Rabu, 02 Mei 2012

Islam Mengajarkan Kebersamaan

Kebersamaan Dalam Islam. Rasululuah SAW pernah bersabda sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Daud. “Hampir saja umat-umat menyerang kalian dari segala penjuru, bagaikan rayap-rayap yang menyerang tempat makannya sediri” Lalu para sahabat bertanya, “Apakah jumlah kita waktu itu sedikit ya Rasulullah?”


“Tidak,” jawab Rasulullah, “Malahan pada waktu itu kalian berjumlah sangat banyak, tetapi kalian adalah buih bagaikan air bah. Sesungguhnya Allah SWT telah mencabut kewibawaan kalian dan pada waktu yang sama Allah menanamkan Wahn dalam hati kalian.” Para sahabat bertanya, “Apa Wahn itu ya wahai Rasulullah? Rasulullah menjawab, Cinta dunia dan takut mati.

Hal yang digambarkan oleh Rasulullah kepada kita ratusan tahun silam ini apabila kita inap-inapkan menungkan persis dengan keadaan yang menimpa umat Islam saat ini. Kaum muslim yang pada saat ini berjumlah lebih dari 1,4 Milyar orang yang tersebar dalam 50 negara seolah tidak berdaya dalam kancah kehidupan manusia. Persatuan yang telah dijalin berabad-abad silam, saat masa Rasulullah dan para sahabatnya serta Khulafahur Rasyidin, kini sekakan dihancurkan oleh umat Islam sendiri.

Gelombang kekerasan atas nama agama sekarang sudah seperti menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan kaum muslimin. Umat Islam yang yang sudah terpola kedalam berbagai golongan mengklaim adalah golongan yang paling benar. Akibat klaim saling benar ini kemudian menjadi konflik, bahkan berakhir dengan pertumpahan darah.

Kita lihat di televisi bagaimana saat ini saudara kita yang berada di Palestina, Irak, Afganistan, Libanon dan masih banyak daerah lain yang dalam keadaan menderita. Jangankan untuk berdagang, bertani, bersekolah, untuk hidup-pun mereka harus berjuang. Bagaimana perasaan kita mendengar seorang anak umur 6 tahun wafat karena tembakan senjata canggih Israel, karna hanya melempar tank Israel dengan sebuah batu kecil. Atau bagaimana jiwa kita ketika mendengar seorang wanita muslim yang sedang hamil, diperkosa, kamudian tubuhnya dicabik-cabik oleh tentara Israel hanya karena ingin tahu jenis kelamin anak didalam perutnya.

Barangkali kita sering beranggapan bahwa itu sudah takdir dari Tuhan. Tuhan telah mentakdirkan kaum muslim di Palestina, di Afganistan, di Irak, di Libanon dan lainnya dalam kondisi seperti itu. Itu adalah pikiran picik kita, pikiran orang-orang yang egois dan hanya memahami islam secara dangkal. Tahukah kita bahwa takdir adalah ujung dari usaha manusia.

Mungkin kita kita disini yang mayoritas beragama Islam sudah lupa hadist nabi yang mengatakan bahwa kaum muslim itu ibarat sebuah tubuh. Apabila sakit salah satu bagian, maka bagian yang lain juga akan ikut merasakan sakit. Bayangkan ketika jempol kita tiba-tiba tersandung batu dan akhirnya berdarah. Secara refleks mulut akan mengaduh, kepala mungkin akan pening, tangan akan mencari kapas atau obat dan otak pun akan berpikir bagaimana supaya darah segera berhenti mengucur. Betapa indahnya kebersamaan yang seharusnya terjalin dalam islam, seperti kebersamaan dalam tubuh kita yang tanpa dikomando sekalipun sudah tahu harus melakukan apa.

Disini saya tidak meminta bapak-bapak dan ibu-ibu untuk menangis dan bersedih meraung-raung dengan penderitaan yang dialami oleh saudara-saudara kita. Tetapi begitulah sebenarnya kebersamaan yang diajarkan oleh Rasulullah SAW bagi umat Islam. Ketiak ada saudaranya yang muslim mengalami kesusahan , maka sudah sewajarnyalah umat Islam yang lain berupaya untuk meringankan beban saudaranya tersebut.

Kebersamaan yang dimiki oleh umat islam diikat oleh sesuatu yang bernamaaqidah. Sebuah ikatan yang sangat kuat, menembus batas suku bangsa, negara, bahasa, ras, kota, pulau,bahkan benua sekalipun. Sekali seseorang bersahadat dan ia tetap dalam sahadatnya itu, maka ia adalah saudara kita.

Contoh terbaik kebersamaan umat islam yang harus menjadi contoh tauladan kita adalah ketika zaman Rasulullah SAW dan para sahabat yakni kaum muhajirin dan anshor. Lihatlah bagaimana kuatnya ikatan antarumat islam di kala itu. Saking kuatnya ikatan ini, seakan-akan seperti saudara kandung sendiri.

Orang-orang anshor berlomba-lomba memberikan bantuan kepada kaum muhajirin yang datang dari Mekah. Dan mereka melakukannya dengan ikhlas semata-mata mengharap ridho Allah SWT. Itulah contoh terbaik sepanjang masa yang dapat kita tiru pada kehidupan kita saat ini.

Dan kalau kita mau merenung lebih dalam lagi, mengapa kondisi umat islam seperti ini? Disaat musuh-musuh Islam sedang gencar-gencarnya menyerang Islam dari berbagai sudut, kita sesama Islam saja masih berselisih.

Mengapa saat ini kita masih mempermasahkan antara yang memakai Qunut dengan yang tidak, masih mempermasalahkan antara menjaharkan pembacaan Bismillah dalam membaca Alfatihah pada shalat dengan yang tidak menjaharakan, jumlah rakaat Tarwih, tahlil? golongan Islam Hamas dan golongan Islam Fatah di Palestina saling berselisih? Mengapa terjadi perang sekte antara umat Islam di Iraq? mengapa kita begitu mudah mengkafirkan orang lain hanya karena permasalahan furuk berdasarkan ijtihad para alim ulama, sedangkan kita tahu seseorang dikatakan kafir atau sesat apabila akidahnya sudah melenceng dari Islam. 

Seperti mengakui mengakui ada Tuhan selain Allah, ada nabi selain nabi muhammad, Ritual ibadah yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Adaa apa dengan kebersamaan yang dimiliki oleh umat islam sekarang? Umat islam saat ini mayoritas lebih sibuk dengan kelompoknya masing-masing. Lebih percaya dengan pemimpin kelompoknya yang terkadang ’secara tak sadar’ telah mengalahkan tingkat kepercayaannya kepada Rasulullah SAW. Hal ini menyebabkan apapun yang dikatakan oleh Sang Pemimpin, langsung dipegang teguh. Akibatnya ada kelompok yang menganggap orang islam di luar golongan mereka adalah kafir, kotor, najis, bahkan halal untuk dibunuh.

Kita tahu bahwa kebenaran hanya milik Allah SWT, bukan milik satu golongan. Bahkan para imam madzhab sendiri tidak pernah mengklaim bahwa diri (madzhab) merekalah yang paling benar.

Imam Abu Hanifah (Hanafi) pernah berkata:

“Tidak halal bagi seseorang mengikuti perkataan kami bila ia tidak tahu darimana kami mengambil sumbernya” 

Imam Malik (Maliki) juga pernah bekata: 

“Saya hanyalah seorang manusia, terkadang salah, terkadang benar. Oleh karena itu, telitilah pendapatku. Bila sesuai dengan Al-Quran dan sunnah, ambillah, dan bila tidak sesuai dengan Al-Quran dan sunnah, tinggalkanlah”

Imam Syafi’i, pun seperti itu, ia mengatakan 

“Bila kalian menemukan dalam kitabku sesuatu yang berlainan dengan hadits Rasulullah SAW, peganglah hadits Rasulullah SAW itu dan tinggalkanlah pendapatku itu”

Begitupun dengan Imam Ahmad bin Hambal (Hambali): 

“Janganlah engkau taqlid kepadaku atau kepada Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, tetapi ambillah dari sumber mereka mengambil.”

Begitulah para imam madzhab menganjurkan untuk tidak merasa paling benar sendiri dan tidak taqlid kepada satu golongan, merekalah salafus shalih yang benar. Bahkan diantara imam madzhab terdapat perbedaan ijtihad dalam beberapa masalah furu’, mereka tidak saling membid’ahkan dan menyesatkan satu sama lain. Bahkan menganjurkan untuk menelaah dulu hujjah mereka dan jika ada hujjah yang lebih kuat (quwwatut dalil) silahkan diambil hujjah itu.

Di lain hal, jaminan Allah SWT terhadap hamba-Nya ahli syurga adalah kepada orang yang mukmin, tidak ada klasifikasi. Selama mukmin tersebut menjalankan semua perintah-Nya dan meninggalkan semua larangan-Nya, maka Allah SWT menjanjikan syurga bagi mukmin tersebut.

“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan syurga untuk mereka.” (QS At-Taubah 111).

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Press Release Distribution