Kamis, 19 Juni 2014

“Nak…Besok Mau Jadi Apa?”

Jadilah Manusia Awam!
Seringkali dulu ketika masih kecil, tamu-tamu Bapak yang berkunjung ke rumah menanyakan kepadaku, “Nak…besok mau jadi apa?” aku hanya terdiam, tak begitu mengerti. Dan biasanya mereka bertanya lagi “mau jadi dokter atau kiai?” Apa yang ada di dalam benak mereka saya kurang tahu. Yang jelas orang-orang dimana-mana banyak menganggap penting manusia jadi ini jadi itu. Dalam kesadaran kolektif masyarakat mengatakan “menjadi dokter lebih mulia dibanding menjadi kuli bangunan.” Kita sering tidak menanyakan Dokter yang bagaimana, kuli bangunan yang bagaimana. Padahal tentu saja kuli bangunan yang jujur lebih baik dibanding dokter yang memeras pasien.


Suatu hari ada mahasiswa kedokteran dari Kalimantan ngebet ingin mengakhiri hidupnya. Alasannya, karena ia harus menuruti keinginan orang tuanya yang berambisi punya anak dokter. Sedangkan dia minat studinya di seni lukis. Hal itu menunjukkan bahwa kebanyakan orang berambisi untuk menjadi ini dan itu demi prestis dunia, walau kadang mencelakakan akherat.

Di desa-desa orang kepingin menjadi kepala desa harus rela menggelontorkan uang ratusan juta untuk menyuap calon pemilihnya. Kalau dikatakan menyuap, tentu mereka mengelak. Padahal perbedaan shadaqah dengan suap itu terletak di motivasinya. Kalau ingin shadaqah, berinfak, memberi hadiah, hibah, kenapa harus menunggu dirinya mencalonkan kepala desa. Setiap ada udang pemilihan di balik batu pemberian itu namanya suap, sogok, riswah, dll.

Dulu aku bekerja sebagai faskel untuk program bantuan kapal inka mina, gaji sejuta setengah. Setiap pergi bekerja berpenampilan necis, pakai sepatu segala. Tapi  hati ini selalu resah, karena saya menemukan kekecewaan dari masyarakat atas kurangnya bantuan yang sampai ke masyarakat. Jatahnya satu milyar lebih, tapi yang diterima sekitar enam ratus juta, menurut taksiran nelayan terhadap kapal bantuannya. Korupsi sangat gamblang dilakukan dimana-mana. Akhirnya saya keluar dari faskel. Anehnya, walau tak gajian lagi, hidup justru tenang.

Kembali ke habitat, saya mulai gerilya nyales segalama macam pakaian ke segala penjuru mata angin. Dan ini yang ku yakini sebagai gerak mulia, karena ‘dijamin halal’ pendapatannya, minimal menurut saya. Karena modal jelas. Mengambil keuntungan berapa juga ceto welo-welo. Dulu saya sempat menjadi guru. Tetapi justru resah, karena gaji yang dibayarkan adalah bantuan pemerintah, yang seharusnya untuk bantuan pertanian. Saya meyakini bahwa setiap perbuatanku melenceng maka kerugiannya akan sampai anak cucu. Akhirnya aku juga keluar tidak menjadi guru lagi.

Diam-diam masyarakat menilaiku. Yang intinya kenapa saya memilih pekerjaan kasar? Aku jadi bertanya-tanya. Pekerjaan kasar itu yang mana? Apakah jadi guru pekerjaan halus, apakah jadi pegawai bank juga pekerjaan halus. Banyak orang menilai, mengkategorikan, mengidentifikasi dengan ala kacamata kuda. Mereka mengkategorikan bahwa pekerjaan halus itu: yang tidak banyak mengerahkan tenaga, tidak kotor, tidak kepanasan, dll.

Apakah petani pekerjaan kasar? Petani kalau dianggap sebagai pekerja kasar, terus pekerjaan halus itu yang bagaimana? Pekerjaan yang tidak kotor? Tidak mengeluarkan keringat? Justru orang yang jarang berkeringat itulah yang seharusnya dikhawatirkan kesehatannya. Orang yang bekerja dengan sedikit gerak badan rentan terkena penyakit, karena peredaran darahnya tak lancar, gula yang menumpuk di jasadnya juga tidak terbakar, hingga berpotensi menjadi penyakit gula. Orang yang kebanyakan duduk juga kebanyakan terserang ambayen.

Justru petanilah yang saya anggap sebagai pekerjaan yang menyehatkan. Tiap pagi petani diterpa cahaya matahari yang katanya mengandung vitamin D bisa membantu kesehatan tulangnya. berkeringat terus mengeluarkan kotoran-kotoran yang tak sempat mengendap; keprigelannya telah melancarkan peredaran darah, pembakaran kalori hingga kolesterol tak akan pernah menumpuk. Beberapa jenis penyakit jeroan kebanyakan menimpa orang yang pekerjaannya ‘halus.’

Pendidikan pada zaman Tan Malaka bertujuan membentuk manusia yang prigel atau pekerja keras, bukan manusia pinter yang beresiko minteri yang lain.

Masyarkat harus beranjak dari orientasi: “menjadi ini dan itu, terserah menjadi apa saja, asalkan ia selalu mengagungkan Allah dan bermanfaat bagi manusia dan makhluk lainnya.” Percuma menjadi presiden, kalau pinternya hanya korupsi. Percuma jadi dokter, kalau kerjaannya memeras para pasien.

Dokter, kiai, guru, pegawai, wartawan, semua-mua hanya sandangan dunia yang bersifat sementara dan sangat sempit kerelatifannya. “Saya di kampung ini dicium tangannya karena tahta kekiaiannya, tetapi mungkin di kampung sebelah saya tidak diberi penghormatan apapun, karena masyarakat tidak mengenali saya sebagai kiai”. Tetapi kalau menjadi manusia, dimanapun masih tetap menjadi manusia, dan kebanyakan manusia akan memperlakukan anda sebagai manusia.

Ada tidak orang yang menjaga kesucian kekiaiannya? Sangat banyak hingga ia harus selalu menjaga penampilannya. Dimanapun tempat pakai sarung dan peci; anti masuk pasar, takut masuk warung, hingga pilih-pilih pergaulan karena alasan takut dinilai negatif oleh masyarakat. Gerak jasadnya tak bebas lagi karena hatinya dikepung persepesinya sendiri yang ia anggap sebagai persepsi masyarakat. Gengsi untuk bekerja kasar demi menjaga ‘marwat’. Martabatnya digadaikan untuk menjaga citra nan harum.

Yang harus dipertahankan adalah kemanusiaan bukan kekiaian. Karena kita semua di dunia dicipta menjadi manusia. Dan kekiaian adalah kesepakatan masyarakat yang relative berlaku. Di Solo kiai disepakati oleh masyarakat sebagai nama kerbau, di Jogjakarta Kiai disepakati sebagai nama gamelan. Menjadi manusia awam itu menghindarkan orang lain dari ewuh pekewuh terhadap kita. 

Hubungan kita dengan orang lain akan sederajat, sebagaimana nabi dengan para sahabatnya, seandainya kita menjadi manusia biasa. Menjadi manusia awam adalah metode membuka peluang bagi kita mendapatkan hidayah, karena tak satu orang pun rikuh untuk menasehati kita. Menjadi kiai berpotensi tersesat karena menutup jalannya nasehat orang lain, karena orang bilang, “mosok kiai dinasehati?”


Oleh: Ahmad Saifullah

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Press Release Distribution