Fatimah Azzahra dan Ali bin Abi Thalib yang saling menjaga perasaan
Dua pasangan ini mengajarkan kita tentang menjaga perasaan dengan cara
yang baik. Mengutamakan ketaatan kepada Allah diatas segalanya, termasuk
perasaan terhadap sesema manusia yang kian berkecamuk dalam dadanya.
Namun sayang fenomenanya saat ini.
Sudah jarang sekali muda-mudi yang
memiliki rasa malu seperti Fatimah Azzahra dan Ali bin Abi Thalib. Sudah
terlalu sering kita menyaksikan mereka yang dengan mudahnya mengumbar
kemesraan jelas.
Mari kita kembalikan kisah romantisnya pada masa
Fatimah dan Ali.
Ketika itu Ali hanya seorang pemuda biasa yang hanya
memiliki harta baju besi yang sedang ia gadaikan. Ia mencintai Fatimah,
namun dirinya merasa tidak pantas jika harus mendatangi Rasulullah untuk
menikahi Fatimah tanpa kemapanan harta yang cukup.
Dalam ikhtiarnya
memantaskan diri untuk Fatimah, selalu saja ada cerita yang ia dengar
dan hampir mematahkan semangatnya. Seperti ketika ia mendengar cerita
Abu Bakar dengan kesalihan dan kemapanan yang dimilikinya mendatangi
Rasulullah bermaksud untuk menjadikan Fatimah sebagai Istrinya.
Mendengar itu Ali kecewa namun dia lebih mendahulukan kebahagiaan
Fatimah dibandingkan dirinya, ia berusaha menata hati untuk
mengikhlaskan. Karena dia yakin Fatimah akan lebih bahagia dengan Abu
Bakar jika dibandingkan dengan dirinya yang tidak punya apa-apa. Namun
kemudian Rasulullah tidak menerima lamaran Abu Bakar, dengan alasan
Fatimah masih terlalu muda.
Begitupan dengan Umar dan Utsman, kedua
sahabat Ali yang juga tidak kalah salih dan kaya itu pun ditolak oleh
Rasulullah. Betapa kejadian itu kian menimbulkan keresahannya timbul
tenggelam.
Suatu hari datanglah Ali menemui Rasulullah dengan
segala kekurangan dan kelebihannya. Ia memberanikan diri menghadap
rasulullah dan menyampaikan maksud hatinya untuk meminta Fatimah menjadi
istrinya, singkat cerita, Rasulullah menerimanya.
Lalu
keromantisan Fatimah dan Ali berlanjut terus hingga mereka menjadi
pasangan suami dan istri. Suatu hari pernah Fatimah Az Zahra mengatakan
sesuatu tanpa disengaja dan perkataan itu membuat hati Ali terusik.
Menyadari bahwa ia bersalah, Fatimah segera meminta maaf berulang-ulang
kali kepada Ali.
Melihat wajah Ali tak juga berubah, maka Fatimah
Az-Zahra berlalri-lari kecil di sekitar Ali. Sebanyak 7 kali ia ‘tawaf’
sambil merayu-rayu mohon untuk dimaafkan. Melihat tingkah Fatimah di
hadapannya, Ali tak dapat menahan senyum. Kemudian ia tersenyum dan
memaafkan kesalahan isterinya.
Selain memiliki sifat yang romantis
terhdap suami, ia juga anak yang memiliki sisi romantisme terhadap
ayahnya. Mendengar kejadian itu, Rasulullah berkata pada putrinya. “Wahai
Fatimah, kalaulah dikala itu engkau mati sedangkan suamimu tidak
memaafkanmu, niscaya aku tidak akan menyolatkan jenazahmu.”
Dalam
hal ini, Rasulullah sedang mengajarkan pada putrinya (juga pada kita
para isteri salihah) tentang bagaimana kedudukan seorang suami sebagai
pemimpin di keluarga. Agar para isteri mampu menghargai suaminya dan mau
menjaga perasaan suami. Kepatuhan seorang Fatimah juga ia lakukan
karena Ali adalah suami yang memang pantas untuk diapatuhi dan dituruti
kata-katanya.
Hadits dianjurkannya seorang istri patuh kepada suami ada
pula dalam hadits berikut.
“Wanita mana saja yang meninggal dunia,
kemudian suaminya merasa ridho terhadapnya, maka ia akan masuk surga.”
(HR Ibnu Majah, dan dihasankan oleh Imam Tarmidzi).
Hadits
lainnya juga dikatakan.
“Jika seorang wanita melaksanakan shalat lima
waktunya, melaksanakan shaum pada bulannya, menjaga kemaluannya, dan
mentaati suaminya, maka ia akan masuk surga dari pintu mana saja ia
kehendaki.” (HR Ibnu Hibban dalam Shahihnya).
0 komentar:
Posting Komentar