Selasa, 16 Juni 2015

Ketidakadilan

Ketimpangan Lahirkan Ketidakadilan



Allah menciptakan manusia dari bahan yang sama, yaitu tanah (23:12). Manusia pun diberi potensi yang sama oleh Allah, baik raga (16:78) maupun jiwa (91:7-8) . Dalam pandangan Allah, manusia dibedakan bukan karena jenis kelamin atau suku bangsanya. Akan tetapi, manusia berbeda karena kesungguhan dalam memaksimalkan potensi dan peran yang dimainkannya. Manusia yang paling maksimal memanfaatkan potensinya dan menjalani peran yang diberikan Allah kepadanya, dengan sungguh-sungguh dan sesuai dengan petunjuk Allah, itulah orang yang bertakwa (QS 16:97, QS 49:13).

Peran yang Allah berikan kepada manusia tentunya tidak seragam. Dalam konteks inilah Allah menjadikan pelapisan sosial dalam masyarakat, miskin dan kaya, rakyat dan penguasa, buruh dan majikan. Tidak ada yang perlu ditangisi ataupun disesali, apalagi iri hati. Apa pun keadaan kita sekarang, itu adalah karunia dari Allah yang terbaik bagi kita.

Demikian juga, ketika Allah memberikan variasi rezeki kepada manusia. Maka, Allah telah mengatur seperangkat sistem yang dapat melahirkan keadilan sosial melalui beragam skim distribusi kelompok manusia berkecukupan (aghniya) kepada manusia berkekurangan (fuqara) sehingga akan terjadi keadilan ekonomi bagi seluruh manusia. Allah berfirman dalam  QS 16:71. “Dan Allah melebihkan sebagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezeki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezekinya itu) tidak mau memberikan rezeki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezeki itu. Maka, mengapa mereka mengingkari nikmat Allah?

Namun, karena karakter manusia yang berkeluh kesah timbullah ketimpangan yang melahirkan ketidakadilan. Majikan sering kali lupa akan posisinya untuk memberikan hak yang wajar untuk buruhnya. Yang dominan adalah tuntutan majikan agar buruh melakukan kewajibannya, jika perlu lebih dari semestinya. Demikian pula buruh, menuntut hak untuk mendapatkan upah yang lebih dari wajar dan terkadang lupa akan kewajiban pokoknya untuk bekerja dan menghasilkan produk terbaik.

Allah menegaskan, jika kamu menyuruh orang untuk bekerja, maka berikanlah upahnya (Q.S. 65:6). Bahkan, Rasulullah mengingkatkan agar para majikan untuk memberikan upah sebelum kering keringat dari buruh (HR Ibnu Majah dari Abdillah bin Umar). Pada riwayat yang lain dalam sebuah hadis Qudsi Allah Berfirman, “Tiga kelompok manusia yang saya musuhi pada hari kiamat: orang yang Aku beri kemudian dia beri berkhianat, seorang yang melakukan jual beli manusia merdeka, dan seseorang majikan yang tidak memberikan upah kepada buruh ketika pekerjaan sudah selesai.” (HR Bukhari dari Abi Hurairah).

Dengan kata lain, tidak boleh ada kezaliman atau ketidakadilan dalam hubungan antara buruh dan majikan. Karena pada dasarnya sebagaimana disabdakan Rasulullah, “Seorang Muslim dengan Muslim yang lainnya adalah saudara, janganlah menzalimi dan jangan saling menjatuhkan. Barang siapa hadir ketika dibutuhkan saudaranya, maka Allah akan hadir dalam memenuhi kebutuhannya. 


Barang siapa yang memberikan jalan keluar atas satu kerumitan seorang Muslim, maka Allah akan memberikan jalan keluar dari banyak kerumitan pada hari kiamat. Barang siapa yang menutup (aib) seorang Muslim, maka Allah akan menutu (aib)nya pada hari kiamat (Hadis sepakat Bukhari dan Muslim). 

Buruh dan majikan hanyalah peran yang Allah berikan kepada manusia. 


Wallahu a'lam bi al-shawab. 
Oleh: Sofyan Al Hakim

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Press Release Distribution