Senin, 20 Januari 2014

Ambisi Terhadap Jabatan

Hukum Meminta Jabatan

Assalamu’alaykum wr. wb.
Saudara yang dimuliakan Allah swt
Memang jabatan adalah sesuatu yang sangat menggiurkan setiap manusia. Karena disitulah terdapat kamasyhuran, ketenaran, kehormatan dan kemapanan sosial ekonomi. Karena itu wajarlah ketika Rasulullah saw menyebutkan bahwa tidaklah dua ekor srigala lapar yang dilepas kepada kerumunan kambing lebih merusak agama daripada ambisi seseorang terhadap harta dan jabatan.” (HR. Tirmidzi) dan Tirmidzi mengatakan,”ini adalah hadits hasan shahih)


Dan tidak jarang ambisi seseorang terhadap jabatan menutupi akal sehatnya bahkan meredupkan keimanannya kepada Allah swt. Banyak mengajar jabatan dengan cara-cara yang diharamkan agama, seperti suap, menzhalimi kompetitornya, membohongi rakyatnya atau yang lainnya. Sangat mungkin mereka yang melakukannya mengetahui betul bahwa itu semua diharamkan dan dilarang oleh agama. Lalu mengapa mereka tetap melakukannya? Apakah mereka tidak mengetahui bahwa Allah Maha Melihat? Apakah mereka tidak meyakini bahwa kelak mereka akan ditanya oleh Allah azza wa jalla?

Jabatan adalah amanah yang kebanyakan orang tidak mampu menunaikannya dengan baik kecuali orang-orang dirahmati dan dibantu oleh Allah swt. Karena itu islam mengharuskan mereka yang menduduki jabatan (kekuasaan) adalah orang-orang yang mampu dan kuat terhadap berbagai bujuk rayu setan yang mengajaknya menyalahi janji jabatannya dan menyimpang darinya.

Rasulullah saw tidaklah memberikan jabatan kepada orang-orang yang memintanya karena itu adalah tanda ambisiusnya, yang kebanyakan nafsunya melebihi kemampuannya sebagaimana yang diriwayatkan dari Abdurrahman bin samurah bahwa Nabi saw bersabda,”Wahai Abdurrahman janganlah kamu meminta imaroh (jabatan, kepemimpinan). Sesungguhnya jika engkau diberikannya karena memintanya maka engkau tidak akan dibantu.” (HR. Bukhori)

Al Hafizh Ibnu hajar mengatakan bahwa makna dari hadits diatas adalah siapa yang meminta jabatan dan diberikan kepadanya maka dia tidak akan dibantu dikarenakan ambisinya. Arti dari itu adalah bahwa meminta apa-apa yang berkaitan dengan hukum adalah makruh, termasuk didalam imaroh adalah hakim, pengawas dan lainnya. Dan bahwasanya siapa yang berambisi dengan hal itu tidaklah akan dibantu.

Selanjutnya Al Hafizh mengutip hadits Abi Musa,”Sesungguhnya kami tidaklah mengangkat pemimpin dari orang yang ambisi” karena itu selanjutnya beliau mengungkapkan kata “pertolongan”. Maka sesungguhnya siapa yang tidak mendapatkan pertolongan dari Allah didalam amalnya maka amal itu tidaklah cukup oleh karena itu tidak sepatutnya menyambut permintaannya. Sebagaimana diketahui bahwa kepemimpinan tidaklah kosong dari kesulitan. 

Maka barangsiapa yang tidak mendapatkan pertolongan maka ia akan mendapat kesulitan dan kerugian di dunia dan akherat. Dan barangsiapa yang memiliki akal maka ia tidaklah bersikeras untuk memintanya akan tetapi jika ia memiliki kemampuan dan diberikan tanpa memintanya maka sungguh Rasulullah saw menjanjikan pertolongan-Nya dan didalamnya terdapat keutamaan. 

Al Muhallab mengatakan bahwa terdapat penafsiran tentang pertolongan didalam hadits Bilal bin Mirdas dari Khaitsamah dari Anas,”Barangsiapa yang meminta kepemimpinan dan meminta bantuan melalui para perantara maka semuanya diserahkan kepadanya (tidak dibantu, pen). Dan barangsiapa yang tidak menyukai hal itu maka Allah akan turunkan malaikat yang akan memandunya.” Dikeluarkan oleh Ibnul Mundzir.

Selanjutnya al Muhallab mengatakan bahwa makna “tidak menyukai hal itu” adalah orang itu memganggap bahwa dirinya bukanlah ahlinya dalam jabatan tersebut karena khawatir dan takut terjatuh didalam perkara-perkara yang diharamkan dan jika orang itu memegang jabatan maka dia akan ditolong dan diarahkan. Pada dasarnya barangsiapa yang tawa’dhu (merendahkan dirinya) dihadapan Allah maka Allah akan mengangkatnya. Ibnut Tiin mengatakan bahwa itulah makna yang paling dominan. 

Sedangkan perkataan Yusuf : “Jadikanlah Aku bendaharawan negara (Mesir)” (QS. Yusuf : 55) dan perkataan Sulaiman : “dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan.” (QS. Shaad : 35) mengandung kemungkinan bahwa maksud diatas semua adalah terhadap selain para Nabi. (Fathul Bari juz XIII hal 146 – 147)

Terhadap perkataan Nabi Yusuf diatas, Sayyid Qutb mengatakan bahwa Yusuf tidaklah meminta untuk dirinya sendiri, dia melihat bahwa memegang kekuasaan dan meminta untuk dijadikan sebagai bendaharawan negara merupakan sikap bijaksananya didalam memilih waktu yang mengharuskannya untuk itu, memikul suatu kewajiban yang sulit dan berat, mengemban beban berat pada waktu-waktu yang sangat sulit. 

Dia menjadi orang yang bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan pangan rakyat seluruhnya demikian pula orang-orang yang ada di sekitar negerinya selama tujuh tahun tanpa ada tanaman dan binatang ternak. Kedudukan yang diminta itu bukanlah untuk diri Yusuf sendiri, sesungguhnya memenuhi kebutuhan pangan setiap rakyatnya yang kelaparan selama tujuh tahun secara terus menerus menjadikan tidak seorang pun yang mengatakan bahwa jabatan itu adalah keberuntungan baginya.

Sesungguhnya jabatan itu adalah beban berat yang setiap orang lari darinya dikarenakan hal itu telah dipikul oleh para pemimpin mereka seblumnya sementara kelaparan bisa menjadikannya kafir. Sungguh masyarakat yang lapar telah tercabik-cabik jasadnya didalam berbagai pemandangan kekufuran dan kehilangan akal. (Fii Zhilalil Qur’an juz V hal 2005)

Dengan demikian meminta agar dijadikan pemimpin, pejabat negara, hakim, atau segala bentuk kepemimpinan yang bertanggung jawab terhadap urusan-urusan manusia baik didalam lingkup publik maupun khusus (terbatas) termasuk didalamnya untuk menjadi pejabat di sebuah instansi sementara keadaan tidaklah mengharuskan dirinya untuk memintanya dikarenakan masih banyaknya orang-orang yang lebih memiliki kemampuan dan kapasitas untuk tugas itu maka hal itu adalah bukti ambisi dan syahwatnya sehingga tidak diperbolehkan.

Dan hal itu dibolehkan manakala tidak ada lagi orang yang menginginkannya atau tidak ada yang sanggup mengemban amanah jabatan itu dan dikhawatirkan instansi yang bersangkutan akan bangkrut atau mengalami kerugian atau para karyawannya terancam kehilangan pekerjaan atau sejenisnya sehingga keterpaksaanlah yang menuntutnya untuk meminta agar dijadikan pemimpin atau manager di perusahaan itu dengan tetap meniatkan semua itu karena Allah swt dan untuk kepentingan bersama bukan kepentingan pribadinya.

Sebagaimana yang terjadi pada Nabi Yusuf as meskipun dia meminta agar dijadikan bendaharawan Negara akan tetapi Allah swt tetap mengatakan bahwa dia adalah termasuk orang-orang yang ikhlas didalam firman-Nya :

إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ

Artinya : “Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba kami yang terpilih (ikhlas).” (QS. Yusuf : 24) 

Sehingga orang yang seperti ini layak mendapatkan bantuan dan pertolongannya dari Allah swt karena bersih dari berbagai ambisi dan syahwat kepemipinan atau kekuasaan.

Adapun seeorang yang bercita-cita untuk menjadi pemimpin atau seorang staf yang bercita-cita untuk menjadi seorang manager tentunya berbeda dengan seorang yang meminta jabatan kepemimpinan.

Cita-cita bisa menjadi harapan manakala orang itu mengikutinya dengan berbagai usaha dan upaya keras untuk menggapainya. Tentunya bagi seorang muslim semua upaya itu ditempuhnya dengan cara-cara yang dibenarkan menurut agama bukan dengan cara-cara yang dilarangnya. Namun cita-cita itu akan hanya menjadi angan-angan manakala orang itu tidak pernah berusaha dan berupaya untuk menggapainya, sebagaimana ungkapan yang mengatakan,”Siapa yang berusah keras maka ia akan mendapatkan hasilnya.”

Atau sebagaimana disebutkan didalam firman-Nya :

فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاء رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

Artinya : “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya". (QS. Al Kahfi : 110)

Pada dasarnya permasalahan bukanlah pada jabatan atau kepemimpinan itu sendiri akan tetapi pada cara untuk mendapatkannya. Seperti halnya orang yang bercita-cita menikah dengan seorang wanita cantik. Tentunya tidak seorang pun menyalahkan cita-cita orang ini karena hal itu termasuk perkara yang dibolehkan atau tidak dilarang. Akan tetapi yang tidak diperbolehkan baginya adalah berusaha mencarinya dengan cara-cara yang dilarang atau diharamkan agama maka pernikahan orang itu kelak tidak akan mendapat keberkahan dari Allah swt dan jauh dari bantuan-Nya dalam setiap permasalahan di rumah tangganya. Akan tetapi jika orang itu mendapatkannya dengan cara-cara yang dibenarkan dan dihalalkan agama maka pernikahannya kelak akan diberkahi dan ditolong oleh-Nya.

Hal lainnya, bahwa cita-cita adalah mengharapkan atau menginginkan sesuatu yang akan datang atau belum terjadi pada saat ia mencita-citakannya sehingga tidaklah bisa diberikan hukum atasnya berbeda dengan meminta jabatan maka ia adalah perbuatan yang terjadi pada sat memintanya sehingga sudah bisa diberikan hukum atasnya apakah ia dibolehkan atau dilarang.


Wallahu A’lam
eramuslim

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Press Release Distribution