Bolehkah Berkata "Seandainya"
Salah satu diantara sekian banyak penyimpangan yang dilakukan oleh
lisan adalah mengatakan “ SEANDAINYA “ yang digunakan untuk menggugat
taqdir atau syariat, atau untuk mengungkapkan kerugian dan penyesalan
terhadap apa yang sudah terjadi. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :”
Mereka (orang-orang munafiq ) berkata :” Seandainya kita memiliki hak
campur tangan dalam urusan ini pasti kita tidak akan terbunuh disini.” (
QS. Ali Imran : 154). Ini adalah ungkapan seandainya dalam rangka
menggugat syariat.
Yang menjadi
asbabun nuzul ayat ini adalah peristiwa yang diceritakan oleh Abdullah
Bin Zubair pada waktu perang Uhud. dia berkata : Telah berkata Zubair :”
Aku melihat diriku bersama-sama Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam
ketika kami ditimpa rasa takut yang amat sangat, lalu Allah memberi rasa
ngantuk kepada kami. Tak ada seorangpun diantara kami kecuali merasakan
ketakutan ini pada hati mereka. Dia berkata lagi : Maka demi Allah, aku
mendengar ucapan Muattib Bin Qusyair, aku tidak mendengarnya kecuali
seperti mimpi. Muattib mengatakan : “Seandainya kita memiliki hak campur
tangan dalam urusan ini, pasti kita tidak akan terbunuh disini.” Aku
Menghafalkan ucapan ini, maka lalu Allah menurunkan ayat :” Mereka
berkata :” Seandainya kita mempunyai hak campur tangan dalam hal ini
maka kita tidak akan terbunuh disini.”[1] Lalu Allah menjawab :’ Katakan
olehmu : Seandainya kalian berada di rumah-rumah kalian, maka pasti
akan keluarlah orang-orang yang telah ditetapkan mati untuk menuju ke
tempat kematian mereka !” Jadi kematian ini adalah taqdir yang sudah
ditetapkan oleh Allah Azza Wajalla , dan ketetapan yang pasti yang tidak
bisa dihindari.
Perkataan mereka yang menyatakan :” Seandainya
kita memilki hak campur tangan dalam urusan ini …” dan seterusnya
merupakan gugatan terhadap syariat karena mereka mencela Rasulullah
shalallahu’alaihi wasallam ketika menetapkan harus keluar dari Madinah
untuk menyongsong musuh di bukit Uhud tanpa persetujuan mereka. Mungkin
juga ini termasuk gugatan terhadap taqdir, maksud perkataan mereka :
Seandainya kami memiliki strategi dan pendapat yang bagus maka kita
tidak akan keluar dan tidak akan terbunuh.
Dan firman-Nya pada
ayat yang lain :” Orang-orang yang berkata kepada saudara-saudara mereka
dan mereka tidak ikut berperang :” Seandainya mereka megikutii kita,
maka mereka tidak akan terbunuh.” (QS. Ali Imran : 168). Imam Ibnu
Katsir ketika menjelaskan ayat ini menyatakan bahwa maksud perkataan
mereka adalah :” Seandainya mereka (Rasulullah shalallahu’alaihi
wasallam dan para sahabatnya) mendengar musyawarah kami dan tetap
tinggal dan tidak keluar dari Madinah maka mereka tidak akan terbunuh
bersama orang-orang yang sudah gugur. Maka Allah menjawab :” Katakan
olehmu :” Tolaklah kematian dari diri-diri kalian bila kalian
orang-orang yang benar.” Maksudnya adalah apabila dengan tetap tinggal
bisa menyelamatkan seseorang dari kematian maka pasti kalian tidak akan
mati. Kematian pasti datang kepada kalian sekalipun kalian berada di
balik peti besi yang kuat. Maka hindarilah kematian dari diri kalian
kalau kalian orang-orang yang benar. Kata Mujahid, dari Jabir Bin
Abdullah, ayat ini turun tentang Abdullah Bin Ubay, artinya dialah yang
mengatakan perkataan ini.[2]
Syaikhul Islam mengatakan ketika
menerangkan tentang apa yang terjadi pada diri Abdullah Bin Ubay bahwa
ketika dia menyendiri pada waktu perang Uhud, dia berkata :” Dia (
Muhammad) meninggalkan pendapatku dan mengambil pendapat anak-anak ?”
Lalu bergabunglah sekelompok besar orang-orang. Mereka belum menjadi
munafiq sebelum itu. Tadinya mereka adalah muslimin, mereka tadinya
memiliki keimanan yang dimisalkan sebagai cahaya oleh Allah.[3]
Perkataan
ini diucapkan pada waktu perang Uhud ketika Abdullah Bin Ubay
mengundurkan diri di tengah jalan dengan membawa sepertiga dari jumlah
pasukan yang sedang menuju Uhud. Ketika sejumlah 70 orang kaum muslimin
gugur sebagai syahid pada perang itu, maka orang-orang munafiq mengritik
ketetapan Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam. Mereka mengatakan :”
Seandainya mereka menurut kepada kita dan kembali pulang sebagaimana
kita maka mereka tidak akan terbunuh. Maka ketetapan kita lebih baik
daripada ketetapan Muhammad.” Perkataan ini haram, bahkan mungkin saja
bisa sampai kepada kekafiran. Allah berfirman :” Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kalian menyerupai orang-orang kafir dan berkata
kepada saudara-saudara mereka apabila mereka bepergian di muka bumi atau
mereka pergi berperang :” Seandainya mereka bersama-sama kami maka
mereka tidak akan mati dan tak akan terbunuh.” ( QS. Ali Imran : 156).
Ini adalah bentuk gugatan terhadap taqdir.
Jadi mengatakan seandainya dalam rangka menggugat taqdir atau syariat adalah terlarang. Demikian
juga mengatakan seandainya untuk mengungkapkan penyesalan dan kerugian
tentang apa yang sudah terjadi termasuk hal yang diharamkan. Nabi
shalallahu’alaihi wasallam bersabda :” Bila kamu ditimpa satu musibah
maka janganlah kamu mengatakan :” Seandainya tadi aku melakukan ini dan
ini maka pasti akan terjadi begini-begini.” Akan tetapi katakanlah :”
Ini adalah taqdir Allah dan apa saja yang Dia kehendaki pasti Dia
laksanakan.” Karena perkataan seandainya itu bisa membuka amalan
syetan.”[4]
Contohnya apabila ada seseorang yang berminat membeli
sesuatu yang dikiranya akan memperoleh keuntungan dari hal itu tapi
ternyata rugi, lalu dia mengatakan :” Seandainya saya tidak membelinya
maka pasti saya tidak akan rugi.” Ini adalah penyesalan dan keluhan yang
banyak dilakukan manusia. Dan ini adalah terlarang.
Yang
dimaksud musibah dalam hadis ini adalah segala hal yang tidak diinginkan
dan tidak disukai, serta apa yang bisa menghalangi tercapainya tujuan
dari usaha yang sedang dilakukan. Maka siapa yang cita-citanya tidak
sesuai dengan apa yang telah Allah taqdirkan sehingga dia tidak
memperoleh apa yang diinginkannya maka dia tidak akan terlepas dari dua
keadaan :
1. Dia akan mengatakan :” Seandainya tadi saya tidak melakukan ini maka tidak akan terjadi begini.
2. Dia akan mengatakan : Seandainya saya tadi melakkukan ini pasti akan terjadi begini.
Contoh yang pertama adalah perkataan : Seandainya saya tidak bepergian, maka keuntungan tidak akan hilang.
Contoh yang kedua adalah perkataan : Seandainya saya pergi pasti saya akan untung.
Nabi
shalallahu’alaihi wasallam dalam hadis ini menerangkan contoh yang
kedua dan bukan yang pertama karena orang ini beramal dan dia mengatakan
: “ Seandainya saya melakukan seperti pekerjaan si Fulan dan bukan
perkerjaan yang saya lakukan ini maka pasti akan tercapailah keinginan
saya.” Berbeda dengan orang yang tidak melakukan maka sikapnya akan
pesimis.
Orang yang ditimpa musibah harus mengatakan : Ini adalah
taqdir Allah dan apa saja yang Dia kehendaki pasti Dia laksanakan.”
Maksudnya adalah bahwa yang terjadi ini adalah taqdir Allah dan bukan
tanggung jawab saya. Adapun tanggung jawab saya maka saya telah berusaha
melakukan apa yang saya lihat bermanfaat sebagaimana yang diperintahkan
kepada saya. Dan ini adalah sikap taslim (pasrah yang sempurna kepada
ketentuan Allah Azza Wajalla dan manusia apabila telah melakukan apa
yang diperintahkan sesuai dengan syariat maka dia tidak boleh dicela dan
urusannya diserahkan kepada Allah.
Yang dimaksud dengan “ amalan
syetan” dalam sabda Nabi shalallahu’alaihi wasallam diatas adalah apa
yang dia campakkan ke dalam hati manusia berupa menyesalan dan
kesedihan, karena syetan amat menyukai hal itu. Allah berfirman : “
Sesungguhnya bisik-bisik itu hanyalah dari syetan untuk membuat sedih
orang-orang yang beriman, dan dia tidak akan membahayakan sedikitpun
kecuali dengan izin Allah.” (QS. Al Mujadilah : 10), sehingga dalam
tidurpun syetan suka memperlihatkan mimpi-mimpi yang menakutkan untuk
mengeruhkan kejernihan pikiran manusia dan mengganggu pikirannya. Ketika
itu manusia tidak akan konsentrasi dalam beribadah sebagimana mestinya.
Oleh karena itu Nabi shalallahu’alaihi wasallam melarang shalat dalam
keadaan konsentrasi pikiran kita terganggu. Beliau bersabda :” Tidak ada
shalat dengan kehadiran makanan dan dalam keadaan dia sedang menahan
dua desakan.”[5]
Bila seseorang ridha menjadikan Allah sebagai
Tuhannya dan berkata ini adalah ketetapan Allah dan taqdir-Nya dan hal
ini pasti terjadi, maka akan tenanglah hatinya dan lapanglah dadanya.
_______________
[1] Ibnu Abi Hatim dalam tafsirnya nomor 1697. Ibnu Ishaq, sebagaimana dijelaskan dalam tafsir Ibnu Katsir 2/126 dan sanadnya hasan.
[2] Tafsir Ibnu Katsir 2/139.
[3] Majmul fatawa 7/280.
[4] Dikeluarkan oleh Muslim dalam kitab Zuhud, bab Serorang mukmin semua urusannya baik. 4/2295, dari Shuhaib Bin Sinan Radhiyallahu Anhu .
[5] Dikeluarkan oleh Muslim dalam kitab Al masajid 1/39
Sumber: http://ustadz.abuhaidar.web.id/2009/05/19/berkata-“-seandainya-……”/
0 komentar:
Posting Komentar