Congkak Tanda Terbatasnya Kemampuan Diri
Masing-masing
orang yang punya posisi manager tingkat menengah itu punya daya tangkap
beda. Meski konsep yang saya pakai sama, tapi tetap saya sesuaikan
dengan kemampuan orangnya dengan berbagai improvisasi.
Sebab saya tahu, cara belajar masing-masing orang berbeda. Kesimpulan yang menganggap bahwa orang yang pelan dalam menangkap materi training dianggap bodoh adalah salah besar. Dan sebaliknya, yang cepat menangkap materi training belum tentu pinter.
Ada
orang yang demikian cepat menangkap materi training begitu dikasih tahu
sekali saja cara mengerjakannya sudah bisa. Yang ini harus ditulis
gini, untuk cari ini tekan tombol ini. Sering saya terkagum-kagum
dengan kemampuannya. Begitu dikasih tahu caranya langsung bisa sendiri.
Tidak perlu banyak waktu untuk membuatnya mengerti. Padahal dulu saya
perlu berhari-hari untuk menguasainya.
Namun
ada juga yang susah sekali menerima instruksi dalam materi training.
Sudah dikasih tahu caranya dan ditunjukkan dengan praktek, tapi tidak
juga bisa dimengerti. Kelihatannya sudah tahu, tapi begitu disuruh
mengerjakannya tidak bisa. Kalau pun bisa tapi tidak memenuhi standard.
Saya
ingat ketika dulu ditraining oleh orang lain ketika baru diterima masuk
kerja pertama kali untuk posisi paling bawah. Saya termasuk orang yang
lamban dalam menerima materi training. Training dalam masalah apapun,
saya selalu pelan bisa menangkapnya dengan baik. Sampai orang yang
mentraining saya dulu jengkel. Dan menganggap saya bukan kandidat yang
tepat. Saya sempat ketar-ketir tidak bakal dipakai oleh perusahaan.
Kebiasaan
saya dalam mempelajari sesuatu yang baru adalah dengan mencoba mengerti
dasar atau konsepnya. Jika konsepnya saya mengerti, barulah saya bisa
mengetrapkan masalah-masalah teknis pengerjaannya dengan baik. Karena
konsepnya saya pahami, maka mengingat langkah-langkahnya akan lebih
mudah. Langkah-langkah itu lahir dari sebuah pemahaman tentang
konsepnya.
Dalam
training, saya selalu bertanya kenapa kok diproses dengan cara begini?
Alasan dan sebabnya apa? Kalau nggak diproses dengan cara itu gimana?
Kenapa kok ini digolongkan ke sini? Apa kriterianya? Dan lain-lain
pertanyaan yang tidak praktis dan terkesan teoritis untuk sebuah
pekerjaan yang memang sifatnya praktis. Kalau pertanyaan saya tak bisa
dijawab, saya berusaha mencari sendiri. Dan ini perlu waktu. Makanya
saya lamban menerima materi training.
Sementara
banyak orang tidak merasa perlu bertanya macam-macam. Pokoknya ketik
ini, tulis ini, tekan tombol ini dan seterusnya. Mereka mengerjakan
perintah praktis itu tanpa tanya. Pokoknya kalau A maka tekan C.
Seperti robot yang bisa diprogram. Saya selalu terkagum-kagum dengan
orang jenis begini. Cepat sekali daya tangkapnya.
Orang
yang mentraining saya itu kadang sampai mengumpat-umpat saking
jengkelnya. Saya merasa bersalah dan mengutuk kebodohan diri sendiri.
Kenapa saya tidak bisa berpikir cepat dan tanpa tanya sing neko-neko?
Tapi proses pencarian latar belakang konsepnya itu berjalan dengan
sendirinya tanpa saya kuasai. Meski berusaha saya tekan pun tidak bisa.
Semakin saya tekan dan berusaha menerima apa adanya dan nuruti perintah
semakin membuat saya kebingungan. Keadaan akan makin parah. Saya harus
tahu konsepnya.
Yang
parah adalah saat menghapal dimana letak kantor Human Resources, Wakil
General Manager, Sales dan sebagainya. Perusahaannya berlantai sebelas
dan punya tiga lift. Sudah dikasih tahu ada dilantai dua, tiga dan
sembilan serta dikasih petunjuknya, saya selalu bingung. Semua lantai
nampak sama begitu keluar dari lift. Saya harus tahu denah lantai
perusahaan. Itulah cara saya mengatasi kebingungan saya. Dan denah
lantai itu tidak gampang didapat.
Atau
saya bikin jembatan keledai. Lantai dua adalah kantornya hUmAn
resources. Human kedengaran seperti Dua. Tiga adalah lantainya Wakil
General Manager. Sama-sama pakai huruf G dalam tiGa dan General
manaGer. Lantai sembilan adalah kantornya Sales. Sama-sama ada huruf
S-nya. Begitu saya menemukan jembatan keledai itu, makin gampang
mengingatnya.
Mungkin
bagi orang lain, kedengaran gampang untuk masalah sepele itu. Tapi
tidak bagi saya. Karena saya harus mengingat materi training lainnya.
Informasi yang saya terima begitu banyak. Hal-hal kecil begini bisa
membuat saya gampang lupa jika tidak segera saya temukan jembatan
keledainya.
Maka
ketika orang yang mentraining saya itu jengkel, saya bisa mengerti.
Menghapal letak kantor saja nggak becus, bagaimana bisa mengingat
kerjaannya nanti? Saya
pun dipanggil oleh kepala departemen dan ditanya tentang training yang
saya jalani. Apakah saya bisa mengikutinya? Kepala departemen itu pasti
menerima laporan dari orang yang mentraining saya. Bahwa saya sulit
menerima materi training. Daya dong saya rendah alias telmi atau telat
mikirnya.
Maka
saya jelaskan, proses cara berpikir saya dalam menerima materi
training. Bahwa saya tidak bisa menerima begitu saja instruksi tanpa
tahu latar belakangnya. Saya perlu tahu konsep latar belakangnya.
Instruksi bisa macam-macam dan beda-beda. Tapi jika saya tahu konsep
latar belakangnya, instruksi bagaimanapun beda bentuknya bisa saya
mengerti. Dan jika ada yang salah, saya bisa memperbaikinya. Untungnya
kepala departemen itu bisa mengerti alasan saya. Sempat juga membuat
saya kuatir tidak jadi dikaryakan dalam perusahaan.
Akhirnya
saya diterima kerja dan selamat melampaui masa uji coba selama tiga
bulan. Saya pun diangkat jadi pegawai tetap perusahaan. Saya buktikan
bahwa saya pekerja keras dan tahu dengan apa yang saya lakukan. Semakin
lama saya kerja, makin bisa saya pahami konsepnya. Karena paham akan
konsepnya, maka prosedur bisa saya rubah tanpa merubah konsepnya itu
sendiri. Saya usulkan prosedur baru yang lebih praktis dan efisien pada
kepala departemen. Dan usulan saya sering disetujui dan diterapkan di
lapangan merubah prosedur yang ada.
Orang
yang mentraining saya makin cemburu melihat kedekatan saya dengan
kepala departemen. Dan juga prosedur-prosedur usulan saya yang merubah
prosedur yang ada dan sudah dilakukan puluhan tahun tanpa ada yang
mempertanyakan efektivitas dan efisiennya. Saya pun kemudian mendapat
kepercayaan dari kepala departemen untuk menduduki posisi lebih tinggi.
Setelah
beberapa tahun kerja di satu departemen, terasa mulai membosankan.
Ketika saya minta cross training di departemen lain, saya pun diijinkan.
Masalah
training itu kembali lagi merisaukan saya. Saya selalu sulit menerima
materi training tanpa memahami konsepnya. Di departemen lain, saya
sudah siap mental untuk dilecehkan. Demikian juga dengan
training-training berikutnya. Saya sudah siap mental.
Ketika
beberapa tahun kemudian saya pindah kerja, masalah training tidak lagi
merisaukan saya. Karena makin tinggi posisinya, nampaknya orang makin
menghargai. Lamban dalam menerima materi training tidak lagi dianggap
bodoh. Karena tidak mungkin orang “bodoh” bisa sampai ke posisi yang
dilamar. Kira-kira gitu alasan logisnya. Dan biasanya, orang yang
mentraining untuk posisi tinggi tahu konsepnya juga. Jadi pertanyaan
konseptual bisa dengan gampang saya peroleh. Dan ini mempermudah
pemahaman saya. Dan lagi makin tinggi posisi biasanya tidak lagi
melibatkan hal-hal yang praktis tapi lebih ke sisi teorinya terutama
teori managemen dan kontrol.
Suatu
saat tanpa sengaja, saya ketemu orang yang mentraining saya untuk
pekerjaan pertama saya dulu. Orang itu ternyata masih bekerja di
perusahaan sama dan masih pada posisi sama setelah saya tinggal
tahunan. Dalam hati, dulu waktu mentraining saya lagaknya minta ampun.
Kayak orang paling pinter sendiri. Tapi nyatanya tak pernah beringsut
dari posisinya setelah tahunan. Sementara yang ditraining sudah berada
di posisi jauh di atasnya.
Orang
itu nampak kikuk sekali di hadapan saya. Ia sudah dengar prestasi saya
ketika bekerja di perusahaan sama. Dan juga ketika saya pindah ke
departemen lain untuk posisi beda. Kemudian pindah ke perusahaan lain
untuk posisi lainnya.
Saya
merasa kasihan melihatnya. Ia kini nampak tua dan badannya makin kusut.
Saya bersikap biasa saja. Berusaha menempatkan diri sebagaimana saat ia
mentraining saya dulu. Bagaimanapun juga ia orang yang berjasa dalam
mengantarkan saya ke posisi saat ini.
Kalau
bukan dia, saya tak akan mendapat kesempatan ini. Maka sudah selayaknya
saya tetap hormat padanya. Ia bagai seorang guru yang berhasil
mengantar anak didiknya ke jenjang hidup lebih baik. Seperti seorang
guru SD yang sudah tahunan mengajar dan murid-muridnya pun sudah ada
yang sudah menjadi menteri bahkan seorang presiden. Ia tetap bangga
sebagai guru SD.
Bedanya,
seorang guru SD tidak akan mengumpat muridnya yang lamban menerima
pelajaran. Apalagi sampai berpendapat bahwa murid itu tak pantas
sekolah di tempatnya mengajar. Ia tidak akan bersikap congkak dan sok
paling pinter. Ia akan menolongnya dengan baik. Itulah tugasnya.
Dan ia
tahu, setiap murid berbeda kemampuannya. Siapa tahu muridnya itu
nantinya bakal punya posisi jauh di atasnya. Dan tidak dipandang
sebagai saingannya dalam mempertahankan posisinya sebagai guru SD. Ia
hanya bertugas mengantarkan muridnya agar nantinya punya kehidupan
lebih baik. Meski jauh lebih dari dirinya sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar