Iri Dan Dengki….., Kenali Kemudian Jauhi !
Sebagian manusia tidak mampu mengelakkan dirinya
dari sifat iri dan dengki. Dengki kepada rekan yang baru naik jabatan,
dengki kepada tetangga yang punya mobil mewah, dengki kepada saudara
yang anaknya sarjana dan dengki kepada seorang ustadz yang memiliki
murid yang pintar dan lain sebagainya.
Dan sungguh tidak bisa dibayangkan, ketika abad globalisasi
dan keterbukaan yang telah mulai membuka pintunya akan
semakin memberikan peluang untuk membuka ‘kran hati’ untuk saling
mendengki. Karena ukuran globalisasi identik dengan materi. Orang pun
semakin tak bisa mengendalikan hati.
Rasa dengki dan iri baru tumbuh manakala orang lain
menerima nikmat. Biasanya jika seseorang mendapatkan nikmat, maka akan
ada dua sikap pada manusia. Pertama, ia benci terhadap nikmat yang
diterima kawannya dan senang bila nikmat itu hilang daripadanya. Sikap
inilah yang disebut hasud, dengki dan iri hati. Kedua, ia tidak
menginginkan nikmat itu hilang dari kawannya, tapi ia berusaha keras
bagaimana mendapatkan nikmat semacam itu. Sikap kedua ini dinamakan ghibthah (keinginan). Yang pertama itulah yang dilarang sedang yang kedua diperbolehkan.
Beberapa Kisah Al Qur’an tentang Orang-orang yang Dengki
Dalam bahasa sarkasme, orang pendengki adalah orang yang senang melihat orang lain dilanda bencana, dan itu disebut syamatah. Syamatah
dengan hasad selalu berkait dan berkelindan. Dari sini kita tahu,
betapa jahat seorang pendengki, ia tidak rela melihat orang lain
bahagia, sebaliknya ia bersuka cita melihat orang lain bergelimang lara.
Allah Ta’ala menggambarkan sikap dengki ini dalam firmanNya, yang artinya: “Bila kamu memperoleh kebaikan, maka hal itu menyedihkan mereka, dan kalau kamu ditimpa kesusahan maka mereka girang karenanya.” (QS. Ali Imran: 120)
Dengki juga merupakan sikap orang-orang ahli Kitab. Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Kebanyakan
orang-orang ahli Kitab menginginkan supaya mereka dapat mengembalikan
kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, disebabkan karena kedengkian
(hasad) yang ada dalam jiwa mereka.” (QS. Al Baqarah: 109)
Kedengkian saudara-saudara Yusuf kepada dirinya mengakibatkan
sebagian dari mereka ingin menghabisi nyawa saudaranya sendiri, Yusuf ‘Alaihis Salam. Allah Ta’ala mengisahkan dalam firmanNya, yang artinya: “(Yaitu)
ketika mereka berkata: Sesungguhnya Yusuf dan saudara kandungnya
(Bunyamin) lebih dicintai ayah kita daripada kita sendiri, padahal kita
(ini) adalah satu golongan (yang kuat). Sesungguhnya ayah kita adalah
dalam kekeliruan yang nyata. Bunuhlah Yusuf atau buanglah ia ke suatu
daerah (yang tak dikenal) supaya perhatian ayahmu tertumpah kepadamu
saja dan sesudah itu hendaklah kamu menjadi orang-orang yang baik.” (QS. Yusuf: 8 – 9)
Terhadap orang-orang pendengki tersebut Allah Ta’ala dengan keras mencela: “Apakah mereka dengki kepada manusia lantaran karunia yang Allah berikan kepadanya?” (QS. An Nisaa’: 54)
Sebab-sebab Dengki
Rasa dengki pada dasarnya tidak timbul
kecuali karena kecintaan kepada dunia. Dan dengki biasanya banyak
terjadi di antara orang-orang terdekat; antar keluarga, antarteman
sejawat, antar tetangga dan orang-orang yang berde-katan lainnya. Sebab
rasa dengki itu timbul karena saling berebut pada satu tujuan. Dan itu
tak akan terjadi pada orang-orang yang saling berjauhan, karena pada
keduanya tidak ada ikatan sama sekali.
Adapun orang yang mencintai akhirat, yang mencintai untuk mengetahui
Allah, malaikat-malaikat, nabi-nabi dan kerajaanNya di langit maupun di
bumi maka mereka tidak akan dengki kepada orang yang mengetahui hal yang
sama. Bahkan sebaliknya, mereka malah mencintai bahkan bergembira
terhadap orang-orang yang mengetahuiNya. Karena maksud mereka adalah
mengetahui Allah dan mendapatkan kedudukan yang tinggi di sisiNya. Dan
karena itu, tidak ada kedengkian di antara mereka.
Kecintaan kepada dunia yang mengakibatkan dengki antarsesama
disebabkan oleh banyak hal. Di antaranya karena permusuhan. Ini adalah
penyebab kedengkian yang paling parah. Ia tidak suka orang lain menerima
nikmat, karena dia adalah musuhnya. Diusahakanlah agar jangan ada
kebajikan pada orang tersebut. Bila musuhnya itu mendapat nikmat,
hatinya menjadi sakit karena bertentangan dengan tujuannya. Permusuhan
itu tidak saja terjadi antara orang yang sama kedudukannya, tetapi juga
bisa terjadi antara atasan dan bawahannya. Sehingga sang bawahan
misalnya, selalu berusaha menggoyang kekuasaan atasannya.
Sebab kedua adalah ta’azzuz (merasa paling mulia). Ia
keberatan bila ada orang lain melebihi dirinya. Ia takut apabila
koleganya mendapatkan kekuasaan, pengetahuan atau harta yang bisa
mengungguli dirinya.
Sebab ketiga, takabbur atau sombong. Ia memandang remeh orang lain
dan karena itu ia ingin agar dipatuhi dan diikuti perintahnya. Ia takut
apabila orang lain memperoleh nikmat, berbalik dan tidak mau tunduk
kepadanya. Termasuk dalam sebab ini adalah kedengkian orang-orang kafir
Quraisy kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang seorang anak yatim tapi kemudian dipilih Allah untuk menerima wahyuNya. Kedengkian mereka itu dilukiskan Allah Ta’ala dalam firmanNya, yang artinya: “Dan
mereka berkata: Mengapa Al Qur’an ini tidak diturunkan kepada seorang
besar dari salah satu dua negeri (Makkah dan Thaif) ini?” (QS. Az
Zukhruf: 31) Maksudnya, orang-orang kafir Quraisy itu tidak keberatan
mengikuti Muhammad, andai saja beliau itu keturunan orang besar, tidak
dari anak yatim atau orang biasa.
Sebab keempat, merasa ta’ajub dan heran terhadap kehebatan dirinya.
Hal ini sebagaimana yang biasa terjadi pada umat-umat terdahulu saat
menerima dakwah dari rasul Allah. Mereka heran manusia yang sama dengan
dirinya, bahkan yang lebih rendah kedudukan sosialnya, lalu menyandang
pangkat kerasulan, karena itu mereka mendengki-nya dan berusaha
menghilangkan pangkat kenabian tersebut sehingga mereka berkata: “Adakah Allah mengutus manusia sebagai rasul?” (QS. Al-Mu’minun: 34). Allah Ta’ala menjawab keheranan mereka dengan firmanNya, yang artinya: “Dan
apakah kamu (tidak percaya) dan heran bahwa datang kepada kamu
peringatan dari Tuhanmu dengan perantaraan seorang laki-laki dari
golonganmu agar dia memberi peringatan kepadamu ?” (QS. Al A’raaf: 63)
Sebab kelima, takut mendapat saingan. Bila seseorang menginginkan
atau mencintai sesuatu maka ia khawatir kalau mendapat saingan dari
orang lain, sehingga tidak terkabullah apa yang ia inginkan. Karena itu
setiap kelebihan yang ada pada orang lain selalu ia tutup-tutupi. Bila
tidak, dan persaingan terjadi secara sportif, ia takut kalau dirinya
tersaingi dan kalah. Dalam hal ini bisa kita misalkan dengan apa yang
terjadi antardua wanita yang memperebutkan seorang calon suami, atau
sebaliknya. Atau sesama murid di hadapan gurunya, seorang alim dengan
alim lainnya untuk mendapatkan pengikut yang lebih banyak dari lainnya,
dan sebagainya.
Sebab keenam, ambisi memimpin (hubbur riyasah). Hubbur
riyasah dengan hubbul jah (senang pangkat/kedudukan) adalah saling
berkaitan. Ia tidak menoleh kepada kelemahan dirinya, seakan-akan
dirinya tak ada tolok bandingnya. Jika ada orang di pojok dunia ingin
menandingi-nya, tentu itu menyakitkan hatinya, ia akan mendengkinya dan
menginginkan lebih baik orang itu mati saja, atau paling tidak hilang
pengaruhnya.
Sebab ketujuh, kikir dalam hal kebaikan terhadap sesama hamba Allah.
Ia gembira jika disampaikan khabar pada-nya bahwa si fulan tidak
berhasil dalam usahanya. Sebaliknya ia merasa sedih jika diberitakan, si
fulan berhasil mencapai kesuksesan yang dicarinya. Orang sema-cam ini
senang bila orang lain terbelakang dari dirinya, seakan-akan orang lain
itu mengambil dari milik dan simpanannya. Ia ingin meskipun nikmat itu
tidak jatuh padanya, agar ia tidak jatuh pada orang lain. Ia tidak saja
kikir dengan hartanya sendiri, tetapi kikir dengan harta orang lain. Ia
tidak rela Allah memberi nikmat kepada orang lain. Dan inilah sebab
kedengkian yang banyak terjadi.
Terapi Mengobati Dengki
Hasad atau dengki adalah penyakit hati yang paling berbahaya. Dan
hati tidak bisa diobati kecuali dengan ilmu dan amal. Ilmu tentang
dengki yaitu hendaknya kita ketahui bahwa hasad itu sangat membahayakan
kita, baik dalam hal agama maupun dunia. Dan bahwa kedengkian itu
setitikpun tidak membahayakan orang yang didengki, baik dalam hal agama
atau dunia, bahkan ia malah memetik manfaat darinya. Dan nikmat itu
tidak akan hilang dari orang yang kita dengki hanya karena kedengkian
kita. Bahkan seandainya ada orang yang tidak beriman kepada hari
Kebangkitan, tentu lebih baik baginya meninggalkan sifat dengki daripada
harus menanggung sakit hati yang berkepan-jangan dengan tiada manfaat
sama sekali, apatah lagi jika kemudian siksa akhirat yang sangat pedih
menanti?
Bahkan kemenangan itu ada pada orang yang didengki, baik untuk agama
maupun dunia. Dalam hal agama, orang itu teraniaya oleh Anda, apalagi
jika kedengkian itu tercermin dalam kata-kata, umpatan, penyebaran
rahasia, kejelekan dan lain sebagainya. Dan balasan itu akan dijumpai di
akhirat. Adapun kemenang-annya di dunia adalah musuhmu bergembira
karena kesedihan dan kedengkianmu itu.
Adapun amal yang bermanfaat yaitu hendaknya kita melakukan apa yang
merupakan lawan dari kedengkian. Misalnya, jika dalam jiwa kita ada iri
hati kepada seseorang, hendaknya kita berusaha untuk memuji perbuatan
baiknya, jika jiwa ingin sombong, hendaknya kita melawannya dengan
rendah hati, jika dalam hati kita terbetik keinginan menahan nikmat pada
orang lain maka hendaknya kita berdo’a agar nikmat itu ditambahkan.
Dan
hendaknya kita teladani perilaku orang-orang salaf yang bila mendengar
ada orang iri padanya, maka mereka segera memberi hadiah kepada orang
tersebut. Dan sebagai penutup tulisan ini, ada baiknya kita renungkan
kata-kata Ibnu Sirin: “Saya tidak pernah mendengki kepada seorangpun
dalam urusan dunia, sebab jika dia penduduk Surga, maka bagaimana aku
menghasudnya dalam urusan dunia sedangkan dia berjalan menuju Surga. Dan
jika dia penduduk Neraka, bagaimana aku menghasud dalam urusan dunianya
sementara dia sedang berjalan menuju ke Neraka.”
0 komentar:
Posting Komentar