Sebuah Pelajaran Tentang Karunia Allah
“Dan jikalau Allah melapangkan rezki kepada hamba-hamba-Nya tentulah
mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa
yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui
(keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.” (Q.S. As Syura [42]:27)
Ada dua pelajaran hidup yang hamba itu dapatkan dalam beberapa minggu
terakhir ini. Sebuah pelajaran hidup yang dalam bahasa ‘iman’ diyakini
sebagai sebuah hidayah Allah Azza wa Jalla yang tak ternilai harganya.
Sebuah pemahaman yang menghentakkan pikiran dan sanggup mengisi relung
di jiwa ini yang semula jauh dari ‘percaya’ menjadi ‘yakin’.
Pelajaran pertama datang dari seorang marbot Musholla yang amat
sederhana. Seorang yang hanya mengecam pendidikan sampai kelas satu
sekolah menengah pertama karena keterbatasan biaya. Seorang yang saat
ini sudah dalam usianya yang lanjut dengan kacamata yang entah berapa
minus yang disandangnya. Di suatu sore dalam perjalanan mencari karunia
Allah, Hamba itu singgah untuk melaksanakan kewajiban shalat Ashar di
Musholla sederhana itu dimana sang Bapak menjadi marbot-nya. Sang Bapak
telah melaksanakan tugasnya menjadi marbot selama lebih dari 25 tahun.
Ia sekaligus menjadi ‘imam besar’ nya karena tidak ada orang yang peduli
atau mau untuk mengabdikan dirinya di musholla itu. Maklumlah, pada
zaman sekarang ini anak-anak muda lebih menghidar menjadi marbot Masjid
karena dianggap sebuah pekerjaan hina dengan penghasilan yang amat
minim.
Lokasinya Musholla ini cukup strategis di wilayah Jakarta Selatan.
Masjid-masjid besar yang suara adzan-nya selalu membahana mengalahkan
pengeras suara TOA tua yang dilantunkan oleh sang bapak. Suara parau nya
dalam usia 60-an tahun bergetar dan tidak lagi terasa merdunya.
Musholla itu dikelilingi oleh rumah-rumah nan mewah dan besar. Musholla
ini, walaupun kecil dalam ukuran tapi terlihat bersih dan tertata. Hal
ini pula yang menjadikan hamba itu tertarik untuk singgah dan
melaksanakan kewajiban menghadap Sang Maha Hidup pemberi segala. Hanya
ada empat orang yang melaksanakan shalat berjamaah Ashar sore itu. Sang
Bapak menjadi imam diikuti oleh hamba itu, pemgemudi hamba itu dan
seorang pedagang keliling dalam suasana hujan yang terdengar nyaring
saat menyentuh atap Musholla.
Setelah shalat Ashar itu usai dilaksanakan. Hamba itu duduk di teras
Musholla sembari menghayati suasana disekelilingnya yang begitu asri.
Hujan yang mengguyur lebat hari-hari belakangan ini di Jakarta membuat
suasana menjadi sendu sore itu. Hal ini bagaikan menjadi alasan bagi
hamba itu untuk enggan beranjak. Saat itulah sang Bapak yang merupakan
marbot Musholla sekaligus ‘imam besar’ mendekat dan bertanya.
” Assalamualaikum, Mas dari mana?”
Dengan senyuman, hamba itu menjawab salamnya dan menjelaskan bahwa
dirinya hanya mampir sebentar sebelum meneruskan perjalanan. Seorang
musafir yang haus akan suasana asri yang terpancar dari Musholla kecil
itu.
Sang Bapak tertawa mendengarnya.
Dari pertanyaan kecil tadi timbul dialog antara hamba itu dengan sang
Bapak. Dan tentu saja hal yang teramat penting untuk menjadi bahan
dialog adalah keberadaan anggota keluarga terutama tentang jumlah anak
dan pendidikannya.
“Anak saya ada tiga, mas. Yang pertama laki-laki sudah tamat dari UI
dan sudah bekerja. Bahkan sudah berkeluarga. Yang kedua perempuan dan
masih kuliah di UI. Dan yang ketiga laki-laki baru masuk UI juga. Baru
semester pertama.”
Hamba itu seakan tidak percaya akan apa yang didengarnya. Ia berusaha
meyakinkan ‘kehebohan’ yang ada di pikirannya dan tidak tertahankan
untuk dilampiaskan.
“Maksud Bapak mereka bertiga kuliah di Universitas INDONESIA?” Hamba itu menanggapi dengan penekanan pada kata Indonesia.
Sang Bapak menggangguk dan tersenyum.
Saat itulah ada suatu ‘ketidakpercayaan’ muncul dibenak hamba itu.
Bagai sebuah keangkuhan yang merasa diri lebih dan penting. Merasa tidak
pantas bahwa seorang marbot Musholla kecil dapat menyekolahkan
anak-anaknya di UI. Sebuah lembaga pendidikan penuh ‘gengsi’. Sungguh
sebuah pemikiran yang tak pantas hinggap dan bermuara pada pertanyaan
‘bodoh’ yang keluar dengan tidak tersaring lagi:
“Kok Bisa?”
Sang Bapak kembali tersenyum dan menjawab sekenanya.
“Karena Boss saya Allah. Semua mungkin buat Allah.” Begitu ia menjawab tanpa ragu.
Hamba itu seolah tersadar dan beristighfar. Sebuah tamparan keras
bagai hinggap di wajahnya. Ia tertunduk layu. Kalimat pendek keluar dari
lisannya.
“Subhanallah….Maukah Bapak bercerita pada saya rahasianya sehingga anak-anak Bapak bertiga dapat kuliah di UI?”
Dengan mimik yang tidak berubah dan kata-kata yang mengalir dengan
santainya, sang Bapak menjelaskannya dalam logat jawa yang terasa
kental.
“Saya itu bekerja untuk Allah. Kantor saya ya…Musholla ini. Sebagai
seorang yang berkerja untuk tuannya, saya berusaha patuh kepada-Nya dan
melaksanakan tugas saya dengan sungguh-sungguh……Saya selalu berdoa agar
anak-anak saya bisa menjadi hamba-hamba-Nya yang bermanfaat bagi banyak
orang.”
“Tapi pastinya Bapak punya banyak sampingan perkerjaan atau mungkin
kotak amal Musholla ini banyak?” Tanya hamba itu lagi seolah belum yakin
akan cerita sang Bapak.
“Tidak ada sampingan…yang ada ketika penghuni rumah-rumah gede
disekitar sini minta bantuan tenaga, saya berusaha memenuhinya walau
saya selalu bilang setengah jam sebelum masuk waktu shalat saya harus
kembali ke Musholla dan pekerjaannya akan saya lanjutkan setelah shalat
usai. Dan saya tidak bisa membantu malam hari selepas Maghrib karena
harus mengajar anak-anak sekitar sini mengaji….Kalau soal kotak amal itu
relatif, Musholla ini tidak mengadakan Jumatan dan kalau shalat fardu
jemaahnya juga tidak banyak. Dan saya tidak pernah mengajukan proposal
apapun…Saya tidak tahu cara membuat proposal.” Begitu jawaban sang Bapak
polos.
Hamba itu hanya terdiam mendengarnya sebelum sang Bapak melanjutkan lagi.
“Ketika anak saya butuh uang kuliah. Saya minta pada Allah. Saya
bangun di tengah malam untuk shalat Tahajud dan berdoa. saya bilang, ‘Ya
Allah, saya cuma punya dua juta, saya mohon Engkau berikan saya delapan
juta lagi agar bisa bayar uang kuliah anak saya sepuluh juta.’ Beberapa
hari kemudian Allah dengan cara yang luar biasa memberikan saya
rezeki…..Demikian juga sewaktu anak saya sakit, masuk rumah sakit perlu
dana 5 juta. Saya minta lagi pada Allah, dan Allah berikan….Saya sangat
sadar bahwa saya bekerja buat Allah…..yang memberi saya gaji ya Allah.
Hidup ini tidak susah, mas…Kita tinggal minta sama Allah. Pasti diberi!
Yang susah itu adalah bagaimana kita selalu taat pada Allah…Sabar akan
ujian yang Dia berikan dan bersyukur saat Dia memberi.”
Penjelasan sang Bapak begitu lugas dan sederhana, tapi amat mengena
di hati ini. Ia begitu yakin akan pertolongan Rabb-nya Yang Maha
berkuasa. Tawakkal-nya begitu kuat dan taqlid (baca: penyerahan diri)
begitu terpatri dalam di jiwanya.
Kejadian kedua adalah ketika hamba itu
mencari kudapan untuk berbuka puasa sunnah Senin-Kamis yang ia lakukan.
Hamba itu mampir di sebuah grobak penjual kue yang terlihat bersih di
depan sebuah ‘mini market’ kenamaan yang saat ini sedang melebarkan
sayapnya ke berbagai penjuru. Kue-kue yang ia jual begitu menggugah
selera. ia tidak menjual ‘gorengan’ yang diklaim oleh sebahagian kita
tidak layak makan dan berakibat buruk pada kesehatan. Hamba itu memiliih
beberapa macam kue seperti pastel, risoles, dadar pandan dan lemper.
Sembari sang Bapak membungkusnya, hamba itu bertanya akan harganya. Sang
Bapak menjawab,
“Semuanya sepuluh ribu, Pak”
Dengan sedikit kaget, hamba itu balik bertanya, “Satunya berapa, Pak?”
“Satunya seribu. Bapak beli sepuluh kan? Jadi semuanya sepuluh ribu?’
Dengan spontan hamba itu bertanya, “Apa
bapak tidak rugi jual harga segini? Di tempat lain bisa tiga sampai
empat ribu per potong, Pak?”
Sang Bapak tersenyum sembari berkata, “Allah
memberi saya rezeki bukan dari berjualan kue, Pak. Jualan kue ini hanya
ikhtiar saya saja. Soal rezeki saya serahkan saja pada Allah mau
memberi berapa. Saya tidak pernah hitung-hitungan. Alhamdulillah saya
dan istri sudah berjualan kue disini lebih dari 1o tahun dan tidak
pernah merasa rugi.”
Hamba itu tertegun, sembari hampir tidak percaya akan apa yang keluar dari lisan sang Bapak.
“Subhanallah,” Hamba itu itu bergumam dalam
hatinya. Sang Bapak benar, terkadang kita berpikir bahwa kita memperoleh
rezeki hanya dari apa yang kita usahakan, padahal pada kenyataannya
sering kali tidak demikian. Coba kita merenung. Berapa kali dalam hidup
ini, kita memperoleh sesuatu secara tidak terduga dan tanpa
disangka-sangka? Dari hal-hal yang sepele sampai hal-hal yang besar
sekalipun hal ini sering kali terjadi. Sebagai contoh: Kita mendapat
kiriman makanan yang lezat dari tetangga kita tanpa kita duga
sebelumnya. Hal lain yang kerap terjadi adalah kita dapat memiliki
rumah bukanlah dari gaji yang kita peroleh atau keuntungan usaha yang
kita dapatkan melainkan karena warisan yang diperoleh pasangan hidup
kita dari orangtuanya.
Kita selalu memakai rumus matematika 1+1 =
2. Dalam analogi kita yang ‘sempit’ ini, kita selalu berpedoman bahwa
besarnya ‘hasil’ adalah sesuai dengan besarnya ‘usaha’ yang kita
lakukan. Rezeki yang banyak hanya dapat diperoleh dengan usaha yang
sepadan intensitasnya. Dan dengan naif nya kita melupakan bahwa yang
memberi rezeki itu adalah Allah Azza wa Jalla, Dzat Yang Maha Hidup dan
Maha Mengawasi kita. Sisi lain yang juga harus kita pahami adalah kita
memperoleh rezeki bukanlah karena keluasan ilmu yang kita miliki atau
kehebatan kita dalam berusaha. Ilmu dan kecerdasan kita tidaklah berarti
apa-apa tanpa izin Allah yang membuat kita dapat melakukan sesuatu
usaha.
Dua orang hamba Allah, sang Bapak marbot
Musholla dan sang Bapak penjual kue telah mengajarkan suatu pengajaran
yang luar biasa. Sudah seharusnya kita memiliki pemikiran bahwa segala
sesuatu yang kita usahakan hanya ikhtiar (baca: usaha) untuk mencari
keridhaan-Nya. Sedang hasilnya kita kembalikan pada Allah untuk memberi
sesuai kadar ketentuan-Nya. Alangkah tenteram dan damainya hati ini jika
setiap kita memiliki pemikiran yang sama dengan kedua hamba Allah yang
sederhana ini. Dalam pandangan Allah mereka lah hamba-hamba-Nya yang
mulia dan tinggi kedudukannya. Inginkah kita meraihnya?
Ayat pada QS As Syura ayat 27 diatas
menerangkan pada kita bahwa Allah Azza wa Jalla memberi kepada
hamba-hamba-Nya sesuai dengan apa yang mereka butuhkan bukan apa yang
mereka inginkan. Sebagai contoh adalah Allah selalu memberi kita udara
tanpa kita minta karena Allah tahu hal ini adalah kebutuhan kita. Dan
Allah Azza wa Jalla amat sangat mengerti jika Dia mengikuti keinginan
mereka dalam hal memberikan rezeki, hal itu akan berakibat buruk pada
diri mereka sendiri. Mereka akan lupa mensyukuri nikmat-Nya dan
bergelimang dalam kemaksiatan dan dosa yang tak berujung.
Bagaimanakah dengan orang-orang yang bergelimang dosa dan kemaksiatan tapi mereka tetap diberi kekayaan oleh Allah?
Apa yang mereka peroleh itu adalah sebuah
istidraj dari Allah. Sesuatu yang Allah berikan dengan kebencian dan
kelak akan menjadi alasan bagi mereka untuk memperoleh siksa-Nya. Sebuah
hadish shahih yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Thabrani
menerangkan akan hal ini:
Dari Ubah bin Amir radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila
engkau melihat Allah memberikan kenikmatan dunia kepada seorang hamba,
sementara dia masih bergelimang dengan maksiat, maka itu hakikatnya
adalah istidraj dari Allah.”
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah Azza wa Jalla
“Tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada
mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka;
sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan
kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika
itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al-An’am [6]:44
Yang fakir kepada ampunan
Rabb-nya Yang Maha Berkuasa
Rabb-nya Yang Maha Berkuasa
0 komentar:
Posting Komentar