Istana Impian Kami Berbeda
Hmmm, bagus sekali rumah ini!
Sulit membayangkan, bagaimana seseorang mampu membangunnya. Menjadikannya sebagai istana impian yang nyata.
Seorang diri!
Tidak! Tentu kau membutuhkan bahan dan
orang-orang untuk membangunnya. Tapi, semua berasal dari apa yang kau
punya, dan tentu saja, yang kau bicarakan adalah uang.
Mungkin karena aku miskin, jadi memimpikan istana sekedar memimpikannya sekalipun merasa tak sanggup.
Ah, apa yang kau sanggup?
Nah, hati kecilku selalu mengulang hal yang nyaris sama. Tak bersahabat, mencerca diriku sendiri. Tak seharusnya ia begitu.
“Rumahmu ini, bagus sekali!” Aku berkata padanya. Dia tersenyum.
“Benarkah?”
“Ya, bagus sekali! Tentu ayahmu
menghabiskan uang yang tak sedikit untuk mendirikan istana ini!” Ujarku.
Kedua mataku mendahului kaki-kakiku untuk berjalan-jalan mengitari
semua tempat di rumah ini.
“Istana?”
“Bagiku ini adalah istana. Kau tentu
sangat senang tinggal di sini. Semuanya tampak menyenangkan dan, apa
yang tak tersedia untukmu?” Ujarku dan dia tersenyum lagi. Senyumnya
manis, lalu aku berpikir, semua penghuni istana memang mempunyai senyum
yang manis. Rasanya memang tak sulit untuk tersenyum dengan manis ketika
seseorang tinggal dengan nyaman dan bahagia di dalam istana seperti
ini.
“Tentu senang jika aku bisa melihatnya
seperti itu! Tapi, aku memang melihatnya biasa saja. Kau bahkan mungkin
tak percaya jika aku beritahu padamu bagaimana semua ini terlihat
bagiku!”
“Kau tak perlu merendah.” Aku menyela. “Aku benar-benar mengagumi istanamu ini!”
“Apa yang kau kagumi?”
“Yang aku kagumi adalah, ayahmu sanggup
membangunnya! Bagaimana cara istana ini dibangun, itu yang membuatku
kagum. Seorang yang miskin seperti aku bahkan membangunnya dalam
angan-angan pun tak bisa!”
“Tentu kau bisa membangunnya!”
“Bagaimana mungkin? Kau membutuhkan semuanya, tapi kau tak mempunyai apapun!”
Dia tersenyum lagi. Sepertinya dia tak
pernah bosan untuk tersenyum. Mungkin jika aku mempunyai ayah yang
membangunkan untukku istana seperti ini, atau mungkin yang lebih megah,
aku juga akan selalu tersenyum seperti itu.
“Ayahku sebenarnya tak pernah bisa membangunnya.” Kata Dia.
“Kau tak sedang mengatakan jika istana
ini tiba-tiba ada begitu saja, atau seseorang yang baik hati telah
menghadiahi istana ini pada kalian bukan?”
“Tentu saja tidak! Ah, sudahlah! Kau duduklah dimana saja kau ingin, aku akan membuatkanmu minum!”
“Tak perlu repot-repot!”
“Aku harus menyuguhi temanku ini minuman bukan? Tak sopan jika aku membiarkanmu kehausan.”
Aku mengangguk akhirnya. Dia berlalu
meninggalkanku, berjalan melalui sebuah pintu. Aku berpikir untuk
mengikutinya, dan selalu mataku mendahului langkahku atau sesekali
menarik langkahku ke tempat yang menarik perhatiannya.
Aku pernah membaca dongeng tentang
seorang anak yang merasa takjub ketika berada dalam sebuah istana megah.
Semua hasrat dikerahkan untuk mengungkap kekaguman yang luar biasa.
Rasanya aku menjadi seorang anak dalam dongeng itu sekarang. Mungkin
juga saat ini aku memang tengah bermimpi.
Banyak sekali pintu-pintu berwarna
cokelat mengkilap, dan pada setiap pintu dipasang kain gordin yang
mewah, serta gagang pintu berwarna emas. Bentuknya bagus.
Dinding-dinding itu dicat dengan warna-warna yang sangat indah. Lalu aku
menangkap sosok dibawahku. Kilap lantai itu yang menggambarnya.
Langkahku sampai pada sebuah ambang
pintu sebuah ruang. Dia di dalam sana dan sesuatu tengah dilakukannya.
Terdengar bunyi sendok beradu dengan dinding gelas. Ruang untuk apa ini.
“Ini dapur?” Aku bertanya.
Dia menoleh dan kembali tersenyum. Ini bahkan lebih bersih dari ruang tamu di rumahku.
“Ya, ibuku memasak makanan untuk kami di
sini.” Sahutnya. Dia beranjak dari tempatnya berdiri dan berjalan
menuju sebuah meja dengan beberapa kursi mengelilingnya. Meletakkan
gelas di sana dan mempersilakanku dengan isyarat tangan terbukanya.
“Terima kasih.”
Aku dan dia duduk berbincang. Aku terus
dengan pembicaraan tentang istana ini sebagaimana hasratku, sedang dia
selalu mengarahkanku untuk berbicara tentang hal lain. Sepertinya ia tak
berminat. Aku mulai merasa, dia seseorang yang aneh. Setiap orang
selalu bangga dengan apa yang dimilikinya. Terkadang mereka menceritakan
pada orang lain bahkan pada saat tak ada seorangpun yang menanyakannya.
“Suatu hari, aku juga ingin bertamu ke rumahmu!” Kata dia ketika aku berpamitan.
“Hanya rumah sederhana!”
“Aku akan ke sana!”
“Ah, nyaman sekali rumahmu!” Dia berkata ketika memasuki ruang tamu rumahku.
“Aku bahkan tak kerasan tinggal di sini!” Aku menjawabnya dengan sedikit prasangka, ucapannya hanya untuk menyenangkanku saja.
“Kau aneh!” Ujarnya. “Sungguh aneh jika
kau tak kerasan tinggal di rumah yang damai ini! Bagiku melihatnya saja
sudah sangat menyenangkan, tak terbayang jika aku tinggal di sini, pasti
luar biasa!”
“Damai?”
“Ya! Rumahmu tampak seperti tempat
beristirahat yang nyaman di tengah taman yang indah! Aneh bukan jika kau
tak kerasan tinggal di sini?” Dia tersenyum lagi. “Akan senang sekali
jika ayahku membangun rumah yang seperti ini.”
“Kau tak sungguh-sungguh bukan? Kau bercanda dengan kata-katamu barusan?”
“Tidak, aku sungguh-sungguh! Aku
menyukai rumahmu!” Ujarnya. Aku tak percaya mendengarnya. Ia pasti hanya
untuk menghiburku saja.
“Ah, andai aku akan tinggal di sini…”
“Aku rasa kau yang aneh! Aku saja
membayangkan tinggal di rumahmu!” Sahutku. “Mari, akan aku tunjukkan
semua yang ada dalam rumahku ini!”
“Aku tak melihat orang tuamu?”
“Ayahku bekerja di tempat yang menjual
tanaman bunga. Kau bisa membeli tanaman bunga apa saja di sana. Ibuku
menjual kerajinan yang dibuatnya sendiri di pasar. “
“Sekarang aku tahu kenapa rumahmu tampak seperti rumah di tengah taman. Pasti ayahmu yang membuatnya begitu!”
“Ayah dan ibu memang senang menanam pohon dan bunga-bunga.”
“Mereka melakukannya bersama-sama?”
“Terkadang aku membantu mereka!”
“Kurasa kalian keluarga yang bahagia!”
Ujarnya. “Aku tahu, selalu ada masalah dalam sebuah rumah. Jika yang
satu selesai, maka akan datang lagi masalah baru! Tapi kau tahu, jika
kau datang pada sebuah rumah, dan kau merasa nyaman disana, ada damai
yang menyambutmu, maka sedikitnya kau bisa meyakini jika penghuninya
hidup dalam keadaan damai! Masalah yang datang pada mereka membuat
mereka semakin tahu cara menghadapi masalah lain yang datang kemudian…”
Aku memaksakan senyum mendengar
perkataannya. Aku mulai merasa dia sangat berlebihan dengan kata-katanya
tentang rumahku, dan sekali lagi aku yakin dia hanya ingin
menyenangkanku saja. Sudah jelas rumahnya seperti istana, dan aku
merasakan kenyamanan dan kedamaian begitu datang tempo hari. Bagaimana
mungkin dia mengatakan rumah ini sebagai rumah yang sangat damai. Aku
rasa memang dia yang aneh, bukan aku.
Aku membawanya keseluruh tempat yang ada
dalam rumahku. Senyum tetap tergambar di bibirnya. Aku lalu membawanya
ke dapur, dimana ada tungku dengan abu yang berhamburan di depannya, amben
kecil tempat ibu mengiris sayuran dan memarut kelapa atau yang lainnya
jika sedang memasak, tumpukan kayu di samping tungku dan rak bambu yang
dipenuhi peralatan memasak yang kesemuanya hitam pada bagian yang selalu
terkena api dari tungku.
“Sebagaimana kau menyukai rumahku, aku
juga menyukai rumahmu! Seperti kau, aku juga tak keberatan tinggal di
rumah ini! Aku bahkan langsung kerasan begitu datang tadi!” Katanya
sembari meraih gelas berisi air teh yang kuhidangkan didepannya, pada
sebuah meja kecil di ruang tamu. Sesaat kemudian dia meminumnya dengan
hati-hati.
“Teh ini rasanya enak sekali. Aku pernah
meminum teh seperti ini, tapi aku lupa di mana. ” Ujarnya lagi. “Aku
bahkan tak keberatan jika kita bertukar rumah!” Kata dia lagi sambil
tertawa kecil.
“Kau bercanda sedari tadi…” Aku
menimpali dengan maksud mencari tahu apakah ucapannya sungguh-sungguh,
atau sekedar untuk menyenangkanku saja.
“Aku bercanda? Tidak! Aku mengatakan
yang sebenarnya! Kau boleh kagum dengan rumahku, tapi aku kagum dengan
rumahmu! Mungkin istana impian kita memang berbeda!”
“Tak ada yang akan mengatakan aneh jika
orang mengagumi istanamu, tapi aneh jika orang yang tinggal di sana
malah mengagumi rumah yang seperti ini!” Kataku.
Dia sekali lagi tersenyum. “Aku
ceritakan sesuatu padamu. Ayahku membangun apa yang kau katakan sebagai
istana. Ya! Ayahku membangun dengan uang yang dimilikinya. Menurutku itu
bukan sesuatu yang mengherankan jika orang yang memiliki uang bisa
melakukan apa saja, bahkan membuat istana! Hanya saja ayahku melupakan
satu hal, bahwa ada yang tak bisa dibangun cukup hanya dengan uang. Aku
rasa ayahku bukan apa-apa jika dibanding dengan ayahmu yang bisa membuat
rumah ini seakan tempat beristirahat yang menyenangkan di tengah taman
yang indah. Ayahku hanya bisa membangun istananya saja, dia tak
membangun pula kebahagiaan dan kedamaian di sana. Kami tercerai berai,
mungkin belum tentu sebulan sekali ayah pulang kesana! Begitu juga
dengan ibu! Kakakku entah pergi kemana! Aku kesepian di sana. Aku tak
tahu apa kau akan mengatakan menyenangkan tinggal di sana jika menjadi
aku…”
“Kau membayangkan ayahku dengan uang dan
istananya. Aku membayangkan ayahmu dengan rumah di tengah taman yang
damai ini. Aku hampir tak percaya kau mengatakan tak kerasan di sini.
Yang telah dilakukan ayahmu ini luar biasa! Aku tak yakin jika kau
sedang bermasalah dengan ayah atau ibumu…”
“Aku memang tak memiliki masalah, kami semua baik-baik saja. Ayahku tak pernah membuatku kecewa.”
“Istana itu memang megah dari luar, aku
pun akan menyukainya jika aku bukan orang yang tinggal disana. Tapi kita
tak pernah tahu ada surga atau neraka didalamnya! Kau akan sama seperti
aku yang mengagumi rumahmu ketika kau tinggal disana dengan apa-apa
yang terjadi denganku.”
“Tapi bukankah kau jadi bebas disana?” Aku bertanya sambil memikirkan kembali pertanyaanku. Rasanya benar, kan?
“Ya, bebas! Tapi aku selalu menginginkan
saat aku duduk menghadapi buku-buku, ada ayah dan ibu duduk dengan
cangkir teh di tangan merekam asing-masing dan saling bicara. Ketika aku
ingin bertanya, mereka ada untuk menjawabnya, ketika aku tak bisa
melakukan sesuatu, mereka ada untuk membantuku, dan mereka juga ada
untuk mengingatkanku, ketika aku melakukan kesalahan. Semuanya! Dalam
semua suasana. Aku selalu ingin berkumpul dengan mereka pada malam
dengan cerita kami masing-masing tentang siang harinya!”
“Aku memiliki suasana seperti itu.”
Kataku. Aku tak tahu, karena bagiku itu biasa saja. Tak ada yang
istimewa. Aku bahkan seringkali bosan mendengar pembicaraan ayah dan ibu
padaku.
“Aku akan senang dan bersyukur sekali jika aku memiliki suasana yang kau miliki. Aku yakin kau pasti senang.”
Aku tersenyum. Sebenarnya tidak, tapi
sejenak kemudian ada sesuatu yang mencuat dalam pikiranku. Sederhana
yang diinginkannya, yang dia katakan sebagai hal yang luar biasa, dan
sebenarnya aku memilikinya! Tapi entahlah, aku merasa tak memiliki
apapun.
“Istanaku bukan apa-apa jika dibandingkan dengan damainya hidup yang kau miliki. Kau tahu, aku tak memiliki itu di sana!”
Aku diam dan berpikir keras.
0 komentar:
Posting Komentar