Jumat, 26 April 2013

Siapa Sih yang Mau Bercerai

Kenapa Harus Bercerai?

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untukmu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri, Litaskunu Illaiha (agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya), dan dijadikan-Nya di antaramu mawaddah (kasih) dan rahmah (sayang). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”  (QS Ar Rum [30]:21)


Seorang teman menghubungi beberapa hari yang lalu. Setelah 14 tahun usia perkawinan mereka dan telah dikarunia dua orang buah hati yang menjadi tumpuan kasih sayang mereka selama ini, mereka memutuskan untuk berpisah. Untuk mempermudah proses perceraian mereka, sang suami mengabulkan apapun yang mantan istri nya itu inginkan. “Aku sudah ikhlas”, Begitu katanya.

Kepada hamba itu ia menjelaskan, “Siapa sih di dunia ini yang ingin bercerai? Hanya orang yang tidak waras yang menginginkannya. Tapi setiap kali aku berusaha mempertahankan rumah tanggaku, semakin runyam semua terlihat. Aku terus mencoba untuk membangun sebuah rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah, tapi nyatanya jargon ini hanya bagai sesuatu yang teramat muluk untuk dicapai. Sesuatu yang abstrak. Empat belas tahun waktu yang cukup untuk bersabar dan kesabaran itu selalu ada batasnya!”

Hamba itu tersenyum kepadanya. Setelah teman itu puas bercerita panjang dan lebar, hamba itu berusaha menjelaskan kepadanya dengan perlahan. “Bisa jadi ada sesuatu yang salah dengan pemahaman kita tentang keluarga ‘Sakinah Mawaddah Warahmah’ selama ini. Kita sering kali memandangnya dari sudut pandang bagai melihat sebuah pulau yang terlihat indah dari kejauhan. Pulau itu terlihat hijau dengan pepohonan. Dicelah-celah bukitnya terpancar air terjun nan deras yang terselubungi pelangi. Demikian pula pasirnya nan putih yang memikat setiap orang ingin menjejakkan kakinya disana. Begitulah kita memandang rumah tangga ‘Sakinah, Mawaddah Warahmah’ ini. Sesuatu yang muluk nan indah yang setiap pasangan rumah tangga muslim ingin meraihnya.

Kita kembali ke arti sebenarnya dari kata “Sakinah” yang berarti ketenangan atau kedamaian setelah sebelumnya dalam keguncangan. Hal ini mengisyaratkan bahwa kata ini tidaklah berarti tenang/damai saja tapi harus dipahami sebagai satu kesatuan kalimat yaitu “Ketenangan setelah keguncangan”. Bukankah dalam membina rumah tangga, keguncangan-keguncangan itu akan selalu ada dari yang skala nya kecil hingga yang besar sekalipun? Hamba itu berkata kepada temannya tersebut, “Tidak mungkin sebuah rumah tangga tanpa konflik. Hanya saja bagaimana kita menjadikannya sesuatu yang “hanya riak-riak kecil dalam kehidupan rumah tangga kita, tidak menjadikannya besar bagaikan ombak yang akan menggulung apapun yang ia lewati dan menghempaskannya dalam kehancuran.”

Seorang ulama besar, Syeik Sayyid Qutb dalam mahakarya tafsirnya yang berjudul “Fi Zilal al-Quran” menjelaskan bahwa sakinah dapat diartikan bagai seorang yang menepuk air dalam benjana, airnya akan beriak untuk sementara waktu, untuk kemudian tenang kembali. Sayyid Qutb benar, yang selalu menjadi permasalahan dalam rumah tangga adalah kita sebagai suami istri selalu membiarkan riak-riak kecil ini menjadi semakin besar hingga menumpahkan air yang ada dalam benjana tersebut. Hal ini akan menyebabkan hilangnya “Litaskunu Illaiha” (baca: agar kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya) yang merupakan tafsir dari ayat 21 Surah Ar Rum diatas.

Satu hal lagi yang luput dari pemahaman kita adalah arti dari kata “Mawaddah” dan “Rahmah” yang selalu disandingkan dengan kata “Sakinah”. Dalam pengertian yang sebenarnya “Mawaddah” dan “Rahmah” ini mempunyai arti kata yang hampir sama yaitu rasa kasih atau sayang. Perbedaannya adalah “Mawaddah” lebih dihinggapi oleh sifat “sesuatu yang menggebu-gebu” sedang “Rahmah” lebih dihinggapi sifat “ketulusan”. 

Mawaddah lebih sering hadir diawal masa-masa pernikahan yaitu kasih/sayang yang menggebu-gebu dan kesediaan untuk berkorban apa saja demi untuk menyenangkan pasangannya. Bukankah bagi seorang pria, kesediaannya untuk menikah yang berarti berbagi dalam hal penghasilan (rezeki) adalah suatu pengorbanan? Demikian juga bagi seorang wanita, kesediannya untuk hidup bersama seorang pria dengan meninggalkan orang tua nya yang telah mencukupinya selama ini adalah juga suatu pengorbanan?

Dalam perjalanan usia pernikahan yang semakin matang, sifat “Rahmah” lah yang akan mendominasi. Sifat ini mengandalkan ketulusan dalam rentang waktu yang dijalani. Semua akan terlihat lebih mudah dan tanpa pamrih lagi. Pengorbanan akan surut dan digantikan dengan kebiasaan. Yang harus diingat adalah “Rahmah” adalah berakar pada sifat Allah Azza wa Jalla yaitu Ar Rahim yang berarti Yang Maha Penyayang. Hal ini juga dapat dimengerti kenapa tempat seorang wanita mengandung janinnya disebut dengan ‘rahim’ karena jelas sekali bahwa hubungan antara seorang ibu dengan anak yang dikandungnya sangatlah dekat. Sang Ibu dengan ketulusan yang luar biasa akan selalu menjaga janin yang dikandungnya, tanpa pamrih.

Sang teman bertanya kepada hamba itu, “Kalau begitu, apa yang salah dengan saya dan istri? Kenapa kami tidak dapat mempertahankan kehidupan rumah tangga kami?”

Hamba itu menjawab, “Berapa banyak pasangan suami istri yang hanya sampai pada tatanan “Mawaddah” tapi tidak pernah sampai kepada tatanan “Rahmah”. Waktu bukan penentu. Kita sering mendengar setelah puluhan tahun berumah tangga suami istri bercerai. Terkadang ada yang sudah mendapat cucu pun akhirnya bercerai. Hal ini hanya satu jawabannya: “Rahmah” yang tidak pernah diperoleh karena rahmah adalah juga merupakan sifat Allah Yang Maha Agung yang hanya Allah berikan kepada siapa yang dekat kepada-Nya, yang patuh kepada-Nya dan mencintai-Nya. Allah Azza wa Jalla tidak akan pernah memberikannya kepada pasangan suami istri yang hidupnya penuh dengan kemaksiatan dan apa yang mereka dapatkan (baca: makan) tidak jelas haram dan halal nya”

Sebuah doa terucap dari lisan yang amat sangat fakir ini: “Ya Rabb, sesungguhnya aku mohon cinta-Mu, dan cinta hamba-hamba-Mu yang mencintai-Mu. Dan ajari aku amal shaleh yang mengantarkan aku untuk memperoleh cinta-Mu”

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amal-amalmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa menta’ati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (QS Al Ahzab [33]:70-71)

Yang  fakir kepada ampunan Rabb-nya Yang Maha Berkuasa
 

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Press Release Distribution