Intinya Sering Terlupakan
Halal bi halal begitu lekat bagi umat Islam di Indonesia. Seakan telah
menjadi sebuah kebutuhan yang pantang dilupakan. Pasalnya, halal bi
halal menjadi sebuah momen penting untuk saling memaafkan.
Tak heran jika halal bi halal tergelar dengan suasana meriah dan suka
cita, baik yang diselenggarakan di kampung-kampung maupun hotel
berbintang.
Bahkan kantor-kantor instansi pemerintah maupun swasta tak
ketinggalan.
Namun, bagi dai terkenal Ihsan Tanjung, halal bi halal mestinya tak
hanya terlihat gebyar. Inti yang mesti dipetik dari acara tersebut saling memaafkan secara tulus terlupakan oleh umat Islam.
''Janganlah halal bi halal menjadi sebuah acara yang bersifat
seremonial,'' papar pria kelahiran Kuala Lumpur, 24 Agustus 1961.
Menyingkap lebih jauh apa dan bagaimana seharusnya halal bi halal
dilaksanakan, berikut ini wawancara Republika dengan pengasuh rubrik
Konsultasi Keluarga, di situs Islam Eramuslim.
Setiap hari raya Idul Fitri umat Islam di Indonesia menggelar acara
halal bi halal. Bagaimana pandangan Anda terhadap fenomena ini?
Menurut saya halal bi halal lebih bersifat tradisi atau budaya. Dalam syariat Islam tak dinyatakan bahwa halal bi halal sebagai sebuah ritual yang harus dikerjakan. Dan Nabi Muhammad tak memberikan contoh atau menyatakan bahwa halal bi halal sebagai sebuah bentuk peribadatan.Meski demikian, acara yang setiap tahun dilakukan umat Islam ini tak secara otomatis dapat disematkan hukum haram atau bid'ah. Penyebabnya, Islam memandang jika memang budaya tersebut memberikan sebuah manfaat dan tak bertentangan syariat maka laku budaya tersebut dapat tetap dipertahankan.Namun yang mesti diingat, halal bi halal yang telah membudaya ini janganlah dipandang oleh umat Islam sebagai sesuatu yang harus dilakukan. Jika demikian kenyataannya, tentu hukumnya menjadi berubah.
Ini akan mendorong seseorang atau masyarakat menganggap halal bi halal sebagai sebuah kewajiban yang tak boleh ditinggalkan. Kenyataan ini tak boleh terjadi, karena sekali lagi, halal bi halal bukanlah sebagai sebuah bentuk peribadatan dalam Islam. Apakah tradisi halal bi halal hanya dilaksanakan oleh umat Islam di Indonesia. Apakah umat Islam di negera lain pun memiliki tradisi seperti ini?Sepanjang sepengetahuan saya, tradisi halal bi halal hanyalah terjadi di Indonesia, di negara lain tak ada tradisi tersebut. Menurut saya, kenyataan ini mengindikasikan bahwa umat Islam di Indonesia lebih semarak dalam menyambut dan mengisi hari raya Idul Fitri, dibandingkan hari raya Idul Adha.
Indikasi lainnya adalah tradisi mudik. Meski banyak
orang beralasan bahwa mudik menjadi ajang untuk bersua dengan keluarga
yang tak bertemu sekian lamanya. Namun ada hal yang sangat disayangkan,
10 hari terakhir yang seharusnya menjadi konsentrasi umat Islam,
terabaikan dengan persiapan-persiapan mudik.Padahal, umat Islam di
negara lain biasanya berbuat sebaliknya. Hari raya Idul Adha mereka
rayakan lebih semarak. Karena mereka memaknai bahwa Idul Adha, yang
terkait dengan pelaksanaan ibadah haji, sebagai hari raya yang
menggambarkan akan kesatuan umat Islam sedunia.
Jika menengok sejarah, Rasulullah Muhammad pun melakukan hal yang demikian. Misalnya, menjelang Idul Fitri, beliau melakukan takbir pada malam hari hingga shalat Idul Fitri di lapangan. Padahal pada Idul Adha, takbir dilakukan pada malam hari dan tetap dilangsungkan selama tiga hari. Dan saya memandang hal itu mestinya juga terjadi di Indonesia. Apa latar belakangnya?
Hari raya Idul Fitri merupakan tahap awal dari serangkaian upaya dalam mendapatkan diri yang fitri. Dan ini hanyalah modal awal yang kita miliki untuk menjalani kehidupan setelah Ramadhan. Sedangkan Idul Adha, menjadi sebuah momen perayaan bersatunya umat Islam di tanah suci, Makkah.
Selain itu, Idul Adha menjadi sebuah simbol pengorbanan yang modal awalnya adalah fitrah dalam diri manusia yang mesti dicapai pada saat Idul Fitri. Dengan demikian, semestinya umat Islam lebih semarak dalam menyambut dan mengisi kegiatan di hari raya Idul Adha. Terlepas apakah halal bi halal sebagai tradisi atau sebuah ritus serta pandangan di atas, sebenarnya adakah urgensi dari halal bi halal itu sendiri?Saya tidak bisa mengatakan itu urgensi. Saya memandang bahwa halal bi halal tetap memiliki manfaat terutama untuk menjalin silaturahmi yang terputus dan meluruhkan masalah yang ada selama ini.
Walaupun begitu, acara halal bi halal janganlah dilakukan hanya sebagai
acara seremonial.Orang-orang yang mengikuti acara halal bi halal diatur
untuk berdiri dengan rapi dan saling bersalaman. Mereka hanya
mengucapkan kata maaf yang terlontar dari mulut. Seharusnya, kata maaf
diucapkan namun masalah yang ada selama ini mesti diangkat dan
dibicarakan.Lalu bersama mencari solusi dari permasalahan yang membuat
hubungan di antara mereka selama ini kurang harmonis. Dengan demikian,
segala permasalahan akan terselesaikan dengan tuntas. Dan tak ada sisa
masalah yang masih terbawa meski halal bi halal telah usai.
Hal ini terjadi juga ketika ada sebuah konflik di daerah tertentu di Indonesia. Masyarakat dan pemerintah menganggap begitu pentingnya pertemuan dan saling bersalaman. Namun inti permasalahan terjadinya konflik tak dibicarakan. Tak heran usai pertemuan, konflik pun pecah kembali. Bisakah dimaknai juga bahwa halal bi halal ini dapat mewujud sebagai langkah sinergi serta pijakan dalam menciptakan persatuan dan kemajuan umat?Seharusnya bisa. Karena segala permasalahan yang mengganjal di dalam hati telah terurai dan terpecahkan. Masalahnya, masyarakat Indonesia memiliki masalah dalam berkomunikasi. Mereka lebih mengandalkan komunikasi verbal.Pada saat berhalal bi halal, mereka yang memiliki ganjalan masalah hanya mengucapkan kata maaf dan saling bersalaman. Hanya ada di permukaan saja. Sayangnya, mereka kemudian tidak menindaklanjutinya dengan mengangkat masalah yang menjadi ganjalan, dan membicarakan bersama untuk mencari solusinya.
Banyak orang tak melakukan itu, mereka beralasan daripada ribut lebih baik masalah itu tak diungkit kembali. Meski sebenarnya akar permasalahan itu belum tercerabut. Ini akan menjadi api dalam sekam dan berpotensi menjadi konflik pula yang berkepanjangan. Lalu apa yang mesti dilakukan agar halal bi halal tak menjadi acara yang hanya bernilai seremonial?Halal bi halal pada akhirnya haruslah mewujudkan zero-zero situation. Untuk itu mesti ada sebuah upaya penyadaran terhadap masyarakat melalui pendidikan dan dakwah.
Meski selama ini, terdapat yang dai yang bergerak untuk memberikan penyadaran kepada masyarakat. Namun jumlah dai yang melakukan hal ini begitu sedikit. Tak heran jika apa yang disampaikan para dai akan inti halal bi halal tersebut, redup kembali. Mestikah diterapkan cara yang revolusioner untuk menyampaikan penyadaran ini secara cepat kepada masyarakat?Tak perlu. Karena hal itu mungkin tak cocok dan akan menciptakan pandangan yang negatif. Sebaliknya penyadaran perlu dilakukan secara terus menerus, tanpa jemu. Pasalnya, halal bi halal yang hanya mengedepankan sifat seremonial tampaknya telah membudaya.
Dan tentunya harus dicabut dari akarnya secara perlahan-lahan. Saya seringkali melontarkan hal ini jika diundang ke acara-acara halal bi halal, dan keadaan tersebut belum juga berubah. Kita memang masih harus menunggu.
ferry kisihandi/dokrep/Nopember 2003
0 komentar:
Posting Komentar