Pandangan Hidup Manusia Menurut Islam
Manusia Sebagai Khalifatullah
Fungsi dan kedudukan manusia di dunia ini adalah sebagai khalifah di
bumi. Tujuan penciptaan manusia di atas dunia ini adalah untuk
beribadah. Sedangkan tujuan hidup manusia di dunia ini adalah untuk
mendapatkan kesenangan dunia dan ketenangan akhirat. Jadi, manusia di
atas bumi ini adalah sebagai khalifah, yang diciptakan oleh
Allah dalam rangka untuk beribadah kepada-Nya, yang ibadah itu adalah
untuk mencapai kesenangan di dunia dan ketenangan di akhirat.
Apa yang harus dilakukan oleh khalifatullah itu
di bumi? Dan bagaimanakah manusia melaksanakan ibadah-ibadah tersebut?
Serta bagaimanakah manusia bisa mencapai kesenangan dunia dan ketenangan
akhirat tersebut? Banyak sekali ayat yang menjelaskan mengenai tiga
pandangan ini kepada manusia. Antara lain seperti disebutkan pada Surah
Al-Baqarah ayat 30:
Ingatlah ketika
Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa
bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman:
“Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui“. (Q.S. Al-Baqarah: 30)
Khalifah adalah seseorang yang diberi tugas sebagai pelaksana dari tugas-tugas yang telah ditentukan. Jika manusia sebagai khalifatullah di
bumi, maka ia memiliki tugas-tugas tertentu sesuai dengan tugas-tugas
yang telah digariskan oleh Allah selama manusia itu berada di bumi
sebagai khalifatullah.
Jika kita menyadari diri kita sebagai khalifah Allah,
sebenarnya tidak ada satu manusia pun di atas dunia ini yang tidak
mempunyai “kedudukan” ataupun “jabatan”. Jabatan-jabatan lain yang
bersifat keduniaan sebenarnya merupakan penjabaran dari jabatan pokok
sebagai khalifatullah. Jika seseorang menyadari bahwa jabatan keduniawiannya itu merupakan penjabaran dari jabatannya sebagai khalifatullah,
maka tidak ada satu manusia pun yang akan menyelewengkan jabatannya.
Sehingga tidak ada satu manusia pun yang akan melakukan
penyimpangan-penyimpangan selama dia menjabat.
Jabatan manusia sebagai khalifah
adalah amanat Allah. Jabatan-jabatan duniawi, misalkan yang diberikan
oleh atasan kita, ataupun yang diberikan oleh sesama manusia, adalah
merupakan amanah Allah, karena merupakan penjabaran dari khalifatullah. Sebagai khalifatullah, manusia harus bertindak sebagaimana Allah bertindak kepada semua makhluknya.
Pada hakikatnya, kita menjadi khalifatullah
secara resmi adalah dimulai pada usia akil baligh sampai kita dipanggil
kembali oleh Allah. Manusia diciptakan oleh Allah di atas dunia ini
adalah untuk beribadah. Lantas, apakah manusia ketika berada di dalam
rahim ibunya tidak menjalankan tugasnya sebagai seorang hamba? Apakah
janin yang berada di dalam rahim itu tidak beribadah?
Pada
dasarnya, semua makhluk Allah di atas bumi ini beribadah menurut
kondisinya. Paling tidak, ibadah mereka itu adalah bertasbih kepada
Allah. Disebutkan dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah:
Yushabbihu lillahi ma fissamawati wama fil ardh.
Bebatuan,
pepohonan, gunung, dan sungai misalkan, semuanya beribadah kepada Allah
dengan cara bertasbih. Dalam hal ini, janin yang berada di dalam rahim
ibu beribadah sesuai dengan kondisinya, yaitu dengan cara bertasbih.
Ketika Allah akan meniupkan roh ke dalam janin, maka Allah bertanya dulu
kepada janin tersebut. Allah mengatakan “Aku akan meniupkan roh ke
dalam dirimu. Tetapi jawab dahulu pertanyaan-Ku, baru Aku akan tiupkan
roh itu ke dalam dirimu. Apakah engkau mengakui Aku sebagai Tuhanmu?”
Lalu dijawab oleh janin tersebut, “Iya, aku mengakui Engkau sebagai
Tuhanku.”
Dari
sejak awal, ternyata manusia itu sebelum ada rohnya, atau pada saat
rohnya akan ditiupkan, maka Allah menanyakan dahulu apakah si janin mau
mengakui-Nya sebagai Tuhan. Jadi, janin tersebut beribadah menurut
kondisinya, yaitu dengan bertasbih kepada Allah. Tidak ada makhluk Allah
satupun yang tidak bertasbih kepada-Nya.
Manusia
mulai melakukan penyimpangan dan pembangkangan terhadap Allah yaitu
pada saat ia berusia akil baligh hingga akhir hayatnya. Tetapi, jika
kita ingat fungsi kita sebagai khalifatullah, maka takkan ada manusia yang melakukan penyimpangan.
Makna sederhana dari khalifatullah adalah
“pengganti Allah di bumi”. Setiap detik dari kehidupan kita ini harus
diarahkan untuk beribadah kepada Allah, seperti ditegaskan oleh Allah di
dalam firman-Nya:
Wa ma khalaqtul jinna wal insa illa li ya’budu.
“Tidak Aku ciptakan manusia dan jin kecuali untuk menyembah kepada-Ku.”
Kalau
begitu, sepanjang hayat kita sebenarnya adalah untuk beribadah kepada
Allah. Dalam pandangan Islam, ibadah itu ada dua macam, yaitu: ibadah
primer (ibadah mahdhah) dan ibadah sekunder (ibadah ghairu mahdhah). Ibadah mahdhah adalah ibadah yang langsung, sedangkan ibadah ghairu mahdhah adalah ibadah tidak langsung. Seseorang yang meninggalkan ibadah mahdhah,
maka akan diberikan siksaan oleh Allah. Sedangkan bagi yang
melaksanakannya, maka akan langsung diberikan ganjaran oleh Allah. Ibadah mahdhah antara lain: shalat, puasa, zakat, dan haji. Sedangkan ibadah ghairu mahdhah adalah semua aktifitas kita yang bukan merupakan ibadah mahdhah tersebut, antara lain: bekerja, masak, makan, dan menuntut ilmu.
Ibadah ghairu mahdhah adalah ibadah yang paling banyak dilakukan dalam keseharian kita. Dalam kondisi tertentu, ibadah ghairu mahdhah harus didahulukan daripada ibadah mahdhah.
Nabi mengatakan, jika kita akan shalat, sedangkan di depan kita sudah
tersedia makanan, maka dahulukanlah untuk makan, kemudian barulah
melakukan shalat. Hal ini dapat kita pahami, bahwa jika makanan sudah
tersedia, lalu kita mendahulukan shalat, maka dikhawatirkan shalat yang
kita lakukan tersebut menjadi tidak khusyu’, karena ketika shalat
tersebut kita selalu mengingat makanan yang sudah tersedia tersebut,
apalagi perut kita memang sedang lapar.
Tujuan Ibadah
Tujuan ibadah ada dua (baik itu ibadah mahdhah, maupun ibadah ghairu mahdhah). Pertama, untuk mencapai kesenangan hidup di dunia. Kedua,
untuk mencapai ketenangan hidup di akhirat. Atau secara sederhananya
yaitu untuk mencapai kesenangan dan ketenangan dunia dan akhirat.
Berbagai macam kesenangan dunia kita lakukan tak lain adalah untuk
meraih kesenangan dan ketenangan akhirat. Misalkan bekerja. Dengan
bekerja, maka seseorang akan mendapatkan uang. Dengan uangnya tersebut,
maka ia akan mendapatkan kesenangan dunia, dan juga akan semakin
memudahkannya untuk melakukan ibadah mahdhah, misalkan berzakat ataupun menunaikan ibadah haji.
Rasulullah mengatakan, “Orang yang paling gampang masuk surga adalah orang kaya yang mau bersedekah.”
Mendengar itu, seorang sahabat berkata, “Ya Rasul, bagaimana kalau saya ini tidak kaya?”
Rasulullah kemudian menanyakan kepada sahabat tersebut, “Apakah kamu memiliki kurma?”
“Punya, ya Rasul,” jawab sahabat tersebut.
“Kalau
kamu memang memiliki kurma, maka bagi dua-lah kurma tersebut.
Setengahnya sedekahkan kepada orang lain, sedangkan setengahnya lagi
untukmu. Setengah yang kamu bagikan kepada orang lain tersebut akan
mengantarkan kamu untuk masuk surga bersama orang kaya yang suka
bersedekah,” perjelas Rasulullah kepada sahabat tersebut.
Lalu
ada lagi sahabat yang bertanya ketika itu, “Ya Rasul, saya tidak kaya
dan tidak punya kurma. Kalau seperti ini, berarti saya susah masuk
surga?”
Lalu Rasulullah bertanya kepada sahabat tersebut, “Apakah kamu mempunyai air satu gelas?”
“Punya, ya Rasul,” jawab sahabat tersebut.
“Kalau
begitu, yang satu gelas tersebut kamu bagi dua. Setengahnya untuk kamu,
sedangkan setengahnya lagi kamu sedekahkan kepada orang lain yang
membutuhkan. Maka setengah yang kamu sedekahkan kepada orang lain itu
akan mengantarkan kamu masuk surga bersama orang yang punya kurma yang
dibagi dua tadi, dan juga bersama dengan orang kaya yang suka
bersedekah.”
Lalu
ada lagi yang bertanya, “Ya Rasul, saya ini tidak kaya, tidak punya
kurma, dan juga tidak punya air satu gelas. Kalau begitu saya ini akan
susah masuk surga?”
Lalu
dijawab oleh Rasulullah, “Kalau kamu tidak mempunyai ketiga-tiganya
itu, maka sedekahkanlah kepada saudaramu kalimat-kalimat yang baik,
nasihat-nasihat yang baik, serta ucapan-ucapan yang baik.”
Nabi
juga pernah mengatakan, “Hak seorang muslim itu adalah untuk didatangi
pada saat ia sakit.” Jika itu adalah hak seorang muslim, maka muslim
yang lainnya berkewajiban untuk mendatangi muslim yang sedang sakit
tersebut.
Lalu
Nabi juga pernah mengatakan, “Ketika kalian mendatangi orang yang
sedang sakit, coba usap-usaplah dia dengan mengatakan, bersabarlah,
karena ini ujian Allah.” Jadi, kita tidak perlu merasa berat untuk
mendatangi dan menjenguk orang yang sedang sakit jika kita sedang tak
memiliki apa-apa. Karena kita menjenguknya itu dalam rangka “kalimat thayyibah”
kepada mereka yang sakit itu. Patut juga diketahui, kadang kala orang
yang sakit itu kemudian menjadi sembuh lebih dikarenakan motivasi dari
orang-orang yang ada di sekitarnya.
Semua kenikmatan itu diberikan oleh Allah karena kita diberikan kedudukan sebagai khalifatullah. Khalifatullah yang sangat efektif adalah khalifatullah
yang menyadari dirinya, bahwa semua kenikmatan yang ada sekarang ini
adalah kenikmatan yang diberikan oleh Allah, dan kita mensyukurinya
hanya dengan jalan beribadah kepada-Nya.
Ibadah itu pada hakikatnya dalam rangka tiga hal:
Pertama, membina diri dengan baik.
Jika
orang beribadah, tapi dirinya tidak terbina, sebenarnya ia belum
mencapai tujuan itu. Misalkan, dia sering datang ke pengajian, tapi
sifatnya tetap saja tidak pernah berubah. Ini berarti, bahwa dia
menyimpang dari tujuan ibadah.
Mendidik
dirinya itu adalah dalam rangka membina hubungan dengan sesama, dengan
lingkungan, dan dengan Penciptanya. Jadi, kalau kita mendengarkan
pengajian, dan pengajian itu adalah ibadah, maka seharusnya pembinaan
diri tersebut menjadi meningkat. Misalkan, kita mengetahui bahwa minuman
yang memabukkan itu diharamkan oleh agama, yang hal tersebut kita
ketahui setelah mendengarkan ceramah agama. Namun setelah itu, ternyata
kita tetap mengkonsumsi minuman yang memabukkan tersebut. Jika seperti
ini, berarti kita belum sempurna membina diri kita dalam rangka mencapai
ibadah.
Kedua, dalam rangka mensucikan diri kita.
Mensucikan diri yang dimaksud adalah: Pertama, mensucikan diri dari sifat-sifat yang kotor. Kedua,
mensucikan diri dari perbuatan-perbuatan kotor. Sifat kotor akan
mendorong kita melakukan perbuatan-perbuatan kotor. Makanya, perbuatan
kotor itu kita minimalkan, bahkan kita hilangkan dari diri kita sendiri.
Ketiga, membersihkan diri dari perbuatan-perbuatan
dosa. Jika kita pernah melakukan perbuatan dosa, maka kemudian kita
bertobat kepada Allah dan beristighfar. Itulah tujuan dari ibadah yang
kita lakukan.
Ketiga, mengisi diri dengan sifat yang terpuji, mengisi diri dengan perbuatan baik, dan mengisi diri dengan perbuatan yang berpahala.
Kalau begitu, sasaran ibadah itu pada hakikatnya adalah untuk membina diri, mensucikan diri, dan mengisi diri.
Di dalam kehidupan kita sebagai khalifah Allah, maka ada dua hal yang harus kita perhatikan. Pertama, ada yang harus dijaga. Kedua, ada yang harus dihindari.
Yang harus dijaga tersebut ada empat hal: Pertama, menjaga hubungan baik dengan diri sendiri. Kedua, menjaga hubungan dengan sesama manusia. Ketiga, menjaga hubungan dengan lingkungan.
Keempat, menjaga hubungan dengan Allah.
Yang
harus dihindari tersebut juga ada empat hal, yaitu: penzaliman terhadap
diri sendiri, terhadap sesama manusia, terhadap lingkungan, dan
terhadap Allah.
Kesimpulan
Jika
kita sudah menyadari bahwa diri kita sebagai “Khalifah Allah”, kemudian
penciptaan kita itu adalah dalam rangka beribadah kepada Allah, semua
ibadah yang kita lakukan dalam rangka menjaga empat hubungan tadi dan
menghindari empat hubungan tadi, maka manusia tersebut menjadi manusia
yang muttaqin sejati.
Jadi,
kalau kita ingin mendapatkan predikat orang yang bertaqwa sejati, maka
sebenarnya ajaran-ajaran tersebutlah yang harus kita laksanakan. Orang
yang bertakwa secara sejati, maka akan ada keseimbangan di dalam
hidupnya. Dia selalu menjaga hubungannya dengan dirinya, dengan
sesamanya, dengan alam, dan dengan Tuhannya.
Kalau manusia sudah seperti itu, pasti dia akan hasanatan fiddunya wa hasanatan fil akhirah. Di dalam tasawuf, manusia seperti inilah yang dinamakan insanul kamil,
yaitu manusia yang sudah mencapai derajat para Nabi, terutama mencapai
derajat Rasulullah Muhammad SAW. Derajat para Nabi yang dimaksud adalah
derajat dalam hal amal ibadah, bukan sebagai Nabinya.
Semoga
kita menjadi manusia yang menyadari diri kita sebagai khalifah Allah,
dan juga sebagai hamba yang harus beribadah kepada-Nya, dan kita
bercita-cita agar kita menjadi manusia yang mendapatkan kebahagiaan
dunia dan akhirat. [Navy]
2 komentar:
tambahan, bagi saya Kholifah mempunyai tugas utama dalam surat AlBaqoroh 30 adalah melerai pertumpahan darah agar manusia tidak saling bermusuhan, Kholifah = jama banyak berselisih (bayak pendapat) didamaikan agar tidak saling membenci yang membuat dunia ini menjadi rusak adanya kholifah menyampaikan amanah Allah( nabi dan Rasul )yaitu kitab-kitab Allah pada zamannya, saat ini hanyalah AlQuran, karena dengan AlQuran bila diikuti akan membuat manusia akan damai dalam hidupnya diseluruh dunia ini, ( Al Islam Diinul Haq )inilah sebenarnya tugas seorang kholifah menjadi manusia yang beriman dan shaleh yang diamanhkan Allah swt, bukan mendirikan negara Islam, dalam Quran disebut Baldatun Thayyibatun Warabbun Ghofuur ( negara yang baik masyarakatnya beriman dan diampuni Allah)
syah roni ...terimakasih atas tambahan informasinya semoga bermanfaat buat semua ....jika admin banyak kekurangan mohon dimaafkan..
Posting Komentar