Jadilah Manusia Awam!
Seringkali dulu ketika masih kecil, tamu-tamu Bapak yang berkunjung ke rumah menanyakan kepadaku, “Nak…besok mau jadi apa?” aku hanya terdiam, tak begitu mengerti. Dan biasanya mereka bertanya lagi “mau jadi dokter atau kiai?”
Apa yang ada di dalam benak mereka saya kurang tahu. Yang jelas
orang-orang dimana-mana banyak menganggap penting manusia jadi ini jadi
itu. Dalam kesadaran kolektif masyarakat mengatakan “menjadi dokter
lebih mulia dibanding menjadi kuli bangunan.” Kita sering tidak
menanyakan Dokter yang bagaimana, kuli bangunan yang bagaimana. Padahal
tentu saja kuli bangunan yang jujur lebih baik dibanding dokter yang
memeras pasien.
Suatu hari ada mahasiswa kedokteran
dari Kalimantan ngebet ingin mengakhiri hidupnya. Alasannya, karena ia
harus menuruti keinginan orang tuanya yang berambisi punya anak dokter.
Sedangkan dia minat studinya di seni lukis. Hal itu menunjukkan bahwa
kebanyakan orang berambisi untuk menjadi ini dan itu demi prestis dunia, walau kadang mencelakakan akherat.
Di desa-desa orang kepingin menjadi
kepala desa harus rela menggelontorkan uang ratusan juta untuk menyuap
calon pemilihnya. Kalau dikatakan menyuap, tentu mereka mengelak.
Padahal perbedaan shadaqah dengan suap
itu terletak di motivasinya. Kalau ingin shadaqah, berinfak, memberi
hadiah, hibah, kenapa harus menunggu dirinya mencalonkan kepala desa.
Setiap ada udang pemilihan di balik batu pemberian itu namanya suap,
sogok, riswah, dll.
Dulu aku bekerja sebagai faskel untuk program bantuan kapal inka mina, gaji sejuta setengah. Setiap pergi bekerja berpenampilan necis, pakai sepatu segala. Tapi hati
ini selalu resah, karena saya menemukan kekecewaan dari masyarakat atas
kurangnya bantuan yang sampai ke masyarakat. Jatahnya satu milyar
lebih, tapi yang diterima sekitar enam ratus juta, menurut taksiran
nelayan terhadap kapal bantuannya. Korupsi sangat gamblang dilakukan
dimana-mana. Akhirnya saya keluar dari faskel. Anehnya, walau tak
gajian lagi, hidup justru tenang.
Kembali ke habitat, saya mulai gerilya
nyales segalama macam pakaian ke segala penjuru mata angin. Dan ini
yang ku yakini sebagai gerak mulia, karena ‘dijamin halal’
pendapatannya, minimal menurut saya. Karena modal jelas. Mengambil
keuntungan berapa juga ceto welo-welo. Dulu saya sempat menjadi guru.
Tetapi justru resah, karena gaji yang dibayarkan adalah bantuan
pemerintah, yang seharusnya untuk bantuan pertanian. Saya meyakini
bahwa setiap perbuatanku melenceng maka kerugiannya akan sampai anak
cucu. Akhirnya aku juga keluar tidak menjadi guru lagi.
Diam-diam masyarakat menilaiku. Yang
intinya kenapa saya memilih pekerjaan kasar? Aku jadi bertanya-tanya.
Pekerjaan kasar itu yang mana? Apakah jadi guru pekerjaan halus, apakah
jadi pegawai bank juga pekerjaan halus. Banyak orang menilai,
mengkategorikan, mengidentifikasi dengan ala kacamata kuda. Mereka
mengkategorikan bahwa pekerjaan halus itu: yang tidak banyak
mengerahkan tenaga, tidak kotor, tidak kepanasan, dll.
Apakah petani pekerjaan kasar? Petani
kalau dianggap sebagai pekerja kasar, terus pekerjaan halus itu yang
bagaimana? Pekerjaan yang tidak kotor? Tidak mengeluarkan keringat?
Justru orang yang jarang berkeringat itulah yang seharusnya
dikhawatirkan kesehatannya. Orang yang bekerja dengan sedikit gerak
badan rentan terkena penyakit, karena peredaran darahnya tak lancar,
gula yang menumpuk di jasadnya juga tidak terbakar, hingga berpotensi
menjadi penyakit gula. Orang yang kebanyakan duduk juga kebanyakan
terserang ambayen.
Justru petanilah yang saya anggap
sebagai pekerjaan yang menyehatkan. Tiap pagi petani diterpa cahaya
matahari yang katanya mengandung vitamin D bisa membantu kesehatan
tulangnya. berkeringat terus mengeluarkan kotoran-kotoran yang tak
sempat mengendap; keprigelannya telah melancarkan peredaran darah,
pembakaran kalori hingga kolesterol tak akan pernah menumpuk. Beberapa
jenis penyakit jeroan kebanyakan menimpa orang yang pekerjaannya
‘halus.’
Pendidikan pada zaman Tan Malaka bertujuan membentuk manusia yang prigel atau pekerja keras, bukan manusia pinter yang beresiko minteri yang lain.
Masyarkat harus beranjak dari
orientasi: “menjadi ini dan itu, terserah menjadi apa saja, asalkan ia
selalu mengagungkan Allah dan bermanfaat bagi manusia dan makhluk
lainnya.” Percuma menjadi presiden, kalau pinternya hanya korupsi.
Percuma jadi dokter, kalau kerjaannya memeras para pasien.
Dokter, kiai, guru, pegawai, wartawan,
semua-mua hanya sandangan dunia yang bersifat sementara dan sangat
sempit kerelatifannya. “Saya di kampung ini dicium tangannya karena
tahta kekiaiannya, tetapi mungkin di kampung sebelah saya tidak diberi
penghormatan apapun, karena masyarakat tidak mengenali saya sebagai
kiai”. Tetapi kalau menjadi manusia, dimanapun masih tetap menjadi
manusia, dan kebanyakan manusia akan memperlakukan anda sebagai manusia.
Ada tidak orang yang menjaga kesucian
kekiaiannya? Sangat banyak hingga ia harus selalu menjaga
penampilannya. Dimanapun tempat pakai sarung dan peci; anti masuk
pasar, takut masuk warung, hingga pilih-pilih pergaulan karena alasan
takut dinilai negatif oleh masyarakat. Gerak jasadnya tak bebas lagi
karena hatinya dikepung persepesinya sendiri yang ia anggap sebagai
persepsi masyarakat. Gengsi untuk bekerja kasar demi menjaga ‘marwat’.
Martabatnya digadaikan untuk menjaga citra nan harum.
Yang harus dipertahankan adalah
kemanusiaan bukan kekiaian. Karena kita semua di dunia dicipta menjadi
manusia. Dan kekiaian adalah kesepakatan masyarakat yang relative
berlaku. Di Solo kiai disepakati oleh masyarakat sebagai nama kerbau,
di Jogjakarta Kiai disepakati sebagai nama gamelan. Menjadi manusia
awam itu menghindarkan orang lain dari ewuh pekewuh terhadap kita.
Hubungan kita dengan orang lain akan sederajat, sebagaimana nabi dengan
para sahabatnya, seandainya kita menjadi manusia biasa. Menjadi manusia
awam adalah metode membuka peluang bagi kita mendapatkan hidayah,
karena tak satu orang pun rikuh untuk menasehati kita. Menjadi kiai
berpotensi tersesat karena menutup jalannya nasehat orang lain, karena
orang bilang, “mosok kiai dinasehati?”
0 komentar:
Posting Komentar