Senin, 16 Mei 2016

Out Of The Box

Berpikir dan Bertindak "Out Of The Box"

Hal yang terindah adalah melihat seseorang tersenyum, Tapi yang terlebih indah adalah mengetahui bahwa engkau adalah alasan di belakangnya!

Berikut tulisan Bapak Perry Tristianto, salah seorang usahawan terkemuka di kota Bandung yang menginspirasi....

 
Ada seorang anak laki-aki tunanetra duduk di tangga sebuah bangunan dengan sebuah topi terletak di dekat kakinya. Ia mengangkat sebuah papan yang bertuliskan: “Saya buta, tolong saya”. Tak berapa lama, nampak hanya ada beberapa keping uang di dalam topi itu. Kemudian datanglah seorang pria berjalan melewati tempat anak ini. Ia mengambil beberapa keping uang dari sakunya dan menjatuhkannya ke dalam topi itu. Lalu ia mengambil papan, membaliknya dan menulis beberapa kata. Pria ini menaruh papan itu kembali sehingga orang yang lalu lalang dapat melihat apa yang baru saja ia tuliskan. 

Segera sesudahnya, topi itu pun terisi penuh. Semakin banyak orang memberi uang kepada  anak tuna netra ini. Sore itu pria yang telah mengubah kata-kata di papan tersebut datang untuk melihat perkembangan yang terjadi. Anak ini mengenali langkah kakinya dan bertanya, “Apakah Bapak yang telah mengubah tulisan di papanku tadi pagi? Apa yang bapak tulis?” 

Pria itu berkata, “Saya hanya menuliskan sebuah kebenaran. Saya menyampaikan apa yang kamu telah tulis dengan cara yang berbeda”. Apa yang ia telah tulis adalah: “Hari ini adalah hari yang indah dan saya tidak bisa melihatnya”. Bukankah tulisan yang pertama dengan yang kedua sebenarnya sama saja artinya? 

Benar. Tentu arti kedua tulisan itu sama, yaitu bahwa anak itu buta. Tetapi, tulisan yang pertama hanya mengatakan bahwa anak itu buta. Sedangkan, tulisan yang kedua mengatakan kepada orang-orang bahwa mereka sangatlah beruntung bahwa mereka dapat melihat. Apakah kita perlu terkejut melihat tulisan yang kedua lebih efektif? 
 
Dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam menjalankan kewirausahaan, seringkali kita terjebak oleh pemikiran-pemikiran biasa. Ketika kita menghadapi masalah, seringkali kita terpaku kepada permasalahannya, dan tidak berusaha keluar dari masalah itu dengan melihatnya dari berbagai sisi. Kita  merasa jenuh, seringkali mengatakan segala sesuatunya sudah mentok. Padahal masih ada hal yang dapat kita ulang kembali dengan melihat permasalahan yang kita hadapi dengan cara berbeda. Kita seringkali terkurung dan terpatok untuk menjalani hidup yang rutin, bisnis yang “sekadar jalan”, tanpa berusaha melihat sisi lain yang barangkali memberikan peluang lebih bagus. Ketika bisnis kita sudah jalan dengan lancar kita lalu mandek, berhenti dan tidak lagi melakukan terobosan-terobosan berarti. Maka kita mengatakan bisnis kita ‘jalan di tempat’.

Seorang teman yang membuka kios kelontongan di pinggir jalan, dengan tambahan warnet di ruangan yang tersisa setiap hari mengeluh tentang semakin sepinya konsumen dan pengunjung warnetnya. Ia terjebak dengan kegiatan rutin, buka kios dan warnet, menunggu pembeli dan pengunjung, dan menghitung perolehan hari itu. Kadang dia mengeluhkan tentang setoran ke bank yang tidak mencukupi, sehingga ia berputar-putar pada masalahnya, tanpa usaha untuk mencari terobosan dengan cara beda. Padahal, tempat atau lokasi  kios itu strategis sekali. Pinggir jalan utama dekat perempatan, yang selalu dilewati banyak orang selama 24 jam. Toh ia masih mengeluh bisnisnya sepi. 

Saya coba melihat dari sisi yang beda. Ia buka kiosnya dengan jam yang tidak teratur. Kadang jam 9 pagi, kadang jam 11. Bahkan beberapa kali saya lihat lewat tengah hari kios masih tutup. Ketika mengunjunginya suatu hari dan saya tanyakan kenapa sudah siang belum juga buka, dengan enteng dia menjawab, “Habis baru jam lima tadi saya tidur!”

Padahal ada anak yang sudah dapat diminta tolong untuk menjaga kios atau warnet, ada isteri dan saudara-saudara isterinya yang juga dapat dimintakan bantuannya untuk keperluan itu. Memang saya belum masuk terlalu jauh untuk menanyakan cash flownya. Yang saya amati dan dapat saya prediksikan dia kurang telaten untuk melakukan pencatatan atau pembukuan tentang keuangannya. Di samping itu ia juga kurang disiplin dalam mengelola kiosnya. Ia tidak pernah membuat jadwal atau menggilir anak atau saudara-saudaranya untuk menjaga kios dan warnet.  Jika ada anaknya atau saudara isterinya mengambil barang dari kiosnya, ia tidak pernah mencatat atau membayarnya. Dengan demikian, modal yang berputar itu dapat saja digerogoti oleh hal-hal kecil yang tidak diperhatikannya. Mungkin dari sisi itu ada kelemahan yang dapat dilakukan perbaikan.

Di samping “keluar dari kotak” (out of the box), pemikiran yang rutin, masih ada hal lain yang juga menjadi kelemahan para wirausahawan kita. Tidak hanya para wirausahawan, bahkan Koentjaraningrat pada akhir abad silam telah mengingatkan bahwa salah satu kelemahan mentalitas bangsa kita adalah suka menerabas. Kita lebih akrab dengan istilah “budaya instan”. Maunya serba cepat, serba oke, cepat berhasil, cepat sohor, cepat kaya tanpa mau bersusah payah menjalani prosesnya. 

Banyak orang menawarkan kiat-kiat sukses yang menurut mereka instan. Menurut mereka menjadi kaya atau sukses tidak perlu bekerja keras karena ada formula “rahasia” untuk bisa meraih kekayaan dan kesuksesan seperti itu. Yang membuat sedih adalah mereka membangun mentalitas instan di dalam masyarakat, sehingga orang lupa bahwa proses adalah hukum alam untuk semua hal. Tidak ada orang yang begitu lahir terus langsung berlari. Setiap orang harus melewati proses pembelajaran setahap demi setahap untuk sekadar bisa berlari.

Tidak ada pohon atau peternakan siap saji. Yang ada adalah kebun sayur, yang harus dipelihara sejak kecil, disirami, dipupuk, dilindungi dari serangan hama, dipanen melewati mata rantai perdagangan yang panjang sebelum akhirnya masuk  ke dapur, dicuci, di potong-potong, dipanaskan dalam tungku api, diberi aneka bumbu sebelum akhirnya dapat terhidang di meja makan atau restoran.

Sebagian masyarakat kita adalah orang-orang yang lupa atau tidak melihat hukum alam ini. Dalam hidup kita berhadapan dengan hukum alam yang tidak bisa dilawan. Hidup ini seperti makan di restoran. Kita harus membayar dulu setiap porsi makanan yang kita makan. Tidak ada makanan yang gratis. Soalnya, kita memilih model restoran yang bayar dulu baru makan, atau makan dulu baru bayar kemudian. Persis seperti itulah hidup. Untuk setiap kesenangan, setiap keberhasilan, setiap kesuksesan, orang harus membayar harganya. 

Semakin besar nilai keberhasilan, kesenangan atau kesuksesan yang ingin diperoleh, semakin besar pula bayaran yang harus kita berikan. Kita juga bisa memilih jenis restoran yang bayar dulu atau bayar kemudian. Membayar di depan berarti kita harus bekerja keras, bersusah payah, membanting tulang memeras keringat dan jika perlu penuh dengan darah dan air mata, karena itulah harga yang harus kita bayar untuk mendapatkan  keberhaslan. Membayar di belakang berarti bersenang-senang dahulu, bersakit-sakit berkepanjangan…

Bahkan ada pula para pemuja budaya instan, yang “mau makan tanpa bayar”. Orang macam ini ingin hidup santai, nyaman, sukses dan kaya tanpa mau bekerja keras. Orang-orang macam ini ingin cepat mendapatkan pekerjaan tertentu sehingga menyuap pun dilakukan. Orang ingin cepat kaya dengan mudah, maka yang dilakukan adalah mencuri, merampok, menghipnotis, berjudi dan korupsi. 

Pemerintah ingin memberantas kriminalitas, narkoba dan korupsi, yang dilakukan adalah pidato dan kampanye antikriminalitas, antinarkoba dan antikorupsi, tanpa pernah meneliti akar permasalahannya. Tanpa mencoba mengatasi dengan cara melewati prosesnya… Padahal, sesederhana macam apa pun segala hal yang ada di dunia ini harus ada prosesnya. Ini hukum alam. Dan, sekali lagi  kita tak dapat melawan hukum alam. 

Kembali pada pemikiran “out of the box”, marilah kita mengajak orang-orang lain menuju hal-hal yang baik dengan hikmat. Jalani hidup ini tanpa dalih dan mengasihi tanpa rasa sesal. Ketika hidup memberi engkau 100 alasan untuk menangis, tunjukkan pada hidup bahwa engkau memiliki 1000 alasan untuk tersenyum.  

Hadapi masa lalumu tanpa sesal. Tangani saat sekarang dengan percaya diri. Bersiaplah untuk masa depan tanpa rasa takut. Peganglah iman dan tanggalkan ketakutan. 

Orang bijak berkata, 

“Hidup harus menjadi sebuah proses perbaikan yang terus berlanjut, membuang kejahatan dan mengembangkan kebaikan. Jika engkau ingin menjalani hidup tanpa rasa takut, engkau harus memiliki hati nurani yang baik sebagai tiketnya”.  

Moral dari cerita ini: 
Bersyukurlah untuk segala yang kau miliki. Jadilah kreatif. Jadilah inovatif. Berpikirlah dari sudut pandang yang berbeda dan positif. Keluar dari “kotak” dan cobalah untuk melihat dari sudut pandang yang tidak biasa.



semoga.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Press Release Distribution