Selasa, 29 Mei 2012

Thawaf Harus Suci dari Hadats dan Najis

Thawaf Saat Haid.

Assalamu alaikum wr.wb.

Di antara syarat sah thawaf adalah suci dari hadats kecil dan besar. Dengan demikian orang yang bertawaf pada dasarnya harus bersih dari haid dan nifas. Kesucian semacam ini merupakan syarat sah thawaf menurut sebagian besar ulama. Orang yang bertawaf dalam kondisi tidak suci, tawafnya menjadi batal. Dalil yang mereka jadikan hujjah adalah hadits Nabi saw,


"Thawaf mengelilingi Ka'bah adalah shalat. Karena itu jangan banyak berbicara di dalamnya." 

Nah, jika thawaf sama dengan shalat, berarti harus dalam kondisi suci dari hadats dan najis.

Berdasarkan pandangan ini, dalam madzhab Syafii disebutkan, "wanita haid yang belum melakukan tawaf ifadhah harus bertahan di Mekkah hingga suci. Kalau ada bahaya yg mengancam atau hendak pulang bersama rombongan sebelum tawaf ifadhah, maka ia harus tetap dalam keadaan ihram hingga kembali ke Mekkah untuk bertawaf walau beberapa tahun kemudian." (Kitab al-Majmu juz 8, hal. 200)

Sementara kalangan Hanafi berpendapat bahwa suci dalam thawaf hukumnya wajib. Karena itu, orang yang bertawaf dalam kondisi tidak suci seperti wanita yang sedang haid dan nifas, tawafnya sah, tetapi harus membayar dam. Dalilnya adalah firman Allah

"Hendaknya mereka melakukan tawaf di sekitar Ka'bah Baitullah itu." (QS al-Hajj: 29). 

menurut mereka ayat tersebut memerintahkan tawaf secara mutlak tanpa dikaitkan dengan syarat kesucian. Adapun hadits yang dipergunakan oleh jumhur merupakan hadits ahad yang masih bersifat kemungkinan besar dan tidak bisa membatasi nash Alquran di atas. Selain itu hadits tersebut bersifat penyerupaan. Yaitu menyerupakan tawaf dengan shalat. Penyerupaan ini dari sisi pahala dan kewajibannya. Tidak berarti harus suci juga seperti shalat. Karena itu, menurut mereka tawaf orang yang berhadats tetap sah. Hanya saja harus disertai dengan membayar dam.

Pandangan lain disebutkan dalam kitab Fathul Aziz karya ar-Rafi'i, bahwa wanita yang tiba-tiba mendapat haid sebelum melakukan atau menyelesaikan tawaf, sementara ia tidak mungkin tinggal di Mekkah sampai haidnya selesai, maka bisa mewakilkan kepada orang lain yang sudah melakukan tawaf untuk bertawaf bagi wanita tersebut.

Ia juga boleh meminum obat yang bisa menghentikan keluarnya darah haid, lalu mandi dan bertawaf. Atau jika darah haidnya tidak keluar terus-menerus dan sempat berhenti untuk beberapa hari, pada masa itulah ia bertawaf. Ini sesuai dengan pandangan kalangan Syafii yang menyatakan bahwa kondisi bersih pada hari-hari terputusnya haid dianggap suci.

Terakhir, Ibnu Taymiyyah dan Ibnul Qayyim berpendapat bahwa tawaf ifadhah wanita haid adalah sah jika memang kondisinya terpaksa di mana ia harus pergi bersama rombongan untuk meninggalkan Mekkah. Syaratnya ia harus membalut tempat keluarnya darah. Menurut Ibnu Taymiyyah, dalam shalat sekalipun syarat suci menjadi gugur apabila keadaannya memaksa atau darurat. Misalnya orang yang terkena istihadah atau beser. kalau syarat sah dalam shalat dapat gugur akibat adanya kelemahan seseorang untuk memenuhinya, apalagi syarat untuk melakukan thawaf.

Dengan beberapa pandangan di atas dapat disimpulkan, bahwa wanita yang mendapat haid, hendaknya menunggu sampai suci untuk bisa melakukan thawaf. Jika tidak, ia bisa meminum obat yang bisa menghentikan haidnya. Jika tetap keluar juga, boleh bertawaf dengan membayar dam seperti pandangan kalangan Hanafi. Atau bisa pula mengambil pandangan Ibnu Taymiyyah dan Ibnul Qayyim yang membolehkan tawaf dalam kondisi tidak suci jika kondisinya darurat tanpa harus membayar dam.

Wallahu a'lam bish-shawab.
Wassalamu alaikum wr.wb.
 http://www.syariahonline.com

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Press Release Distribution