Kamis, 19 Juni 2014

Seberapa Lamakah Kita Munafik?

 
Munafiqlah Kita!

Orang-orang munafik lebih meyakini kekekalan materi, prestise, jabatan, dunia, dibanding akherat.
 
Seberapa lamakah kita munafik? Atau seberapa setianya kita? Pertanyaan itu bisa dijawab dari tingkat kesetiaan kita dalam segala sisi hidup manusia. Munafik itu bisa dikatakan selingkuh, atau biasa disebut sebagai pertentangan antara hati dan perbuatan, ucapan dan kelakuan. Ucapannya “I Love You”“I Love me,” gitu. tapi ternyata ia marah-marah gara-gara cintanya bertepuk sebelah tangan. Seharusnya ucapkan saja Ucapannya “Allahu Akbar.” Allah Maha Besar, tiap hari bisa puluhan bahkan ratusan kali diucapkan. Tapi ingat Allah ketika hanya di masjid, dan ingat duit dimanapun, apalagi di kantor, sampai kebawa shalat pula. Seharusnya kemaha besaran Allah menutupi selain Allah yang kecil dan sepele itu. Itulah manusia bahwa sisi hidupnya, deretan menit waktunya diliputi oleh kemunafikan-kemunafikan.

Tanda bagi orang munafik pertama jika berbicara berbohong. Di tawari makan ketika bertamu, segera ia jawab, “kulo mpun maem, wau” walaupun hanya sebatang pisang. Padahal lambungnya tak bisa dibohongi, gemuruh suara kemrucuk tanda lapar mengaba-aba. Tak tahu lah apakah semacam itu bohong atau sebuah kesantunan orang Jawa. Tapi yang jelas, dalam hatinya menggerutu: “asem ah, tadi gak jadi mencicipi. Jadi penasaran sama masakan ikan kakapnya.”

Kebohongan sebagai sandangan orang munafik adalah kebohongan yang membohongi hati nuraninya. Kalau kebohongan yang menuruti mata hatinya itu justru membuahkan maslahat. Tak kan pernah tendanganmu bersarang di gawang lawan, kalau kau tak pernah menipu kipper, dan pemain lawan-lawanmu. Kebohongan dianjurkan kalau itu membela kepentingan kebenaran. Dalam kitab tarajumah dibenarkan berbohong untuk melindungi keselamatan jiwa raga seseorang.

Berbagai macam kebohongan, tapi dasarnya adalah egoisme
Egois mempertahankan image jadi orang kaya. Buahnya mengaku-aku mobil rental menjadi miliknya; pilih-pilih teman sepadan; rumah masih layak harus di rombak biar kelihatan ikut trend jaman. Jaga image menjadi penguasa, tingkahnya kemana-mana minta dikawal serombongan polisi dengan mobil yang menyalak alarmnya. Cuih, tentu mengagetkan Sabda, anak saya yang sedang pulas tidur. Hingga lalu lintas di terabas. Budaya antri dipungkiri. Padahal kekuasaanmu seumur jagung, lan gak bakal digowo mati, rek!

Lipatan-lipatan kebohongan sangat banyak. Diantaranya kita berbohong pada ruang dan waktu. Jasad kita di masjid tapi hati kita kadang di mal-mal, pasar, hotel, dll. lidah selalu basah shalawat, tetapi wajahnya kalah berseri ketika memperingati maulid nabi, dibandingkan menginjakkan kaki di Ancol. Jasad kita disini, tapi angannya tak pernah menemani, selalu kluyuran ke ‘seakan-akan masa depan.’ Dan ‘seakan-akan cerah’ padahal hanya ‘seakan-akan.’ Hingga mudah tertipu janji-janji perusahaan money game yang menjanjikan ‘seakan-akan masa depan’.

Kita merancang-rancang usaha kita, bahkan rancangan menikmati hasil kerja kita, berangan-angan akan beli ini beli itu. Hingga kita tak menyadari sepenuhnya dimana kita berada sekarang. Akhirnya tak pernah menyadari bahwa usia tua segera tiba, penyakit menjemput, ajal tak disangka datangnya.

Kalau dikatakan manusia tempatnya lalai dan lupa. Maka awal dari lupa adalah selingkuhnya manusia dari waktu ke waktu. Kalau ia shalat, maka kelingannya dagangan di pasar, itu namanya menyelingkuhi Allah. Maka kelupaan timbul “tadi sudah rokaat keberapa ya?”
Orang lupa di tengah shalat tentang rakaatnya sudah berapa, karena dia tidak setia konsentrasi terhadap apa yang sedang dikerjakannya. lamunannya tamasya ke pasar, dan wilayah angan yang sesungguhnya tak riil.

Kalau sedang dagang teringatnya pacar. Hingga pembeli datang dikasih harga super murah. Bayangannya orang di depan sang pujaan. Akhirnya kelupaan ambil keuntungan. kita tak pernah berkonsentrasi waktu demi waktu. angan dan jiwanya selalu tak setia menemani ruang dan waktu.

Pemerintah adalah tauladan kebohongan-kebohongan. Jelas-jelas ia digaji uang rakyat, tingkahnya seperti juragannya rakyat. Setiap orang yang digaji adalah buruh, karyawan, pekerja, kuli setiap yang menggaji adalah juragan, bos, tuan takur. Jelas-jelas uangnya rakyat sendiri, enak saja dikasih stempel bantuan langsung tunai (BLT). Kalau saya mengambil uang saya sendiri di tabungan bank, itu namanya bukan bantuan, walau sudah melewati tangan teller dan pegawai bank. Enak saja menyetempel rakyat sebagai pengemis penerima bantuan. Semua itu kebohongan atau kebodohan? Yang jelas pintu gerbang kebohongan adalah kebodohan!
 
Kita diajari oleh system untuk selalu berjiwa munafik. Kita kredit mobil, menunjukkan bahwa kita yakin akan bernafas sampai tiga tahun mendatang. Tetapi, tiba-tiba kita mengasuransikan jiwa kita, nyawa kita, diperusahaan asuransi, yang mengindikasikan bahwa kita loyo keyakinan tak hidup sampai tahun mendatang.

Oleh:Ahmad Saifullah Ahsa


0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Press Release Distribution