Jumat, 14 Maret 2014

Orang Sholeh dan Orang Alim

 
Antara Orang Sholeh dan Orang Alim

Ada sebuah cerita. Sebuah kisah nyata yang pernah terjadi di dunia. Kisah ini terjadi pada jaman Bani Isra`il masih berkuasa. Ada seorang lelaki yang telah melenyapkan nyawa manusia sebanyak 99 jiwa. Dengan kekejaman yang tiada tara, ia membunuh mereka. Satu persatu. Dengan hati tanpa belas kasihan. Dengan mata tanpa berkedipan.
Namun, siapa tahu akan isi hati manusia. Hati manusia mudah sekali berubah. Kemarin baik, sekarang berubah jahat. Dulu jahat, sekarang menjadi baik. Begitu juga dengan lelaki ini. Setelah membunuh orang yang ke-99, muncul setitik cahaya di hatinya. Hidayah Allah mulai tumbuh pada dirinya. Ia menyesali semua perbuatannya. Perbuatan jahat yang telah ia lakukan mulai membayangi dirinya. Bayangan orang yang telah ia bunuh muncul di sekelilingnya. Perasaannya bertambah tidak enak. Ia menyadari bahwa selama ini ia telah hidup dalam lingkaran setan. Akhirnya, ia memutuskan untuk bertaubat. Memperbaiki hidupnya yang telah sekian lama ternoda.
 
Ia bertanya-tanya, mencari orang yang dapat membantunya keluar dari lingkaran gelap hidupnya. Ia menemui seorang Rahib, seorang pendeta, seorang sholeh, seorang ahli ibadah. Ia menceritakan semua yang telah ia lakukan selama ini kepada si Rahib. Ia mengutarakan isi hatinya. Apakah ia masih punya kesempatan untuk bertaubat? Mungkinkah taubatnya diterima Allah ta’ala?

Mendengar semua itu, si Rahib tercengang. Si ahli ibadah itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia sangat terkejut. Ia hampir tak percaya dengan semua yang ia dengar. Seandainya tidak mendengar dengan kedua telinganya sendiri mungkin ia tak kan percaya dengan cerita si lelaki. Dengan tanpa pikir panjang lagi, si orang sholeh itu menjawab: TIDAK! TAUBAT KAMU TIDAK AKAN DITERIMA!. 

Si lelaki itu kaget. Ia tak menyangka si Rahib akan menjawab seperti itu. Ia merasa harapannya untuk menjadi orang yang baik hilang selama-lamanya. Ia marah. Sifat jahatnya yang baru saja akan hilang muncul kembali. Ia mengambil pedang yang terselip di pinggangnya. Dengan sekali bergerak, kepala si Rahib telah terlepas dari badannya. Darah muncrat-muncrat dari lehernya yang sudah tak berkepala lagi.

Melihat darah yang mengalir di depan matanya, si lelaki sadar kembali. Ia telah keburu nafsu. Ia tak sempat menahan amarah yang tiba-tiba menyeruak ke dalam relung hatinya. Ia menyesali lagi perbuatannya. Perasaan menyesal yang sangat besar timbul kembali di kedalaman hatinya. Ia ingin insyaf. Ia ingin bertaubat. Tapi, kenapa ada saja yang menghalangi keinginannya? Kini, ia telah membunuh 100 orang. Masih adakah jalan untuk bertaubat baginya?

Setelah membunuh si Rahib, keinginannya untuk bertaubat bertambah semakin besar. Ia tak putus asa. Ia mencari lagi orang yang dapat membantunya. Ia mencari dan terus mencari. Ia bertanya ke sana ke sini. Akhirnya, setelah bersusah payah, ia bertemu dengan seorang Alim. Seorang yang mengetahui hukum-hukum agama. Seorang yang paham akan syari’at Allah ta’ala. Ia menceritakan keadaanya. Ia mengutarakan keinginannya untuk memperbaiki diri. Masih adakah kesempatan baginya untuk bertaubat?

Si Alim tersenyum. Ia telah memahami maksud perkataan orang itu. Ia mengetahui kesungguhan hatinya. Dengan senyum yang masih mengembang, si Alim menjawab: YA! KESEMPATAN BERTAUBAT BAGIMU MASIH TERBUKA LEBAR! TIDAK ADA YANG DAPAT MENGHALANGI KAMU DARI TAUBAT!!! Si lelaki tercengang. Benarkah apa yang barusan ia dengar. Ia meminta si Alim mengulangi ucapannya sekali lagi. Si Alim mengiyakan. Ia mengulanginya sekali lagi dengan menyertakan sebuah syarat. 

Orang laki-laki itu harus pergi ke sebuah negeri yang penduduknya senantiasa menyembah Allah ta’ala. Ia harus pergi meninggalkan negerinya,  sebab negeri yang ia tinggali sekarang ini adalah negeri yang penuh dengan kejahatan. Negeri yang penduduknya selalu bermaksiat kepada Allah ta’ala. Mendengar ucapan si Alim, ia sangat bahagia. Harapannya menjadi orang baik akan segera terwujud. Ia bergegas, berpamit kepada si Alim. Setelah itu, ia segera meninggalkan negerinya.

Akhir cerita, di tengah perjalanan menuju negeri yang dituju, malaikat maut telah menantinya. Ia meninggal dunia sebelum sampai di tempat tujuannya. Dengan rahmat Allah ta’ala yang sangat besar, Allah ta’ala menyelamatkannya dari neraka dan memasukkannya ke dalam surga

Brother and sister, akhi dan ukhti, pernahkah kamu mendengar cerita ini? kalau pernah, percayakah kamu dengan cerita ini? Aku percaya dan sangat percaya. Sebab, Nabi Muhammad shallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam sendiri yang menceritakannya. Kisah ini sebagai bukti rahmat Allah ta’ala terhadap hambanya. Kisah ini juga sebagai motivasi bagi orang yang berbuah dosa untuk selalu bertaubat kepada Allah ta’ala.

Akhi dan ukhti, ada pelajaran lain yang dapat diambil dari kisah ini, yaitu perbedaan orang sholeh dan orang Alim. Kita ketahui dari kisah ini, ketika si lelaki pembunuh bertanya kepada si Rahib: apakah taubatnya akan diterima atau tidak, apa jawaban si Rahib? Tidak. Taubat si pembunuh itu tidak akan diterima. Kenapa ia menjawab begitu? Si Rahib adalah orang yang sholeh. Seorang ahli ibadah. Seorang pendeta. 

Setiap hari, yang dikerjakannya adalah beribadah. Ia selalu menyembah Allah ta’ala. Ia tidak pernah melakukan kemaksiatan. Ia tidak pernah melakukan kejahatan. Ketika mengetahui ada orang yang telah membunuh 99 orang, ia menganggap orang tersebut sangat jahat. Orang tersebut telah melakukan dosa yang sangat besar. Ia membandingkan orang tersebut dengan dirinya sendiri yang “tak pernah melakukan dosa”. Ia beranggapan Allah ta’ala tidak akan mengampuni orang yang dosanya sudah sangat terlalu besar seperti diri orang tersebut. Dengan jalan pikiran seperti ini, si Rahib mengatakan bahwa taubat si pembunuh itu tidak akan diterima oleh Allah ta’ala.

Berbeda dengan si Rahib, si Alim adalah orang yang mempunyai banyak ilmu. Ia adalah seorang yang mengetahui hukum-hukum agama. Ia paham tentang prinsip taubat dan syarat-syaratnya. Ia mengetahui bahwa belas kasih Allah ta’ala sangatlah besar. Ia mengetahui semua itu, sehingga tahu apa yang harus ia fatwakan untuk si pembunuh tersebut. Dengan ilmunya yang banyak, si Alim dapat memberi fatwa yang benar kepadanya. Dengan ilmunya tersebut, Ia dapat memberikan penerangan kepada orang lain.

Dari sini, kita ketahui bahwa kisah ini ternyata juga mengajari kita untuk selalu minta suatu fatwa kepada para alim ulama. Dalam minta fatwa, kita jangan sampai salah alamat. Jangan sampai kita minta fatwa kepada orang yang tidak mengetahui syari’at Islam. Jangan sampai kita menanyakan suatu masalah agama kepada orang yang tidak mengetahui hukum-hukum agama. Jika kita tidak paham tentang suatu hukum dalam agama ini, kita harus bertanya kepada ahli dzikr. Para ulama waratsatul anbiya`. Sebagaimana kalam Allah ta’ala:

…فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (النحل(16):43)

… maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. (Q.S. An-Nahl(16):43)


Cukup sekian, wassalam.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Press Release Distribution