Antara Orang Sholeh dan Orang Alim
Ada sebuah cerita. Sebuah kisah nyata yang pernah terjadi di dunia.
Kisah ini terjadi pada jaman Bani Isra`il masih berkuasa. Ada seorang
lelaki yang telah melenyapkan nyawa manusia sebanyak 99 jiwa. Dengan
kekejaman yang tiada tara, ia membunuh mereka. Satu persatu. Dengan
hati tanpa belas kasihan. Dengan mata tanpa berkedipan.
Namun, siapa tahu akan isi hati manusia. Hati manusia mudah
sekali berubah. Kemarin baik, sekarang berubah jahat. Dulu jahat,
sekarang menjadi baik. Begitu juga dengan lelaki ini. Setelah membunuh
orang yang ke-99, muncul setitik cahaya di hatinya. Hidayah Allah mulai
tumbuh pada dirinya. Ia menyesali semua perbuatannya. Perbuatan jahat
yang telah ia lakukan mulai membayangi dirinya. Bayangan orang yang
telah ia bunuh muncul di sekelilingnya. Perasaannya bertambah tidak
enak. Ia menyadari bahwa selama ini ia telah hidup dalam lingkaran
setan. Akhirnya, ia memutuskan untuk bertaubat. Memperbaiki hidupnya
yang telah sekian lama ternoda.
Ia bertanya-tanya, mencari orang yang
dapat membantunya keluar dari lingkaran gelap hidupnya. Ia menemui
seorang Rahib, seorang pendeta, seorang sholeh, seorang ahli ibadah. Ia
menceritakan semua yang telah ia lakukan selama ini kepada si Rahib. Ia
mengutarakan isi hatinya. Apakah ia masih punya kesempatan untuk
bertaubat? Mungkinkah taubatnya diterima Allah ta’ala?
Mendengar semua itu, si Rahib
tercengang. Si ahli ibadah itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia
sangat terkejut. Ia hampir tak percaya dengan semua yang ia dengar.
Seandainya tidak mendengar dengan kedua telinganya sendiri mungkin ia
tak kan percaya dengan cerita si lelaki. Dengan tanpa pikir panjang
lagi, si orang sholeh itu menjawab: TIDAK! TAUBAT KAMU TIDAK AKAN
DITERIMA!.
Si lelaki itu kaget. Ia tak menyangka si Rahib akan menjawab
seperti itu. Ia merasa harapannya untuk menjadi orang yang baik hilang
selama-lamanya. Ia marah. Sifat jahatnya yang baru saja akan hilang
muncul kembali. Ia mengambil pedang yang terselip di pinggangnya.
Dengan sekali bergerak, kepala si Rahib telah terlepas dari badannya.
Darah muncrat-muncrat dari lehernya yang sudah tak berkepala lagi.
Melihat darah yang mengalir di depan
matanya, si lelaki sadar kembali. Ia telah keburu nafsu. Ia tak sempat
menahan amarah yang tiba-tiba menyeruak ke dalam relung hatinya. Ia
menyesali lagi perbuatannya. Perasaan menyesal yang sangat besar timbul
kembali di kedalaman hatinya. Ia ingin insyaf. Ia ingin bertaubat.
Tapi, kenapa ada saja yang menghalangi keinginannya? Kini, ia telah
membunuh 100 orang. Masih adakah jalan untuk bertaubat baginya?
Setelah membunuh si Rahib, keinginannya
untuk bertaubat bertambah semakin besar. Ia tak putus asa. Ia mencari
lagi orang yang dapat membantunya. Ia mencari dan terus mencari. Ia
bertanya ke sana ke sini. Akhirnya, setelah bersusah payah, ia bertemu
dengan seorang Alim. Seorang yang mengetahui hukum-hukum agama. Seorang
yang paham akan syari’at Allah ta’ala. Ia menceritakan keadaanya. Ia
mengutarakan keinginannya untuk memperbaiki diri. Masih adakah
kesempatan baginya untuk bertaubat?
Si Alim tersenyum. Ia telah memahami
maksud perkataan orang itu. Ia mengetahui kesungguhan hatinya. Dengan
senyum yang masih mengembang, si Alim menjawab: YA! KESEMPATAN
BERTAUBAT BAGIMU MASIH TERBUKA LEBAR! TIDAK ADA YANG DAPAT MENGHALANGI
KAMU DARI TAUBAT!!! Si lelaki tercengang. Benarkah apa yang barusan ia
dengar. Ia meminta si Alim mengulangi ucapannya sekali lagi. Si Alim
mengiyakan. Ia mengulanginya sekali lagi dengan menyertakan sebuah
syarat.
Orang laki-laki itu harus pergi ke sebuah negeri yang
penduduknya senantiasa menyembah Allah ta’ala. Ia harus pergi
meninggalkan negerinya, sebab negeri yang ia tinggali sekarang ini
adalah negeri yang penuh dengan kejahatan. Negeri yang penduduknya
selalu bermaksiat kepada Allah ta’ala. Mendengar ucapan si Alim, ia
sangat bahagia. Harapannya menjadi orang baik akan segera terwujud. Ia
bergegas, berpamit kepada si Alim. Setelah itu, ia segera meninggalkan
negerinya.
Akhir cerita, di tengah perjalanan
menuju negeri yang dituju, malaikat maut telah menantinya. Ia meninggal
dunia sebelum sampai di tempat tujuannya. Dengan rahmat Allah ta’ala
yang sangat besar, Allah ta’ala menyelamatkannya dari neraka dan
memasukkannya ke dalam surga
Brother and sister, akhi dan ukhti,
pernahkah kamu mendengar cerita ini? kalau pernah, percayakah kamu
dengan cerita ini? Aku percaya dan sangat percaya. Sebab, Nabi Muhammad
shallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam sendiri yang
menceritakannya. Kisah ini sebagai bukti rahmat Allah ta’ala terhadap
hambanya. Kisah ini juga sebagai motivasi bagi orang yang berbuah dosa
untuk selalu bertaubat kepada Allah ta’ala.
Akhi dan ukhti, ada pelajaran lain yang
dapat diambil dari kisah ini, yaitu perbedaan orang sholeh dan orang
Alim. Kita ketahui dari kisah ini, ketika si lelaki pembunuh bertanya
kepada si Rahib: apakah taubatnya akan diterima atau tidak, apa jawaban
si Rahib? Tidak. Taubat si pembunuh itu tidak akan diterima. Kenapa ia
menjawab begitu? Si Rahib adalah orang yang sholeh. Seorang ahli
ibadah. Seorang pendeta.
Setiap hari, yang dikerjakannya adalah
beribadah. Ia selalu menyembah Allah ta’ala. Ia tidak pernah melakukan
kemaksiatan. Ia tidak pernah melakukan kejahatan. Ketika mengetahui ada
orang yang telah membunuh 99 orang, ia menganggap orang tersebut sangat
jahat. Orang tersebut telah melakukan dosa yang sangat besar. Ia
membandingkan orang tersebut dengan dirinya sendiri yang “tak pernah
melakukan dosa”. Ia beranggapan Allah ta’ala tidak akan mengampuni
orang yang dosanya sudah sangat terlalu besar seperti diri orang
tersebut. Dengan jalan pikiran seperti ini, si Rahib mengatakan bahwa
taubat si pembunuh itu tidak akan diterima oleh Allah ta’ala.
Berbeda dengan si Rahib, si Alim adalah
orang yang mempunyai banyak ilmu. Ia adalah seorang yang mengetahui
hukum-hukum agama. Ia paham tentang prinsip taubat dan
syarat-syaratnya. Ia mengetahui bahwa belas kasih Allah ta’ala
sangatlah besar. Ia mengetahui semua itu, sehingga tahu apa yang harus
ia fatwakan untuk si pembunuh tersebut. Dengan ilmunya yang banyak, si
Alim dapat memberi fatwa yang benar kepadanya. Dengan ilmunya tersebut,
Ia dapat memberikan penerangan kepada orang lain.
Dari sini, kita ketahui bahwa kisah ini
ternyata juga mengajari kita untuk selalu minta suatu fatwa kepada para
alim ulama. Dalam minta fatwa, kita jangan sampai salah alamat. Jangan
sampai kita minta fatwa kepada orang yang tidak mengetahui syari’at
Islam. Jangan sampai kita menanyakan suatu masalah agama kepada orang
yang tidak mengetahui hukum-hukum agama. Jika kita tidak paham tentang
suatu hukum dalam agama ini, kita harus bertanya kepada ahli dzikr.
Para ulama waratsatul anbiya`. Sebagaimana kalam Allah ta’ala:
…فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (النحل(16):43)
… maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. (Q.S. An-Nahl(16):43)
Cukup sekian, wassalam.
0 komentar:
Posting Komentar