Akad mudharabah telah diklaim oleh dunia perbankan syariat
sebagai prodak utama yang mereka tawarkan dan mendasari berbagai
transaksi mereka. Oleh karena itu, saya rasa sangat urgen bagi kita
untuk sedikit mengenal akad ini, agar kita dapat menerapkannya dengan
benar dan tidak teperdaya dengan nama besar yang kosong dari hakikatnya.
Definisi Mudharabah
Definisi Mudharabah
Para ulama ahli fiqih dari
berbagai madzhab telah berusaha untuk memberikan gambaran yang jelas
dan tuntas tentang akad ini. Walau terjadi perbedaan ungkapan dalam
mendefinisikan akad ini, akan tetapi semuanya mengarah kepada suatu
pemahaman yang sama, yaitu "suatu akad serikat dagang antara dua pihak,
pihak pertama sebagai pemodal, sedangkan pihak kedua sebagai pelaksana
usaha, dan keuntungan yang diperoleh dibagi antara mereka berdua dalam
persentase yang telah disepakati antara keduanya." (Al-Aziz oleh ar-Rafi'i 6/3, Aqdul Mudharabah Fil Fiqhil Islamy, oleh Dr. Zaid bin Muhammad ar-Rummaani, hal. 14, dan Syarikah al-Mudharabah fil Fiqhil Islami, oleh Dr. Sa'ad bin Gharir as-Silmy, 37).
Mudharabah dalam fiqih juga dikenal dengan sebutan al-Qiraadh, al-Muqaaradhah, dan al-Mu'amalahAl-Aziz oleh ar-Rafi'i 6/3, Aqdul Mudharabah Fil Fiqhil Islamy, oleh Dr. Zaid bin Muhammad ar-Rummaani, hal. 14, dan Syarikah al-Mudharabah fil Fiqhil Islami, oleh Dr. Sa'ad bin Gharir as-Silmy, 37).
Dalil-dalil Disyariatkannya Mudharabah
Dalil-dalil Disyariatkannya Mudharabah
Akad mudharabah
sangat populer dan menjadi asas utama berbagai transaksi antarumat
manusia secara umum dan dalam dunia perbankan syariat secara khusus.
Walau demikian, kita tidak mendapatkan dalil khusus dari al-Quran atau
as-Sunnah tentangnya, padahal akad ini telah dikenal oleh umat manusia
jauh-jauh hari sebelum datangnya agama Islam, dan senantiasa diterapkan
oleh umat Islam hingga zaman kita ini.
Fenomena ini mengisyaratkan kepada kita kepada suatu hal penting, yaitu akad mudharabah
adalah salah satu hal yang mendatangkan manfaat dan tidak mendatangkan
kerugian, atau manfaatnya lebih besar bila dibanding madharat-nya. Dan
fakta perniagaan yang dilakukan oleh umat manusia secara umum dan kaum
muslimin secara khusus merupakan bukti nyata akan hal tersebut. Dengan
demikian, akad mudharabahmadharat-nya. tercakup oleh dalil-dalil umum yang
menghalalkan kita untuk berniaga dan mencari keuntungan yang halal,
serta dalil-dalil yang menghalalkan segala hal yang bermanfaat atau
yang manfaatnya lebih besar dibanding Di antara dalil-dalil umum yang dapat menjadi dasar hukum akad mudharabah ialah:
Firman Allah Ta'ala,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ
بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ
"Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama suka diantara kamu." (Qs. an-Nisa': 29).
Dan tidak diragukan lagi bahwa mudharabah adalah salah satu bentuk perniagaan yang didasari oleh asas suka sama suka, dengan demikian, akad mudharabah tercakup oleh keumuman ayat ini.
Firman Allah Ta'ala,
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَبْتَغُواْ فَضْلاً مِّن رَّبِّكُمْ
Bukanlah suatu dosa atasmu untuk mencari karunia dari Tuhan-mu." (Qs. al-Baqarah: 198).
Imam al-Mawardi asy-Syafi'i berkata, "Dan di antara dalil dihalalkannya al-Qiraadh adalah firman Allah Ta'ala (yang artinya-pen.), " Bukanlah suatu dosa atasmu untuk mencari karunia dari Tuhan-mu" dan tidak diragukan lagi bahwa al-Qiraadh adalah salah satu upaya untuk mencari karunia dari Allah, dan mencari keuntungan." (Al-Haawi al-Kabir oleh al-Mawardy, 7/306).
Di antara hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang dapat menjadi dasar akad mudharabah ialah hadits Abdullah bin Umar berikut,
أنَّ
النَّبي دفع إلى يهود خيبر نخلَ خيبرَ وأرضَها على أن يعتملوها من أموالهم
ولرسول الله صلّى الله عليه وسلّم شطر ثمرها. (متَّفق عليه)
Bahwasannya
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menyerahkan kepada bangsa Yahudi
Khaibar kebun kurma dan ladang daerah Khaibar, agar mereka yang
menggarapnya dengan biaya dari mereka sendiri, dengan perjanjian,
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mendapatkan separuh dari hasil
panennya." (HR. Muttafaqun 'alaih).
Pada hadits ini
dengan jelas dinyatakan, bahwa perkebunan kurma dan ladang daerah
Khaibar yang telah menjadi milik umat Islam dipercayakan kepada warga
Yahudi setempat, agar dirawat dan ditanami, dengan perjanjian bagi
hasil 50 % banding 50 %. Akad semacam inilah yang disebut dalam ilmu fiqih dengan istilah musaaqaah.
Walaupun
hadits di atas, secara khusus berkenaan dengan akad musaaqaah, akan
tetapi secara tidak langsung menjadi dalil disyariatkannya akad
mudharabah. Yang demikian itu karena kedua akad ini serupa, baik dalam
hal wujud lahirnya, atau konsekuensi hukumnya.
Ijma' (kesepakatan) ulama
Ijma' (kesepakatan) ulama
Di antara dalil kuat yang menunjukkan akan disyariatkannya mudharabah ialah kesepakatan ulama Islam sejak zaman dahulu hingga sekarang akan hal tersebut.
Ibnu Munzir asy-Syafi'i berkata, "Kita tidak mendapatkan dalil tentang al-Qiradh (mudharabah) dalam Kitab Allah 'Azza wa Jalla, tidak juga dalam sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Akan tetapi, kita dapatkan bahwa para ulama telah menyepakati akan kehalalan al-Qiraadh dengan modal berupa uang dinar dan dirham." (Al-Isyaraf oleh Ibnul Munzir asy-Syafi'i, 2/38).
Ibnu Hazm berkata, "Al-Qiraadh (al-Mudharabah)
telah dikenal sejak zaman Jahiliyyah, dan dahulu kaum Quraish adalah
para pedagang. Mereka tidak memiliki mata pencaharian selain darinya,
padahal di tengah-tengah mereka terdapat orang tua yang tidak lagi
kuasa untuk bepergian, wanita, anak kecil, anak yatim. Oleh karena itu,
orang-orang yang sedang sibuk atau sakit menyerahkan modalnya kepada
orang lain yang mengelolanya dengan imbalan mendapatkan bagian dari
hasil keuntungannya. Dan tatkala Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
telah diutus, beliaupun membenarkan akad tersebut, dan kaum muslimin
kala itu juga menjalankannya. Kalaupun sekarang ada yang menyelisihi
tentang hal ini, maka pendapatnya itu tidak perlu diperhatikan, sebab
ia telah terlebih dahulu menyelisihi praktik nyata seluruh umat dari
zaman kita hingga zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam." (Al-Muhalla oleh Ibnu Hazm, 8/247).
Di antara bukti nyata bahwa kesepakatan akan disyariatkannya mudharabah ialah praktik dari para al-Khulafa' ar-Rasyidiin, tanpa ada seorangpun dari sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang mengingkarinya (Riwayat-riwayat dari para al-khulafa' ar-Rasyidin dapat dibaca di kitab Irwaa'ul Ghalil oleh al-Albany, 5/290-294).
Hikmah Disyariatkannya Mudharabah
Hikmah Disyariatkannya Mudharabah
Sebagaimana
yang kita rasakan dalam kehidupan kita sehari-hari, kita dapatkan ada
sebagian orang yang diberi kelebihan dalam hal harta kekayaan, akan
tetapi ia tidak mampu untuk mengelolanya. Di sisi lain, didapatkan
sebagian orang yang diberi kelebihan dalam hal pengelolaan harta
kekayaan dan pengembangannya, akan tetapi ia tidak memiliki harta
kekayaan yang dapat ia kelola, sehingga mendatangkan keuntungan yang
diharapkan.
Dengan demikian, merupakan suatu hal yang sangat
tepat dan bijak bila kedua jenis anggota masyarakat ini menyatukan
potensi masing-masing, sehingga dapat mewujudkan keuntungan dan
kekuatan ekonomi yang produktif. Sebagaimana akad mudharabah merupakan
implementasi nyata dari asas ta'aawun atau bahu-membahu dalam hal yang
bermanfaat secara umum dan dalam pengembangan ekonomi umat secara
khusus. Bila asas ta'aawun yang diwujudkan dalam akad mudharabah ini
berjalan sebagaimana mestinya, niscaya umat Islam dapat mempertahankan
kejayaan dan kemuliaan martabatnya, sehingga dapat hidup mandiri tanpa
bergantung kepada umat lain.
Imam al-Marghinani al-Hanafy
berkata, "Akad mudharabah dihalalkan, karena benar-benar diperlukan
oleh umat manusia. Karena di antara manusia ada orang-orang yang kaya
akan harta benda, akan tetapi ia tidak pandai untuk mengelolanya.
Sebagaimana di antara mereka ada orang-orang yang lihai dalam mengelola
kekayaan, akan tetapi mereka miskin tidak memiliki modal usaha. Dengan
demikian, sangat urgen untuk disyariatkan transaksi semacam ini, agar
kemaslahatan kedua belah pihak, yaitu orang yang kaya (tapi tidak
berpengalaman) dan orang yang cerdik (tapi tidak memiliki modal), orang
yang miskin (tapi lihai) dan orang yang dungu (tapi kaya) dapat
terwujud." (Al-Hidayah Syarah al-Bidaayah oleh al-Marghinaani al-Hanafi, 3/202).
Umat
Islam pada saat ini sedang merasakan betapa pahit dan kejamnya sistem
perekonomian yang berasaskan riba. Umat Islam di belahan bumi manapun
sedang merasakan betapa kejamnya penjajahan bangsa-bangsa lain melalui
belenggu riba yang dari hari ke hari terus dililitkan kepada tubuh umat
Islam. Saya optimis, bila kita mengembangkan ekonomi umat dengan asas
syariat, di antaranya dengan menerapkan akad mudharabah secara luas,
insya Allah dalam waktu singkat, harkat dan martabat umat Islam akan
terangkat.
Di antara hikmah mulia dari akad mudharabah
ialah masing-masing pihak yang menjalin hubungan kerjasama mudharabah
mendapatkan keuntungan dalam bentuk materi, pengalaman dan lainnya.
Sehingga pada suatu saatnya nati, pemilik moda dapat mengelola
kekayaannya dengan sendiri. Sebagaimana pelaku usaha dapat merintis
usaha dengan bermodalkan keahliannya dan modal yang berhasil ia
kumpulkan dari hasil bagi hasil dengan pemodal pertama. Dan bila proses
peningkatan potensi dan kemampuan, baik materi ataupun keahlian ini
terus dijalankan secara berkesinambungan, niscaya pada saatnya nati,
umat Islam akan terhindar dari penderitaan ekonomi dan sosial yang
sekarang sedang menghimpit kita.
Pada akad mudharabah,
asas keadilan benar-benar akan dapat diwujudkan dalam dunia nyata, yang
demikian itu dikarenakan kedua belah pihak yang terkait, sama-sama
merasakan keuntungan yang diperoleh. Sebagaimana mereka semua
menanggung kerugian bila terjadi secara bersama-sama, pemodal
menanggung kerugian materi (modal), sedangkan pelaku usaha menanggung
kerugian non-materi (tenaga dan pikiran). Sehingga pada akad mudharabah
tidak ada seorangpun yang dibenarkan untuk mengeruk keuntungan tanpa
harus menanggung resiko usaha.
0 komentar:
Posting Komentar