disayangi Allah l, dan berilah
ampunan niscaya Allah l mengampunimu.” (Shahih Al-Adab Al-Mufrad no.
293)
Al-Munawi t berkata: “Allah l mencintai nama-nama-Nya dan
sifat-sifat-Nya yang di antaranya adalah (sifat) rahmah dan pemaaf.
Allah l juga mencintai makhluk-Nya yang memiliki sifat tersebut.”
(Faidhul Qadir 1/607)
Adapun Allah l mencintai orang yang memaafkan, karena memberi maaf
termasuk berbuat baik kepada manusia. Sedangkan Allah l cinta kepada
orang yang berbuat baik, sebagaimana firman-Nya:
“Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan)
orang. Allah l menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Ali
‘Imran: 134)
4. Mulia di sisi Allah l maupun di sisi manusia
Suatu hal yang telah diketahui bahwa orang yang memaafkan kesalahan
orang lain, disamping tinggi kedudukannya di sisi Allah l, ia juga mulia
di mata manusia. Demikian pula ia akan mendapat pembelaan dari orang
lain atas lawannya, dan tidak sedikit musuhnya berubah menjadi kawan.
Nabi n bersabda:
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ
إِلاَّ عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللهُ
“Shadaqah –hakikatnya– tidaklah mengurangi harta, dan tidaklah Allah l
menambah seorang hamba karena memaafkan kecuali kemuliaan, dan tiada
seorang yang rendah hati (tawadhu’) karena Allah l melainkan diangkat
oleh Allah l.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah z)
Kapan memaafkan itu terpuji?
Seseorang yang disakiti oleh orang lain dan bersabar atasnya serta
memaafkannya padahal dia mampu membalasnya maka sikap seperti ini sangat
terpuji. Nabi n bersabda (yang artinya): “Barangsiapa menahan amarahnya
padahal dia mampu untuk melakukan –pembalasan– maka Allah l akan
memanggilnya di hari kiamat di hadapan para makhluk sehingga memberikan
pilihan kepadanya, bidadari mana yang ia inginkan.” (Hadits ini
dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah no.
3394)
Demikian pula pemaafan terpuji bila kesalahan itu berkaitan dengan
hak pribadi dan tidak berkaitan dengan hak Allah l. ‘Aisyah x berkata:
“Tidaklah Rasulullah n membalas atau menghukum karena dirinya (disakiti)
sedikit pun, kecuali bila kehormatan Allah l dilukai. Maka beliau
menghukum dengan sebab itu karena Allah l.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Oleh karena itu, tidaklah beliau disakiti pribadinya oleh orang-orang
Badui yang kaku perangainya, atau orang-orang yang lemah imannya, atau
bahkan dari musuhnya, kecuali beliau memaafkan. Ada orang yang menarik
baju Nabi n dengan keras hingga membekas pada pundaknya. Ada yang
menuduh Nabi n tidak adil dalam pembagian harta rampasan perang. Ada
pula yang hendak membunuh Nabi n namun gagal karena pedang terjatuh dari
tangannya. Mereka dan yang berbuat serupa dimaafkan oleh Nabi n. Ini
semua selama bentuk menyakitinya bukan melukai kehormatan Allah l dan
permusuhan terhadap syariat-Nya. Namun bila menyentuh hak Allah l dan
agamanya, beliau pun marah dan menghukum karena Allah l serta
menjalankan kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar. Oleh karena itu, beliau
melaksanakan cambuk terhadap orang yang menuduh istri beliau yang suci
berbuat zina. Ketika menaklukkan kota Makkah, beliau memvonis mati
terhadap sekelompok orang musyrik yang dahulu sangat menyakiti Nabi
karena mereka banyak melukai kehormatan Allah l. (disarikan dari Al-Adab
An-Nabawi hal. 193 karya Muhammad Al-Khauli)
Kemudian, pemaafan dikatakan terpuji bila muncul darinya akibat yang
baik, karena ada pemaafan yang tidak menghasilkan perbaikan. Misalnya,
ada seorang yang terkenal jahat dan suka membuat kerusakan di mana dia
berbuat jahat kepada anda. Bila anda maafkan, dia akan terus berada di
atas kejahatannya. Dalam keadaan seperti ini, yang utama tidak memaafkan
dan menghukumnya sesuai kejahatannya sehingga dengan ini muncul
kebaikan, yaitu efek jera. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t menegaskan:
“Melakukan perbaikan adalah wajib, sedangkan memaafkan adalah sunnah.
Bila pemaafan mengakibatkan hilangnya perbaikan berarti mendahulukan
yang sunnah atas yang wajib. Tentunya syariat ini tidak datang membawa
hal yang seperti ini.” (lihat Makarimul Akhlaq karya Asy-Syaikh Ibnu
‘Utsaimin hal. 20)
Faedah
Ada masalah yang banyak dilakukan orang dengan tujuan berbuat baik,
misalnya kala seseorang mengemudikan kendaraannya lalu menabrak
seseorang hingga meninggal. Kemudian keluarga korban datang dan
menggugurkan diyat (tebusan) dari pelaku kecelakaan. Apakah perbuatan
mereka menggugurkan tebusan termasuk perkara terpuji, atau dalam hal ini
perlu ada perincian?
Dalam masalah ini, yang benar ada perincian, yaitu melihat kondisi
orang yang menabrak. Apakah dia termasuk orang yang ugal-ugalan dan
tidak peduli siapa pun yang dia tabrak? Bila seperti ini, yang utama
adalah tidak dimaafkan agar memunculkan efek jera. Juga agar manusia
selamat dari kejahatannya. Tetapi bila yang menabrak orangnya baik dan
sudah berhati-hati serta mengemudikan kendaraannya dengan stabil, maka
di sini pun ada perincian:
1. Bila si korban punya utang yang tidak bisa dibayar kecuali dengan
uang tebusan maka bagi ahli waris tidak ada hak untuk menggugurkan
tebusan.
2. Bila si korban tidak punya utang namun dia punya anak-anak yang
masih kecil dan belum mampu usaha, maka tidak ada hak bagi ahli waris
untuk memaafkan pelaku.
Bila dua keadaan ini tidak ada, maka memaafkan lebih utama.
(disarikan dari Kitabul ‘Ilmi hal. 188-189 karya Asy-Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-‘Utsaimin t)
Manusia-manusia pilihan
Orang yang mulia selalu menghiasi dirinya dengan kemuliaan dan selalu
berusaha agar dalam hatinya tidak bersemayam sifat-sifat kejelekan.
Para Nabi Allah l merupakan teladan dalam hal memaafkan kesalahan orang.
Misalnya adalah Nabi Yusuf q. Beliau telah disakiti oleh
saudara-saudaranya sendiri dengan dilemparkan ke dalam sumur, lantas
dijual kepada kafilah dagang sehingga berpindah dari satu tempat ke
tempat lainnya, dengan menanggung penderitaan yang tiada taranya. Namun
Allah l berkehendak memuliakan hamba-Nya melalui ujian ini. Allah l pun
mengangkat kedudukan Nabi Yusuf q sehingga menjadi bendahara negara di
Mesir kala itu. Semua orang membutuhkannya, tidak terkecuali
saudara-saudaranya yang dahulu pernah menyakitinya. Tatkala mereka
datang ke Mesir untuk membeli kebutuhan pokok mereka, betapa terkejutnya
saudara-saudara Nabi Yusuf q ketika tahu bahwa Nabi Yusuf q telah
diangkat kedudukannya sebegitu mulianya. Mereka pun meminta maaf atas
kesalahan mereka selama ini. Nabi Yusuf q memaafkannya dan tidak
membalas. Beliau q mengatakan:
“Pada hari ini tak ada cercaan terhadap kalian, mudah-mudahan Allah
mengampuni (kalian), dan Dia adalah Maha penyayang di antara para
Penyayang.” (Yusuf: 92)
Demikian pula Nabi Musa dan Nabi Khidhir e, ketika keduanya melakukan
perjalanan dan telah sampai pada penduduk suatu negeri. Keduanya
meminta untuk dijamu oleh penduduk negeri itu karena mereka adalah tamu
yang punya hak untuk dijamu. Namun penduduk negeri itu tidak mau
menjamu. Ketika keduanya berjalan di negeri itu, didapatkannya dinding
rumah yang hampir roboh, maka Nabi Khidhir q menegakkan dinding
tersebut.
Adapun Nabi Muhammad n, beliau adalah manusia yang terdepan dalam
segala kebaikan. Pada suatu ketika ada seorang wanita Yahudi memberi
hadiah kepada Nabi n berupa daging kambing. Nabi n tidak tahu ternyata
daging itu telah diberi racun. Nabi n pun memakannya. Setelah itu Nabi n
diberi tahu bahwa daging itu ada racunnya. Nabi n berbekam dan dengan
seizin Allah l beliau tidak meninggal. Wanita tadi dipanggil dan ditanya
maksud tujuannya. Ternyata dia ingin membunuh Nabi n. Maka Nabi n
memaafkan dan tidak menghukumnya. (Bisa dilihat di Shahih Al-Bukhari no.
2617 dan Zadul Ma’ad 3/298)
Wallahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar