Cara Mulia Mengaku Salah
“Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya
diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi
rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang
merugi.” (al-A’raf [7]: 23)
Ibnu Jarir dalam tafsirnya menerangkan bahwa ungkapan di atas merupakan jawaban Adam dan Hawa ketika dipanggil Allah selepas memakan buah dari pohon yang dilarang untuk didekati. Adam dan Hawa mengaku telah berbuat dosa. Lalu, mereka meminta ampunan dan rahmat kepada Allah. Ini benar-benar berbeda dengan sikap dan jawaban iblis terlaknat. (Tafsir Ath-Thabari)
Dengan kalimat itu maka Allah menerima tobat Adam dan Hawa (al-Baqarah [2]: 37). Adam pun menjadi terhormat. Ia diangkat oleh Allah sebagai khalifah di muka bumi, diberi petunjuk, dan di akhirat masuk surga. (Thaha [20]: 122).
Banyak pelajaran yang bisa kita petik. Pertama, salah bagi manusia sesungguhnya merupakan hal biasa. Bersih dari dosa bukanlah sifat manusia. Oleh karena itu, ada ungkapan, Al-Insanu mahallulkhatha’i wannisyan (Manusia adalah tempat salah dan lupa).
Kedua, mengakui kesalahan. Memang salah merupakan sifat manusia, namun ini tak boleh menjadi pembenaran kesalahan. Misalnya dengan mengatakan, saya atau kita ini bukan malaikat. Itulah orang tua kita, Adam dan Hawa, langsung mengakui kesalahan yang telah diperbuat. Inilah sikap yang diteladankan oleh ayah dan ibu kita. Karena pada dasarnya manusia berbuat salah, bukanlah suatu kesalahan yang besar bila mau mengakui kesalahannnya. Adapun yang menjadi dosa itu besar dan sangat besar, yakni bila berbuat dosa tapi tak mengaku salah bahkan mengaku benar.
Ketiga, menyalahkan diri sendiri. Inilah sikap kedua orang tua kita yang sangat terpuji. Beliau berdua tidak menyalahkan pihak lain. Bahkan, tidak menyebut iblis sama sekali. Padahal, sangat jelas iblislah yang merayu dan membujuknya agar mau memakan buah larangan itu.
Adam sama sekali tidak mengambinghitamkan iblis dengan mengatakan ini gara-gara iblis atau konspirasi iblis. Tidak. Ayah dan Ibu kita sadar bahwa yang salah, yaitu diri sendiri. Karena sudah tahu iblis tapi mengapa diikutinya. Maka kalau iblis disebut, itu tidaklah meringankan kesalahan yang telah diperbuat, tapi justru menambah kesalahan.
Memakan buah pohon larangan merupakan kesalahan dan mengikuti iblis termasuk kesalahan lain lagi. Karena itu, sikap yang terhormat, yakni menyalahkan diri sendiri. Bagi orang yang berbuat dosa bila ingin selamat, tak perlu menuding karena ini dan itu atau karena konspirasi dll. Cukup kita ucapkan, “Ya Allah, kami telah menzalimi diri kami sendiri..”
Keempat, mohon ampun. Setelah sadar berbuat salah, mengakui kesalahan dan itu karena salah diri sendiri, langsung diiringi permohonan ampun yang sungguh-sungguh.
Dengan sikap seperti ini, bagi orang yang berbuat dosa kecil atau besar, Allah tak lagi murka. Tapi sebaliknya, Allah mencintainya. “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertobat dan orang-orang yang membersihkan diri.” (al-Baqarah [2]: 222)
Ternyata ungkapan yang mirip dengan ucapan Adam dan Hawa juga diucapkan Nabi Yunus. Hingga akhirnya beliau selamat dengan luar biasa. Di dalam perut ikan, di dalam laut, dan tengah malam yang gelap, Nabi Yunus mengucapkan, “Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zalim.” (al-Anbiya’ [21]: 83)
Bukan hanya Nabi Adam dan Yunus, melainkan Nabi Musa juga melakukan hal sama. “Musa berdoa, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri karena itu ampunilah aku.” Maka Allah mengampuninya, sesungguhnya Allah Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Qashash [28]: 16)
Itulah sikap orang-orang hebat dan pemimpin-pemimpin sejati. Bukan mereka tidak pernah berbuat salah atau dosa, tapi bila berbuat dosa, mereka mengakui kesalahan dan segera bertobat dengan sepenuh hati.
Nabi Muhammad SAW bersabda, “Demi Allah, sesungguhnya aku minta ampun kepada Allah dan bertobat kepada-Nya dalam sehari lebih dari tujuh puluh kali.” (Hr. Bukhari).
Wallahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar