Tolong Menolong dalam Kebajikan (QS. Al-Maidah/5:2)
”Hendaklah kamu tolong menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan, dan janganlah saling membantu dalam perbuatan dosa dan permusuhan. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras dalam hukuman-Nya.”
Melalui
ayat ini Allah swt. menyuruh umat manusia untuk saling membantu, tolong
menolong dalam mengerjakan kabaikan/kebajikan dan ketaqwaan. Sebaliknya
Allah melarang kita untuk saling menolong dalam melakukan perbuatan
dosa dan pelanggaran.
Sebagai
makhluk sosial, manusia tak bisa hidup sendirian. Meski segalanya ia
miliki: harta benda yang berlimpah sehingga setiap apa yang ia mau
dengan mudah dapat terpenuhi, tetapi jika ia hidup sendirian tanpa
orang lain yang menemani tentu akan kesepian pula. Kebahagiaan pun
mungkin tak pernah ia rasakan.
Lihat
saja betapa merananya (nabi) Adam ketika tinggal di surga. Segala
kebutuhan yang ia perlukan disediakan oleh Tuhan. Apa yang ia mau, saat
itu juga dapat dinikmatinya. Tetapi lantaran ia tinggal sendirian di
sana , ia merasa kesepian. Segala yang di sediakan oleh Sang Pencipta
bak terasa hampa menikmatinya.
Dalam
kesendirian yang diselimuti rasa kesepian itu Adam berdo’a pada Tuhan
agar diberikan seorang teman. Allah pun mengabulkannya. Maka sebagaimana
diceritakan dalam al-Qur’an, Allah pun menciptakan Hawa (Eva dalam
Al-Kitab) untuk menemani Adam.
Sebagai
makhluk social pula manusia membutuhkan orang lain. Tak hanya sebagai
teman dalam kesendirian, tetapi juga partner dalam melakukan sesuatu.
Entah itu aktivitas ekonomi, social, budaya, politik maupun amal
perbuatan yang terkait dengan ibadah kepada Tuhan. Di sinilah tercipta
hubungan untuk saling tolong menolong antara manusia satu dengan yang
lainnya.
Nah, Allah swt. memberikan rule
(kaidah/panduan) agar dalam melakukan tolong menolong itu seyogyanya
ketika kita melakukan hal-hal yang baik, tidak bertentangan dengan
kaidah-kaidah keagamaan maupun budaya atau norma yang berlaku di
masyarakat di mana kita tinggal.
Tentu
kita prihatin manakala membaca berita-berita di media massa maupun
menyaksikan sendiri di lingkungan kita, bahwa ada banyak orang atau
kelompok justru saling bau membau, tolong menolong dalam melakukan
kebathilan. Entah itu pencurian, korupsi, pembunuhan, penindasan,
penculikan, kekerasan, pembabatan hutan, dsbg. Semuanya dilakukan secara
berjamaah. Bukankah hal ini bertentangan dengan anjuran Tuhan
sebagaimana tertuang dalam ayat di atas?
Padahal,
konon, negeri ini adalah satu negeri yang dihuni oleh mayoritas umat
Islam terbesar di belahan dunia. Bukankah ini ironi?
Setiap
hari mesjid dan mushola kian bertambah. Jamaahnya pun kian membludak.
Tiap tahun jumlah jemaah haji juga kian tak terbendung, selalu melebihi
kuota. Syi’ar-syi’a agama juga menghiasi media massa baik cetak maupun
elektronik. Bahkan piranti teknologi informasi mutakhir bernama telepon
seluler dapat kita manfaatkan sebagai media belajar agama. Apa yang
kurang dari semua itu?
Nampaknya
kita memang mesti menelaah ulang, merenungi kembali model keberagamaan
kita selama ini. Jangan sampai terjebak pada hedonisme religius, taat
secara ritual, tetapi miskin secara spiritual dan subtansial.
Sambil
mencermati kembali ayat di atas, kini saatnya, sebagai muslim Indonesia
, kita belajar untuk dapat menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia.
Tentu kita semua ingin bahwa bangunan ukhuwah islamiyah yang sudah terbangun di antara internal umat Islam dapat meluas menjadi ukhuwah wathoniyah (persaudaraan kebangsaan) dan ukhuwah insaniyah (persaudaraan antar sesama manusia) tanpa harus melihat asal usul, warna kulit, asal suku bangsa.
0 komentar:
Posting Komentar