Rabu, 16 Mei 2012

Harta Warisan

Harta Pemberian, Wasiat dan Warisan. 
Sebagian orang membagikan harta warisan sebelum meninggal dunia. 
Apakah itu dibenarkan dalam syariat?


Banyak masyarakat yang sering menanyakan tentang hukum membagikan harta warisan sebelum meninggal dunia. Di antara alasan yang mereka kemukakan adalah khawatir jika dibagikan setelah meninggal dunia, para ahli waris akan berselisih, selanjutnya akan mengakibatkan terputusnya tali silaturahim di antara mereka, bahkan tidak sedikit di antara mereka yang berakhir dengan pembunuhan. Pertanyaannya adalah apakah alasan tersebut bisa membenarkan tindakan tersebut? Bagaimana syariat Islam memandang masalah ini? Bagaimana hubungannya dengan hukum-hukum Islam terkait dengan pembagian harta warisan? 

Sebelum menerangkan masalah di atas, terlebih dahulu harus dibedakan antara tiga jenis harta:
  1. Harta Pemberian (Hibah) adalah harta yang diberikan oleh seseorang secara cuma-cuma pada masa hidupnya. (Ibnu Qudamah, al Mughni, Beirut, Daar al Kitab al Arabi, : 6/246)
  2. Harta Warisan menurut pengertian ulama faroidh adalah harta yang ditinggalkan oleh mayit. (Sholeh Fauzan, at Tahqiqat al Mardhiyah fi al Mabahits al Fardhiyah, Riyadh, Maktabah al Ma’arif, hlm 24). Jadi harta yang pemiliknya masih hidup bukanlah harta warisan, sehingga hukumnya berbeda dengan hukum harta warisan.
  3. Harta Wasiat adalah harta yang diwasiatkan seseorang sebelum meninggal dunia dan seseorang tersebut baru berhak menerimanya setelah yang memberi wasiat meninggal dunia. (Abu Bakar Al Husaini, Kifayah al Akhyar, Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyah, hlm 454)
Ketiga istilah di atas, masing-masing mempunyai hukum tersendiri, dan dengan dasar perbedaan tersebut, kita bisa mengklasifikasikan masalah yang sedang dihadapi masyarakat sebagai berikut: 

Masalah Pertama
Jika seorang bapak membagikan hartanya sebelum meninggal dunia, maka harus dirinci terlebih dahulu:
  •  Jika pembagian harta tersebut dilakukan dalam keadaan sehat wal afiyat, artinya tidak dalam keadaan sakit yang menyebabkan kematian, maka pembagian atau pemberian tersebut disebut Hibah (harta pemberian), bukan pembagian harta warisan. Adapun hukumnya adalah boleh. (Ibnu Rusydi, Bidayat al Mujtahid wa Nihayah al Maqasid, Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyah, 2/ 327).
  • Adapun jika pembagiannya dilakukan dalam keadaan sakit berat yang kemungkinan akan berakibat kematian, maka para ulama berbeda pendapat di dalam menyikapinya: Mayoritas ulama berpendapat bahwa hal tersebut bukanlah termasuk katagori hibah, tetapi sebagai wasiat, sehingga harus memperhatikan ketentuan sebagai berikut:
1. Dia tidak boleh berwasiat kepada ahli waris, seperti : anak, istri , saudara, karena mereka sudah mendapatkan jatah dari harta warisan, sebagai yang tersebut dalam hadist:
“Tidak ada wasiat untuk ahli waris “ ( HR Ahmad dan Ashabu as-Sunan ).
Tetapi dibolehkan berwasiat kepada kerabat yang membutuhkan, maka dalam hal ini dia mendapatkan dua manfaat,
pertama: sebagai bantuan bagi yang membutuhkan,
kedua: sebagai sarana silaturahim.

2. Dia boleh berwasiat kepada orang lain yang bukan kerabat dan keluarga selama itu membawa maslahat.
Wasiat tidak boleh lebih dari sepertiga dari seluruh harta yang dimilikinya. Wasiat ini berlaku ketika pemberi wasiat sudah meninggal dunia.

Ada sebagian ulama yang menyatakan kebolehan seseorang untuk membagikan hartanya kepada anak-anaknya atau ahli warisnya dalam keadaan sakit, dan tetap disebut hibah, bukan wasiat. Maka jika dia mengambil pendapat ini, maka dia harus memperhatikan ketentuan-ketentuan di bawah ini :

Pemberian ini sifatnya mengikat, artinya harta yang dibagikan tersebut langsung menjadi hak anak-anaknya atau ahli warisnya, tanpa menunggu kematian orang tuanya.                                                                                                                                            Sebaiknya dia membagikan sebagian saja hartanya, tidak semuanya. Adapun hartanya yang tersisa dibiarkan saja hingga dia meninggal dunia dan berlaku baginya hukum harta warisan.                                                    Semua ahli waris harus mengetahui jatah masing-masing dari harta warisan menurut ketentuan syari’ah, setelah itu dibolehkan bagi mereka untuk membagi harta pemberian orang tua tersebut menurut kesepakatan bersama (tanpa ada unsur paksaan atau pekewuh).

Masalah Kedua
Jika seorang bapak membagikan hartanya kepada anak-anaknya dalam keadan sehat wal afiat, sebagaimana telah diterangkan di atas, maka dibolehkan baginya untuk membagi seluruh hartanya. Apakah pembagian tersebut harus sama besarnya antara satu anak dengan lainnya, atau antara laki-laki dan perempuan, ataukah harus dibedakan antara satu dengan yang lainnya?

Para ulama berbeda pendapat di dalam masalah ini. Mayoritas ulama menyatakan bahwa semua anak harus disamakan, tidak boleh dibedakan antara satu dengan yang lainnya. (Ibnu Juzai, al Qawanin al Fiqhiyah, Kairo, Daar al hadits, 2005, hlm : 295).

Sedangkan ulama hanabilah (para pengikut imam Ahmad) menyatakan bahwa pembagian harus disesuaikan dengan pembagian warisan yang telah ditentukan dalam al Qur’an dan hadist. Tetapi pendapat yang lebih tepat adalah dirinci terlebih dahulu, yaitu sebagai berikut:

Pertama : jika tidak ada unsur yang membedakan antara mereka, seperti semua anak masih kecil-kecil semua, sebaiknya disamakan, agar terjadi keadilan. Dalilnya adalah beberapa hadits di bawah ini:
Hadist Nu’man Bin Basyir yang datang kepada Nabi Muhammad shollahu ‘alaihi wa sallam, seraya berkata:
“Ya Rasulullah, aku memberikan sesuatu ini kepada anakku.”
Kemudian Rasulullah bertanya:
“Apakah semua anakmu kamu beri seperti itu“?
“Tidak Ya Rasulullah,“ Jawab Nu’man.
“ Kalau begitu cabut kembali pemberian tersebut! “ kata Rasulullah. (HR Bukhari dan Muslim).
“Bertaqwalah kepada Allah dan berbuatlah adil di antara anak-anak kalian.“ (HR Bukhari dan Muslim)
“Perlakukanlah sama antara anak-anakmu, jika dibolehkan untuk membedakan tentunya akan lebih memperhatikan perempuan.“ (HR Said bin Mansur, dihasankan Ibnu Hajar) (DR. Wahbah Az-Zuhaili, al Fiqh al-Islami, Damaskus, Dar al Fikr, 1989, Cet ke 3, Juz :5, hlm : 34-35)

Kedua : jika ada hal yang menuntut untuk dibedakan karena ada unsur maslahatnya, maka dibolehkan untuk membedakan antara anak satu dengan yang lainnya, seperti anak yang satu sudah menikah dan mempunyai tanggungan istri dan anak, sedangkan dia termasuk orang yang membutuhkan bantuan, maka anak ini boleh diberikan jatah lebih banyak. Apalagi anak yang lain masih kecil-kecil dan belum mempunyai banyak keperluan. Dalilnya adalah apa yang dilakukan oleh Abu bakar as Siddiq terhadap anaknya Aisyah ra, ketika memberinya harta yang lebih (20 wisq) dari anak-anaknya yang lain.

Sebagian ulama menyatakan, jika seorang ayah memberikan salah satu anaknya uang yang cukup banyak, seperti membantunya di dalam membayarkan mahar pernikahannya, atau membayarkan uang perkulihannya, maka seharusnya dia juga memberikan kepada anak-anaknya yang lain dalam jumlah yang sama. Tetapi, jika sebagian dari anaknya menderita cacat seperti buta, atau lumpuh kakinya, sehingga tidak bisa bekerja dengan maksimal, maka dibolehkan bagi orang tua untuk memberinya lebih dari anak-anaknya yang lain. (Majalah Al Azhar, Kairo , edisi III, tahun ke- 14).
____________________________
Oleh: Dr. Ahmad Zain An-Najah, M.A

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Press Release Distribution