Thawaf Saat Haid.
Assalamu alaikum wr.wb.
Di antara syarat sah
thawaf adalah suci dari hadats kecil dan besar. Dengan demikian orang
yang bertawaf pada dasarnya harus bersih dari haid dan nifas. Kesucian
semacam ini merupakan syarat sah thawaf menurut sebagian besar ulama.
Orang yang bertawaf dalam kondisi tidak suci, tawafnya menjadi batal.
Dalil yang mereka jadikan hujjah adalah hadits Nabi saw,
"Thawaf
mengelilingi Ka'bah adalah shalat. Karena itu jangan banyak berbicara di
dalamnya."
Nah, jika thawaf sama dengan shalat, berarti harus dalam
kondisi suci dari hadats dan najis.
Berdasarkan pandangan
ini, dalam madzhab Syafii disebutkan, "wanita haid yang belum melakukan
tawaf ifadhah harus bertahan di Mekkah hingga suci. Kalau ada bahaya yg
mengancam atau hendak pulang bersama rombongan sebelum tawaf ifadhah,
maka ia harus tetap dalam keadaan ihram hingga kembali ke Mekkah untuk
bertawaf walau beberapa tahun kemudian." (Kitab al-Majmu juz 8, hal.
200)
Sementara kalangan
Hanafi berpendapat bahwa suci dalam thawaf hukumnya wajib. Karena itu,
orang yang bertawaf dalam kondisi tidak suci seperti wanita yang sedang
haid dan nifas, tawafnya sah, tetapi harus membayar dam. Dalilnya adalah
firman Allah,
"Hendaknya mereka melakukan tawaf di sekitar Ka'bah Baitullah itu."
(QS al-Hajj: 29).
menurut mereka ayat tersebut memerintahkan tawaf
secara mutlak tanpa dikaitkan dengan syarat kesucian. Adapun hadits yang
dipergunakan oleh jumhur merupakan hadits ahad yang masih bersifat
kemungkinan besar dan tidak bisa membatasi nash Alquran di atas. Selain
itu hadits tersebut bersifat penyerupaan. Yaitu menyerupakan tawaf
dengan shalat. Penyerupaan ini dari sisi pahala dan kewajibannya. Tidak
berarti harus suci juga seperti shalat. Karena itu, menurut mereka tawaf
orang yang berhadats tetap sah. Hanya saja harus disertai dengan
membayar dam.
Pandangan lain
disebutkan dalam kitab Fathul Aziz karya ar-Rafi'i, bahwa wanita yang
tiba-tiba mendapat haid sebelum melakukan atau menyelesaikan tawaf,
sementara ia tidak mungkin tinggal di Mekkah sampai haidnya selesai,
maka bisa mewakilkan kepada orang lain yang sudah melakukan tawaf untuk
bertawaf bagi wanita tersebut.
Ia juga boleh meminum
obat yang bisa menghentikan keluarnya darah haid, lalu mandi dan
bertawaf. Atau jika darah haidnya tidak keluar terus-menerus dan sempat
berhenti untuk beberapa hari, pada masa itulah ia bertawaf. Ini sesuai
dengan pandangan kalangan Syafii yang menyatakan bahwa kondisi bersih
pada hari-hari terputusnya haid dianggap suci.
Terakhir, Ibnu
Taymiyyah dan Ibnul Qayyim berpendapat bahwa tawaf ifadhah wanita haid
adalah sah jika memang kondisinya terpaksa di mana ia harus pergi
bersama rombongan untuk meninggalkan Mekkah. Syaratnya ia harus membalut
tempat keluarnya darah. Menurut Ibnu Taymiyyah, dalam shalat sekalipun
syarat suci menjadi gugur apabila keadaannya memaksa atau darurat.
Misalnya orang yang terkena istihadah atau beser. kalau syarat sah dalam
shalat dapat gugur akibat adanya kelemahan seseorang untuk memenuhinya,
apalagi syarat untuk melakukan thawaf.
Dengan beberapa
pandangan di atas dapat disimpulkan, bahwa wanita yang mendapat haid,
hendaknya menunggu sampai suci untuk bisa melakukan thawaf. Jika tidak,
ia bisa meminum obat yang bisa menghentikan haidnya. Jika tetap keluar
juga, boleh bertawaf dengan membayar dam seperti pandangan kalangan
Hanafi. Atau bisa pula mengambil pandangan Ibnu Taymiyyah dan Ibnul
Qayyim yang membolehkan tawaf dalam kondisi tidak suci jika kondisinya
darurat tanpa harus membayar dam.
Wallahu a'lam bish-shawab.
Wassalamu alaikum wr.wb.
http://www.syariahonline.com
0 komentar:
Posting Komentar