Didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, nasib diartikan dengan sesuatu
yang ditentukan oleh Tuhan atas diri seseorang; misalnya, nasib
membawanya terhempas di Jakarta. Nasib baik (nasib mujur) adalah
keberuntungan, misalnya ; ia selalu memperoleh nasib baik di usahanya.
Nasib buruk adalah kemalangan, misalnya; nasib buruk telah menimpa
keluarganya.
Kata nasib sendiri berasal dari bahasa arab yang berarti al hazzhu min kulli syai’in (bagian dari segala sesuatu) bentuk pluralnya adalah anshiba dan anshibah. Dari aspek majaz : jika disebutkan lii nashiibun minhu artinya kami mempunyai bagian tertentu pada asalnya. An nashib juga bermakna al haudhu yaitu bagian dari daerah tertentu di bumi sebagaimana disebutkan al Jauhari. (Lisanul Arab juz I hal 974, Maktabah Syamilah)
Dari kedua makna tersebut, nasib bisa diartikan dengan bagian yang
diterima seseorang, baik itu berupa kesenangan maupun kesusahan,
keuntungan maupun kerugian, kebaikan maupun keburukan.
Sedangkan takdir berasal dari kata al qodr yang menurut
syariat adalah bahwasanya Allah swt mengetahui ukuran-ukuran dan
waktu-waktunya sejak azali kemudian Dia swt mewujudkannya dengan
kekuasaan dan kehendak-Nya sesuai dengan ilmu-Nya. Dan Dia swt juga
menetapkannya di Lauh Mahfuzh sebelum menciptakannnya, sebagaimana
disebutkan didalam hadits, ”Yang pertama kali diciptakan Allah adalah
pena. Dia swt mengatakan kepadanya, ’Tulislah.’ Pena itu mengatakan,
’Apa yang aku tulis?’ Dia swt mengatakan, ’Tulislah segala sesuatu yang
akan terjadi.” (Syarhul aqidah al wasathiyah juz I hal 32, Maktabah
Syamilah)
Tidak ada sesuatu pun yang terjadi di alam ini—tidak hanya pada
manusia baik pada mahkluk hidup maupun benda mati, yang bergerak maupun
yang diam, yang kecil maupun yang besar, yang ghaib maupun yang nyata
kecuali sudah ditetapkan dan dituliskan oleh Allah swt di Lauh Mahfuzh.
Tidak satu pun daun yang rontok dari dahannya, semut yang mati di
atas batu hitam, benda langit yang hilang, kerikil yang berpindah
tempatnya, jumlah bayi yang terlahir dan meninggal setiap detiknya
kecuali itu semua berada dalam ilmu, ketetapan, kehendak dan ciptaan
Allah swt.
Adapun takdir yang terkait dengan kehidupan manusia sebagaimana
disebutkan didalam sabda Rasulullah saw,”..kemudian dia bertanya lagi,
’Beritahukan kepadaku tentang Iman.’ Nabi saw menjawab, ’Hendaklah
engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para
Rasul-Nya, hari akhir dan beriman kepada takdir Allah yang baik dan
buruk.” (HR. Muslim)
Artinya bahwa tidak ada sesuatu pun yang terjadi pada manusia baik
perbuatan maupun perkataannya, kesenangan maupun kesusahannya, sehat
maupun sakitnya, rezeki maupun musibahnya, pahala maupun dosanya, hidup
maupun matinya, yang seluruhnya adalah bagian dari kehidupannya kecuali
sudah diketahui dan ditetapkan Allah swt serta sesuai dengan kehendak
dan ciptaan-Nya.
Firman Allah swt,
مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي
أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَا إِنَّ
ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ ﴿٢٢﴾
”Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula)
pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul
Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu
adalah mudah bagi Allah. (QS. Al Hadid : 22)
Dari definisi tentang nasib dan takdir diatas, maka bisa disimpulkan
bahwa nasib pada umumnya digunakan untuk bagian yang diterima manusia
baik berupa kebaikan atau keburukan, kesenangan atau kesusahan.
Sedangkan takdir tidak hanya mencakup hal-hal yang terjadi pada manusia
namun ia juga yang terjadi pada seluruh makhluk lainnya di alam ini
sejak zaman azali dan sudah dituliskan di Lauh Mahfuzh. Sehingga nasib
adalah bagian dari takdir.
Apakah Bunuh Diri, Kecelakaan Takdir Allah Swt
Sebagaimana disebutkan diatas tentang definisi dari takdir yang
mencakup ilmu, ketetapan, kehendak dan ciptaan Allah swt. Maka segala
perbuatan dan perkataan manusia tidaklah lepas dari keempat hal
tersebut.
Namun jangan kemudian diartikan bahwa ketika seseorang memukul orang
lain, gagal dalam ujian, menjadi penjahat, berbuat maksiat atau bunuh
diri kemudian dengan mudah mengatakan bahwa itu semua adalah takdir
Allah swt atas dirinya. Ini tidaklah betul berdasarkan dalil-dalil
berikut :
1. Allah swt berfirman,
وَلَوْ شَاء اللّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً
وَلكِن يُضِلُّ مَن يَشَاء وَيَهْدِي مَن يَشَاء وَلَتُسْأَلُنَّ عَمَّا
كُنتُمْ تَعْمَلُونَ ﴿٩٣﴾
”Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu
umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan
memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Sesungguhnya
kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. An Nahl : 93)
Makna al hidayah didalam Al Qur’an mengandung pengertian ad dalalah
(menunjukan) dan al i’anah (pertolongan). Ad dalalah (menunjukan) ini
adalah bagi semua orang baik mukmin maupun kafir karena Allah swt
menunjukkan semua orang dengan manhaj-Nya, mengutus Rasul-Nya yang
membawa kitab-Nya namun karena kecongkakan dan kesombongannya maka
mereka lebih memilih kesesatan daripada petunjuk, sebagaimana firman-Nya,
وَأَمَّا ثَمُودُ فَهَدَيْنَاهُمْ فَاسْتَحَبُّوا
الْعَمَى عَلَى الْهُدَى فَأَخَذَتْهُمْ صَاعِقَةُ الْعَذَابِ الْهُونِ
بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ ﴿١٧﴾
”Dan Adapun kaum Tsamud, Maka mereka telah Kami beri petunjuk
tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) daripada petunjuk, Maka
mereka disambar petir azab yang menghinakan disebabkan apa yang telah
mereka kerjakan.” (QS. Fushilat : 17}
Sedangkan al ‘ianah (pertolongan) dan dorongan untuk melakukan
kebaikan adalah khusus buat orang yang beriman kepada Allah, mengikuti
Rasul-Nya dan menjalankan isi kitab-Nya maka mereka mendapatkan petunjuk
dari-Nya,
وَالَّذِينَ اهْتَدَوْا زَادَهُمْ هُدًى وَآتَاهُمْ تَقْواهُمْ ﴿١٧﴾
”Dan orang-orang yang mau menerima petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan Balasan ketaqwaannya.” (QS. Muhammad : 17)
2. Kehendak (masyi’ah) Allah didalam menunjukkan atau menyesatkan
seseorang adalah muthlaq, tidak dipertanyakan apa yang Dia swt perbuat.
Namun Allah juga bersifat Adil, maka tidak mungkin Allah menyesatkan
orang yang berhak mendapatkan petunjuk atau sebaliknya, firman-Nya,
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ أَسَاء فَعَلَيْهَا وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِّلْعَبِيدِ ﴿٤٦﴾
”Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh Maka (pahalanya)
untuk dirinya sendiri dan Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, Maka
(dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu
Menganiaya hamba-hambaNya.” (QS. Fushilat : 46)
3. Allah swt mengetahui bahwa hamba-hamba-Nya akan memilih dan
melakukan sesuatu dan ketika Dia swt menulis di Lauh Mahfuzh apa yang
akan dipilih dan dilakukannya, maka Allah dalam menulis ini, hanya
berdasarkan kepada ilmu-Nya yang meliputi dan menyeluruh. Ilmu Allah
tidak pernah berubah. Ilmu Allah hanya mempunyai sifat inkisyaf
(menyingkap) terhadap sesuatu yang telah lalu, saat ini dan akan datang.
Ilmu Allah tidak memiliki sifat ijbar (memaksa) dan ta’tsir
(mempengaruhi) sebagaimana halnya kemampuan dan kehendak-Nya. Jadi Allah
mengetahui secara azali tentang hamba-Nya, bahwa ia akan memilih jalan
kekufuran dan akan mati dalam kekufuran, tetapi ilmu Allah hanya
memiliki sifat inkisyaf tidak memiliki sifat ijbar dan ta’tsir.
4. Setiap orang yang bertakwa maupun tidak bertakwa mempunyai
kemampuan ikhtiar dan kebebasan ikhtiar. Allah swt memberikan mereka
akal untuk bisa membedakan mana yang baik maupun buruk bagi dirinya.
Kemudian manusia pun diberikan kebebasan berikhtiar manakah jalan yang
dipilihnya; jalan yang baik atau yang buruk, ketaatan atau kemaksiatan
dan apabila ini telah terwujud maka berarti telah berlaku tuntutan
pertanggung-jawaban atau dasar diberlakukannya pembalasan dengan pahala
atau siksa.
Diantara bukti kebebasan ikhtiar ini adalah perasaan ingin bebas
melaksanakan shalat atau meninggalkannya, membayar zakat atau tidak.
Firman Allah swt,
فَأَمَّا مَن طَغَى ﴿٣٧﴾ وَآثَرَ الْحَيَاةَ
الدُّنْيَا ﴿٣٨﴾ فَإِنَّ الْجَحِيمَ هِيَ الْمَأْوَى ﴿٣٩﴾ وَأَمَّا مَنْ
خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى ﴿٤٠﴾ فَإِنَّ
الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى ﴿٤١﴾
”Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan
kehidupan dunia, Maka Sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). dan
Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri
dari keinginan hawa nafsunya, Maka Sesungguhnya syurgalah tempat
tinggal(nya).” (QS. An Nazi’aat : 37 – 41)
Manusia tidak akan berdosa atau dihisab bahkan tidak akan disiksa
terhadap sesuatu yang dia tidak memiliki pilihan didalamnya, seperti
lupa, dipaksa atau keadaan darurat, sebagaimana sabda Rasulullah saw,”Sesungguhnya Allah swt telah membebaskan umatku karena keliru, lupa dan mereka yang dipaksa.” (HR. Ibnu Majah dan Baihaqi) (Disarikan dari buku Jawaban Tuntas Masalah Taqdir, DR. Abdullah Nashih ‘Ulwan)
Jadi ketika seorang bunuh diri, meninggal karena suatu kecelakaan
atau jihad di jalan Allah maka segala yang tekait dengan perbuatannya
itu sudah diketahui Allah swt dan sudah dituliskan di Lauh Mahfuzh namun
pengetahuan Allah swt ini hanya bersifat inkisyaf (menyingkap) dan
ilmu-Nya tidaklah bersifat ijbari (memaksa) dan tatsir (mempengaruhi).
Bukti dari keadilan Allah kepadanya adalah dengan diberikannya akal
untuk mampu mempertimbangkan segala efek dari bunuh dirinya itu atau
berjihad dijalan Allah baik dari sudut pandang agama maupun yang
lainnya. Setelah itu ia diberikan kebebasan menentukan pilihannya apakah
dia meneruskan niatnya dengan menusukkan pisau ke perutnya sendiri,
menyerang sendirian pasukan musuh tanpa satu senjata pun padahal kondisi
tidaklah memaksa mujahid itu untuk melakukannya ataukah dia
mengurungkan niatnya tersebut, bersabar dan mencari solusi yang diridhoi
Allah swt.
Apabila dia mengambil pilihan untuk menusukan pisau ke perutnya
sendiri, meyerang sendirian pasukan musuh tanpa satu senjata pun
sehingga dia meninggal dunia dan ketika perbuatan itu terjadi maka ia
bertanggung jawab atas perbuatannya tersebut.
Dan terhadap sesuatu yang dimana manusia tidak memiliki pilihan
atasnya maka dia tidaklah berdosa, seperti ketika seseorang yang tengah
mengendarai sebuah mobil secara wajar di sebuah dataran tinggi namun
secara tiba-tiba jalan yang dilaluinya longsor dan ia pun terhempas ke
jurang dan meninggal dunia.
Kalaulah masih ada yang mengatakan bahwa bunuh diri dengan pisau atau
mati dengan cara menyerang pasukan musuh sendirian adalah takdir Allah
semata maka bagaimana pendapatnya jika datang seseorang mendekatinya dan
menampar pipinya kemudian orang yang menampar itu dengan mudah
mengatakan kepadanya,”maaf itu semua adalah takdir Allah.” maka apakah
ia akan menerimanya?!!
Atau bagaimana pendapatnya jika orang itu diminta untuk setiap
harinya menetap di rumah saja, menutup pintu, tidak usah bekerja dan
berusaha hanya menanti rezeki yang datang ke rumah maka bisakah anak
istrinya kenyang, terpenuhi kebutuhan sandang pangannya?!!
Atau seandainya dia seorang pemuda dewasa yang belum memiliki
keahlian kerja sama sekali sementara dia butuh pekerjaan maka apakah dia
akan berpangku tangan, berdiam diri dan tidak berusaha keras menajamkan
keahliannya sampai pekerjaan yang diinginkannya datang menjemputnya?!!
Wallahu A’lam
Sumber: eramuslim
0 komentar:
Posting Komentar