Jumat, 26 April 2013

Pelajaran Tentang Karunia Allah

Sebuah Pelajaran Tentang Karunia Allah

“Dan jikalau Allah melapangkan rezki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.” (Q.S. As Syura [42]:27)


Ada dua pelajaran hidup yang hamba itu dapatkan dalam beberapa minggu terakhir ini. Sebuah pelajaran hidup yang dalam bahasa ‘iman’ diyakini sebagai sebuah hidayah Allah Azza wa Jalla yang tak ternilai harganya. Sebuah pemahaman yang menghentakkan pikiran dan sanggup mengisi relung di jiwa ini yang semula jauh dari ‘percaya’ menjadi ‘yakin’.

Pelajaran pertama datang dari seorang marbot Musholla yang amat sederhana. Seorang yang hanya mengecam pendidikan sampai kelas satu sekolah menengah pertama karena keterbatasan biaya. Seorang yang saat ini sudah dalam usianya yang lanjut dengan kacamata yang entah berapa minus yang disandangnya. Di suatu sore dalam perjalanan mencari karunia Allah, Hamba itu singgah untuk melaksanakan kewajiban shalat Ashar di Musholla sederhana itu dimana sang Bapak menjadi marbot-nya. Sang Bapak telah melaksanakan tugasnya menjadi marbot selama lebih dari 25 tahun. Ia sekaligus menjadi ‘imam besar’ nya karena tidak ada orang yang peduli atau mau untuk mengabdikan dirinya di musholla itu. Maklumlah, pada zaman sekarang ini anak-anak muda  lebih menghidar menjadi marbot Masjid karena dianggap sebuah pekerjaan hina dengan penghasilan yang amat minim.

Lokasinya Musholla ini  cukup strategis di wilayah Jakarta Selatan. Masjid-masjid besar yang suara adzan-nya selalu membahana mengalahkan pengeras suara TOA tua yang dilantunkan oleh sang bapak. Suara parau nya dalam usia 60-an tahun bergetar dan tidak lagi terasa merdunya. Musholla itu dikelilingi oleh rumah-rumah nan mewah dan besar. Musholla ini, walaupun kecil dalam ukuran tapi terlihat bersih dan tertata. Hal ini pula yang menjadikan hamba itu tertarik untuk singgah dan melaksanakan kewajiban  menghadap Sang Maha Hidup pemberi segala. Hanya ada empat orang yang melaksanakan shalat berjamaah Ashar sore itu. Sang Bapak menjadi imam diikuti oleh hamba itu, pemgemudi hamba itu dan seorang pedagang keliling dalam suasana hujan yang terdengar nyaring saat menyentuh atap Musholla.

Setelah shalat Ashar itu usai dilaksanakan. Hamba itu duduk di teras Musholla sembari menghayati suasana disekelilingnya yang begitu asri. Hujan yang mengguyur lebat hari-hari belakangan ini di Jakarta membuat suasana menjadi sendu sore itu. Hal ini bagaikan menjadi alasan bagi hamba itu untuk enggan beranjak. Saat itulah sang Bapak yang merupakan marbot Musholla sekaligus ‘imam besar’ mendekat dan bertanya.

” Assalamualaikum, Mas dari mana?”
Dengan senyuman, hamba itu menjawab salamnya dan menjelaskan bahwa dirinya hanya mampir sebentar sebelum meneruskan perjalanan. Seorang musafir yang haus akan suasana asri yang terpancar dari Musholla kecil itu.
Sang Bapak tertawa mendengarnya.
Dari pertanyaan kecil tadi timbul dialog antara hamba itu dengan sang Bapak. Dan tentu saja hal yang teramat penting untuk menjadi bahan dialog adalah keberadaan anggota keluarga terutama tentang jumlah anak dan pendidikannya.
“Anak saya ada tiga, mas. Yang pertama laki-laki sudah tamat dari UI dan sudah bekerja. Bahkan sudah berkeluarga. Yang kedua perempuan dan masih kuliah di UI. Dan yang ketiga laki-laki baru masuk UI juga. Baru semester pertama.”
Hamba itu seakan tidak percaya akan apa yang didengarnya. Ia berusaha meyakinkan ‘kehebohan’ yang ada di pikirannya dan tidak tertahankan untuk dilampiaskan.
“Maksud Bapak mereka bertiga kuliah di Universitas INDONESIA?” Hamba itu menanggapi dengan penekanan pada kata Indonesia.
Sang Bapak menggangguk dan tersenyum.
Saat itulah ada suatu ‘ketidakpercayaan’ muncul dibenak hamba itu. Bagai sebuah keangkuhan yang merasa diri lebih dan penting. Merasa tidak pantas bahwa seorang marbot Musholla kecil dapat menyekolahkan anak-anaknya di UI. Sebuah lembaga pendidikan penuh ‘gengsi’. Sungguh sebuah pemikiran yang tak pantas hinggap  dan bermuara pada pertanyaan ‘bodoh’ yang keluar dengan tidak tersaring lagi:
“Kok Bisa?”
Sang Bapak kembali tersenyum dan menjawab sekenanya.
“Karena Boss saya Allah. Semua mungkin buat Allah.” Begitu ia menjawab tanpa ragu.
Hamba itu seolah tersadar dan beristighfar. Sebuah tamparan keras bagai hinggap di wajahnya. Ia tertunduk layu. Kalimat pendek keluar dari lisannya.
“Subhanallah….Maukah Bapak bercerita pada saya rahasianya sehingga anak-anak Bapak bertiga dapat kuliah di UI?”
Dengan mimik yang tidak berubah dan kata-kata yang mengalir dengan santainya, sang Bapak menjelaskannya dalam logat jawa yang terasa kental.
“Saya itu bekerja untuk Allah. Kantor saya ya…Musholla ini. Sebagai seorang yang berkerja untuk tuannya, saya berusaha patuh kepada-Nya dan melaksanakan tugas saya dengan sungguh-sungguh……Saya selalu berdoa agar anak-anak saya bisa menjadi hamba-hamba-Nya yang bermanfaat bagi banyak orang.”
“Tapi pastinya Bapak punya banyak sampingan perkerjaan atau mungkin kotak amal Musholla ini banyak?” Tanya hamba itu lagi seolah belum yakin akan cerita sang Bapak.
“Tidak ada sampingan…yang ada ketika penghuni rumah-rumah gede disekitar sini minta bantuan tenaga, saya berusaha memenuhinya walau saya selalu bilang setengah jam sebelum masuk waktu shalat saya harus kembali ke Musholla dan pekerjaannya akan saya lanjutkan setelah shalat usai. Dan saya tidak bisa membantu malam hari selepas Maghrib karena harus mengajar anak-anak sekitar sini mengaji….Kalau soal kotak amal itu relatif, Musholla ini tidak mengadakan Jumatan dan kalau shalat fardu jemaahnya juga tidak banyak. Dan saya tidak pernah mengajukan proposal apapun…Saya tidak tahu cara membuat proposal.” Begitu jawaban sang Bapak polos.
Hamba itu hanya terdiam mendengarnya sebelum sang Bapak melanjutkan lagi.
“Ketika anak saya butuh uang kuliah. Saya minta pada Allah. Saya bangun di tengah malam untuk shalat Tahajud dan berdoa. saya bilang, ‘Ya Allah, saya cuma punya dua juta, saya mohon Engkau berikan saya delapan juta lagi agar bisa bayar uang kuliah anak saya sepuluh juta.’ Beberapa hari kemudian Allah dengan cara yang luar biasa memberikan saya rezeki…..Demikian juga sewaktu anak saya sakit, masuk rumah sakit perlu dana 5 juta. Saya minta lagi pada Allah, dan Allah berikan….Saya sangat sadar bahwa saya bekerja buat Allah…..yang memberi saya gaji ya Allah. Hidup ini tidak susah, mas…Kita tinggal minta sama Allah. Pasti diberi! Yang susah itu adalah bagaimana kita selalu taat pada Allah…Sabar akan ujian yang Dia berikan dan bersyukur saat Dia memberi.”
Penjelasan sang Bapak begitu lugas dan sederhana, tapi amat mengena di hati ini. Ia begitu yakin akan pertolongan Rabb-nya Yang Maha berkuasa. Tawakkal-nya begitu kuat dan taqlid (baca: penyerahan diri) begitu terpatri dalam di jiwanya.

Kejadian kedua adalah ketika hamba itu mencari kudapan untuk berbuka puasa sunnah Senin-Kamis yang ia lakukan. Hamba itu mampir di sebuah grobak penjual kue yang terlihat bersih di depan sebuah ‘mini market’ kenamaan yang  saat ini sedang melebarkan sayapnya ke berbagai penjuru. Kue-kue yang ia jual begitu menggugah selera. ia tidak menjual ‘gorengan’ yang diklaim oleh sebahagian kita tidak layak makan dan berakibat buruk pada kesehatan. Hamba itu memiliih beberapa macam kue seperti pastel, risoles, dadar pandan dan lemper. Sembari sang Bapak membungkusnya, hamba itu bertanya akan harganya. Sang Bapak menjawab,

“Semuanya sepuluh ribu, Pak”
Dengan sedikit kaget, hamba itu balik bertanya, “Satunya berapa, Pak?”
“Satunya seribu. Bapak beli sepuluh kan? Jadi semuanya sepuluh ribu?’
Dengan spontan hamba itu bertanya, “Apa bapak tidak rugi jual harga segini? Di tempat lain bisa tiga sampai empat ribu per potong, Pak?”
Sang Bapak tersenyum sembari berkata, “Allah memberi saya rezeki bukan dari berjualan kue, Pak. Jualan kue ini hanya ikhtiar saya saja. Soal rezeki saya serahkan saja pada Allah mau memberi berapa. Saya tidak pernah hitung-hitungan. Alhamdulillah saya dan istri sudah berjualan kue disini lebih dari 1o tahun dan tidak pernah merasa rugi.”
Hamba itu tertegun, sembari hampir tidak percaya akan apa yang keluar dari lisan sang Bapak.
“Subhanallah,” Hamba itu itu bergumam dalam hatinya. Sang Bapak benar, terkadang kita berpikir bahwa kita memperoleh rezeki hanya dari apa yang kita usahakan, padahal pada kenyataannya sering kali tidak demikian. Coba kita merenung. Berapa kali dalam hidup ini, kita memperoleh sesuatu secara tidak terduga dan tanpa disangka-sangka? Dari hal-hal yang sepele sampai hal-hal yang besar sekalipun hal ini sering kali terjadi. Sebagai contoh: Kita mendapat kiriman makanan yang lezat dari tetangga kita tanpa kita duga sebelumnya.  Hal lain yang kerap terjadi adalah kita dapat memiliki rumah bukanlah dari gaji yang kita peroleh atau keuntungan usaha yang kita dapatkan melainkan karena warisan yang diperoleh pasangan hidup kita dari orangtuanya.
Kita selalu memakai rumus matematika 1+1 = 2. Dalam analogi kita yang ‘sempit’ ini, kita selalu berpedoman bahwa besarnya ‘hasil’ adalah sesuai dengan besarnya ‘usaha’ yang kita lakukan. Rezeki yang banyak hanya dapat diperoleh dengan usaha yang sepadan intensitasnya. Dan dengan naif nya kita melupakan bahwa yang memberi rezeki itu adalah Allah Azza wa Jalla, Dzat Yang Maha Hidup dan Maha Mengawasi kita. Sisi lain yang juga harus kita pahami adalah kita memperoleh rezeki bukanlah karena keluasan ilmu yang kita miliki atau kehebatan kita dalam berusaha. Ilmu dan kecerdasan kita tidaklah berarti apa-apa tanpa izin Allah yang membuat kita dapat melakukan sesuatu usaha.
Dua orang hamba Allah, sang Bapak marbot Musholla dan sang Bapak penjual kue telah mengajarkan suatu pengajaran yang luar biasa. Sudah seharusnya kita memiliki pemikiran bahwa segala sesuatu yang kita usahakan  hanya ikhtiar (baca: usaha) untuk mencari keridhaan-Nya. Sedang hasilnya kita kembalikan pada Allah untuk memberi sesuai kadar ketentuan-Nya. Alangkah tenteram dan damainya hati ini jika setiap kita memiliki pemikiran yang sama dengan kedua hamba Allah yang sederhana ini. Dalam pandangan Allah mereka lah hamba-hamba-Nya yang mulia dan tinggi kedudukannya. Inginkah kita meraihnya?
Ayat pada QS As Syura ayat 27 diatas menerangkan pada kita bahwa Allah Azza wa Jalla memberi kepada hamba-hamba-Nya sesuai dengan apa yang mereka butuhkan bukan apa yang mereka inginkan. Sebagai contoh adalah Allah selalu memberi kita udara tanpa kita minta karena Allah tahu hal ini adalah kebutuhan kita. Dan Allah Azza wa Jalla amat sangat mengerti jika Dia mengikuti keinginan mereka dalam hal memberikan rezeki, hal itu akan berakibat buruk pada diri mereka sendiri. Mereka akan lupa mensyukuri nikmat-Nya dan bergelimang dalam kemaksiatan dan dosa yang tak berujung.
Bagaimanakah dengan orang-orang yang bergelimang dosa dan kemaksiatan tapi mereka tetap diberi kekayaan oleh Allah?
Apa yang mereka peroleh itu adalah sebuah istidraj dari Allah. Sesuatu yang Allah berikan dengan kebencian dan kelak akan menjadi alasan bagi mereka untuk memperoleh siksa-Nya. Sebuah hadish shahih yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Thabrani menerangkan akan hal ini:

Dari Ubah bin Amir radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila engkau melihat Allah memberikan kenikmatan dunia kepada seorang hamba, sementara dia masih bergelimang dengan maksiat, maka itu hakikatnya adalah istidraj dari Allah.”

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah Azza wa Jalla

Tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al-An’am [6]:44 

Yang fakir kepada ampunan
Rabb-nya Yang Maha Berkuasa

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Press Release Distribution