Diet Bicara: Manfaat Kesehatan dan Keruhanian
Almin Jawad Moerteza
Para ilmuwan masa kini telah menghempaskan semua
pengorbanan diri dan kerendahan hati
Mereka sembunyikan hati dalam kecerdikan
dan permainan bahasa
Raja sejati adalah dia yang mengusai pikirannya
Bukan dia yang pikirannya menguasai dunia dan dirinya
Jalaluddin Rumi
Matsnawi-e ma’nawi
Karena merasa tahu segala hal, Ali,
seorang filosof dengan bangga berbicara apa saja di hadapan siapa saja.
Ia berkisah tanpa henti laksana burung beo yang ketika berkicau sulit
dihentikan. Semua orang mengenalnya lantaran kedalaman dan keluasan
ilmunya. Ia tahu banyak tentang sains dan seni. Sahabatnya, Sam,
terganggu oleh riuh pembicaraannya. Ia ingin agar Ali sadar bahwa
pengetahuan konseptualnya tentang dunia dimana tempat mereka tinggal dan
dunia yang ia bicarakan tidaklah sesederhana yang ia bayangkan.
Namun
Ali, sang filosof yang ahli mengkotak katik otak, selalu saja
mementahkan argumen-argumennya. Sam terpaku. Bibirnya berhenti berucap.
Rona wajahnya muram. Ada kerasahan menyelimuti sebagaimana yang tampak
pada kerutan di wajahnya. Rasanya, ia ingin mengembalikkan sahabatnya
yang asyik dengan dunianya sendiri. Dunia delusi. Membawanya kepada
kehidupan yang sesungguhnya.
Setelah berpikir keras, ia mengajak
Ali agar ikut berlayar bersamanya. Di tengah laut, penyakit Ali kambuh.
Kebiasaannya berceloteh kumat lagi. Ia berbicara tentang filsafat dengan
para pelaut. Para awak kapal mendengarkan dengan sabar tanpa berkata
sepatah katapun. Tapi tiba-tiba dari dalam kerumunan, seorang nahkoda
menyela pembicaraan dan meminta Ali agar menghentikan ocehannya.
“Apakah engkau mengerti tentang
filsafat?”, tanya Ali. “Sama sekali tidak”, jawab sang nahkoda. Ali
menggeleng-gelengkan kepalanya seraya berkata, “Sayang sekali, sebab
separuh hidupmu terbuang percuma karena tidak punya pengetahuan seperti
ini”. Nahkoda itu pun membisu.
Ali masih saja berbicara. Dari
mulutnya kata-kata mengucur deras. Ia menjelaskan bagaimana pemerintah
semestinya mengatur negara. Ia berbicara bagaimana seharusnya pemerintah
menangani berbagai persoalan yang mendera bangsa dan masyarakatnya.
To make the long story short
– Sampai suatu malam, ketika berada di tengah lautan, dalam perjalanan
pulang, badai datang bergulung-gulung disertai hujan lebat menghempaskan
kapal. Kapal diremukkan oleh gelombang bak rumah yang hampir roboh
karena goncangan tsunami. Sang kapten tidak sanggup mengendalikan kapal.
Geledak kapal mulai dipenuhi air. Kapal perlahan-lahan mulai karam.
Para awak panik dan ketakutan. Kepada awak, nahkoda berseru untuk
bergegas meninggalkan kapal. Dalam keadaan bersiap untuk terjun, si
nahkoda teringat pada Ali. Segera ia menerobos kerumunan orang mencari
Ali.
Di pintu kabin Ali berdiri seorang
diri. Nahkoda kapal menarik tangannya. “Cepatlah, kita harus
meninggalkan kapal ini sesegera mungkin!”, pinta sang nahkoda. Ali
tampak kebingungan. Melihat Ali kebingungan, nahkoda itu berteriak lagi,
“Apa kau bisa berenang?”. “Tidak!”, jawab Ali.
“Sungguh sayang”, kata nahkoda kapal itu
sambil menggelengkan kepalanya, “sebab seluruh hidupmu terbuang sia-sia
karena tidak tahu ilmu berenang”.
Setelah badai reda, sebuah kapal yang
lewat menolong mereka. Ali beserta nahkoda dan awak kapal lainnya
selamat. Sejak saat itu Ali tak pernah lagi membangga-banggakan
pengetahuannya. Badai di malam itu telah membuatnya membatin. Mengurangi
kebiasaannya yang asal bicara. Mengobatinya dari sakit ‘bicara asal’.
Beberapa tahun sesudah peristiwa itu.
Ali memberikan hadiah kepada nahkoda yang dulu menyelamatkannya yang
kini menjadi sahabatnya. Hadiah itu berupa lukisan sebuah kapal di
tengah samudra yang sedang diombang-ambingkan gelombang dan amukan
badai. Dua bait syair tertulis dibawah lukisan itu:
“Hanya benda-benda kosong yang terapung di atas air.
Kosongkan dirimu dari sifat-sifat kemanusiaan, dan engkau
akan mengapung di lautan penciptaan”.
Ini kisah Jalaluddin Rumi dalam bukunya Matsnawi. Saya mengutip kisah ini dari buku yang menghimpun cerita-cerita menakjubkan dari negeri sufi, Tales from the land of the Sufis (Cerita-cerita
Dari Negeri Sufi) karya Mojdeh Bayat dan Muhammad Ali Jamnia. Cerita
ini mengajarkan banyak hal berharga kepada kita. Seperti filosof dalam
cerita Rumi, kita berusaha bicara banyak tapi pembicaraan kita tidak
memberi manfaat dalam kehidupan. Dari sekian banyak penyakit yang
diderita manusia modern sekarang ini, salah satunya adalah banyak
bicara. Mereka bicara apa saja tanpa peduli pada siapa mereka bicara.
Mereka bicara terus-menrus tanpa perduli apakah orang lain membutuhkan
omongan mereka.
Selain dari makan dan minum, manusia
modern abad ini memperoleh kesenangan (pleasure) atau kepuasan
(satisfaction) dari asal bicara. Mereka mengkhotbahkan tentang apa yang
tidak mereka lakukan. Tidak saja asal bicara, tapi mereka juga bicara
asal. They talk too much about nothing. Dalam Al-Quran, Allah swt menunjukkan kemurkaan-Nya kepada orang-orang yang berbicara: “Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu membicarakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”
(QS. Al-Shaf: 3) Meskipun demikian, dalam Al-Quran juga disebutkan
bahwa kemampuan bicara adalah fitrah manusia yang diberikan oleh Allah
seperti dinyatakan dalam surat Al-Rahman: “Tuhan Yang Mahapemurah, Yang telah mengajarkan Al-Quran. Dia menciptakan manusia dan mengajarnya pandai berbicara”. (QS. Al-Rahman: 1-4).
Dalam peristiwa mikraj diceritakan ketika
Nabi Muhammad saw isra dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, beliau
melihat di pertengahan jalan ada seorang yang mengguntingi lidahnya
berulang kali. Malaikat Jibril menjelaskan, “Itulah tukang-tukang
ceramah yang suka memberikan nasihat kepada orang banyak tetapi ia tidak
mempraktikkan apa yang ia khotbahkan.”
Manfaat Diet Bicara
YANG dimaksud degan diet bicara adalah
tidak saja meninggalkan pembicaraan yang kotor, gosip, rumor, isu,
cacian, umpatan, hujatan, dan gunjingan akan tetapi memperluas atau
menambah jangkauan diet bicara kita untuk tidak membicarakan hal-hal
yang tidak perlu.
Faedah pertama dari mengurangi bicara adalah menyehatkan lahiriah dan batiniah kita. Menurut Imam Khomeini dalam Wasiat Sufi,
“anak-anak itu senang dengan permainan. Dunia mereka adalah dunia yang
dipenuhi dengan canda dan tawa. Mereka memandang dunia dengan penuh
ceria. Ia akan menghabiskan hidupnya dengan bermain. Kalau seorang anak
itu diam, berarti dia lagi sedang sakit”. Diamnya anak, bukan sekedar
menunjukkan bahwa dirinya sedang sakit tetapi ia juga memberi kesempatan
kepada orang lain (dokter) untuk bicara. Memberi kesempatan kepada
dokter untuk mendiagnosa dan melakukan pengobatan. Secara lahiriah
fisiknya terobati dan secara batiniah jiwanya tertolong.
Dinegri kita, setelah banyak orang
dibungkam untuk waktu yang lama, tiba-tiba banyak orang bicara apa saja,
kapan saja, dimana saja. Seperti anak-anak, mereka berbicara
terus-menerus. Mereka hanya bisa diam kalau lagi menderita sakit.
Dari beberapa penelitian ilmiah,
diketahui bahwa stres yang diderita kebanyakan orang disebabkan oleh
keinginan yang berlebihan. Orang yang banyak mengalami stres rentan
terhadap penyakit. Mereka mengalami gangguan pada sistem imun atau
kekebalan dalam tubuhnya. Orang stres mengalami intensitas emosi yang
tinggi (dan menyiksa): mudah tersinggung, berang, gelisah, jengkel, rasa
tertekan dan sebagainya; pendeknya, kehilangan rasa aman. Selain itu,
stres yang bersifat psikologis semacam ini selalu menlibatkan
gejala-gejala jasmaniah: tekanan darah tinggi (hipertensi), denyut nadi
dan detak jantung yang cepat, otot-otot yang menegang, telapak tangan
yang berkeringat.
Al-Quran menggambarkan situasi stres ini dengan
kalimat, “Dijadikan-Nya dadanya sesak dan sempit, seperti orang naik ke langit” (QS. Al-An’am 125). Dalam ayat lain Allah menyebut orang stres itu sebagai orang mengalami masyatan dhaka, kehidupan
yang sulit dan sempit (QS. Thaha 124). Orang stres adalah orang yang
kehilangan ketentraman hati atau ‘sakinah’. Ini menunjukkan bahwa
penyakit jiwa amat berpengaruh dalam menimbulkan gangguan fisik.
Sebaliknya, penyakit fisik dapat menimbulkan gangguan jiwa. Bila hari
ini Anda gelisah, risau, dan tanda-tanda stres lainnya, mengapa tidak
Anda tinjau kembali daftar keinginan Anda. Kurangilah keinginan Anda
(termasuk keinginan Anda untuk bicara tanpa jedah) jika Anda ingin hidup
sehat. Demikian pula sebaliknya, bilamana hidup Anda ingin dipenuhi
stres, tambalah terus keinginan Anda untuk terus bicara.
Dalam dunia sufi, terkenal hadis Nabi Saw: “Mutu qabla antamûtu.
Matilah kamu sebelum kamu mati”. Dalam kalimat itu disebut dua kali
kata “mati” untuk menunjukkan dua kematian. Kematian pada kata tamûtu adalah kematian alami, kematian yang kita kenal, al-maut al-thabi’i. Kematian pada kata perintah mûtu
adalah apa yang oleh Ibn ‘Arabi sebut sebagai kematian keinginan.
Inilah kematian mistikal, kematian ego. Sebenarnya kita memiliki hati
yang selalu mengajak kita berbicara. Salah satu pembicaraan hati adalah
mengecam perilaku-perilaku kita yang kurang baik. Jadi, kita memiliki
hati yang mengobati penyakit batiniah kita. Seperti disebutkan dalam
Al-Quran: “Sungguh aku bersumpah demi hati yang selalu mengecam.”
(QS. Al-Qiyamah: 2). Menurut Sayyid Haidar Amuli,hati kita bisa bicara
hanya kalau kita berkenan membunuh keinginan kita untuk terus bicara,
menahan mulut kita untuk tidak ngomong, itu berarti kita mengizinkan
hati kita untuk bicara lebih banyak.
Kali ini saya ingin katakan kepada Anda, “Diagnosalah
dirimu sebelum orang lain mendiagnosamu. Jadilah dokter bagi diri Anda
sendiri, sebelum orang lain menjdi dokter bagimu”. Karena dokter
lain hanya akan mendatangkan banyak mudharat ketimbang maslahat. Dengan
pertolongannya, bisa jadi Anda sembuh dari sakit yang kamu derita. Kamu
sehat kembali. Tapi kantong Anda yang makin menipis kemungkinan bisa
menjadi penyebab sakit yang kamu derita selanjutnya.
Kebiasaan kita yang asal bicara tanpa
henti telah melemahkan kemampuan kita untuk mendiagnosa penyakit yang
kita derita. Jika anda tidak dapat mengendalikan diri anda untuk diam,
maka alam akan memaksa anda diam untuk mendengarkan orang lain. Karena
kasih sayangNya, sebetulnya Tuhan menginginkan anda sehat. Sakit yang
kita derita sebenarnya adalah cara Tuhan untuk mendidik kita agar
belajar diam. Jika anda masih tidak mau diam maka jiwamu tidak dapat
diselamatkan (itu berarti bunuh diri).
Faedah kedua
dari diet bicara adalah kemampuan untuk menundukkan sikap superioritas.
Sikap yang menunjukkan Anda lebih tinggi atau lebih baik dari orang lain
karena status, kekayaan, kekuasaan, kemampuan intelektual, atau
kecantikan. Dalam masyarakat, konflik sering terjadi karena semua pihak
merasa berhak untuk bicara. Sikap merasa lebih (lebih mulia, lebih
pandai, lebih baik, dan lebih tinggi) telah menggiring kita untuk terus
bicara dan pada saat yang sama pembicaraan kita menyumbat pendengaran
kita.
Tidak jarang, pembicaraan kita lebih banyak mengandung kekerasan
ketimbang edukasi. Pembicaraan kita adalah pembicaraan yang provokatif
dan tidak mencerahkan. Superioritas akan melahirkan sikap defensif.
Karena itu, kita selalu saja membuat gaduh situasi. Kita lebih senang
menyerang kelompok lain – dengan menyudutkan dan mencemoohkannya – hanya
karena perbedaan metode dakwah (daripada perbedaan paham). Kemuliaan
kelompok kita terletak pada penghinaan kita terhadap kelompok lain yang
berbeda mazhab dengan kita. Seolah ingin kita berkata kepada seluruh
mahluk,”saksikanlah manusia dan jin, betapa hinanya mereka”. Banyak
orang kehilangan ketengan hidupnya karena banyaknya komentar yang
terucap dan dimuat di media massa. Mereka resah, cemas, takut, dan
bingung. Kita menjadi penyebab penderitaan banyak orang. Nabi Saw pernah
bersabda, “Orang Islam adalah orang yang orang lain selamat dari gangguan lidah dan tanggannya”. Dalam definisi Nabi, kita tidak termasuk orang Islam lagi.
Dalam sebuah hadis Shahih Bukhari,
Rasulullah saw bersabda, “Tidak dihitung mukmin, orang yang suka
melaknat orang lain, suka menyakiti hati orang lain, atau berkata
kotor.”
Hadis yang lain meriwayatkan Rasulullah
saw berkata, “Tidak akan lurus iman seseorang sebelum lurus hatinya dan
tidak akan lurus hati seseorang sebelum lurus lidahnya. Dan tidak pernah
masuk surga seseorang yang tetangganya tidak aman dari gangguan
lidahnya.” Orang yang lidahnya senang mengganggu tetangganya diharamkan
masuk surga. Di zaman Nabi, suatu hari dilaporkan kepada Nabi perihal
seorang perempuan yang kerjanya setiap hari berpuasa dan setiap malam
salat tahajud, tetapi perempuan ini sering menyakiti hati tetangganya
dengan lidahnya. Rasulullah saw mengatakan, “Dia berada di neraka.”
Laksana api, superioritas melahap apa
saja yang ada dihadapannya. Ia hanya dapat dihentikan dengan siraman air
yang menyejukkan. Air sejuk itu adalah kemampuan kita untuk
mendengarkan dengan baik atau rendah hati (tawadhu). Karena, orang yang
superioritas biasanya tidak mau mendegarkan. Mari dengarkan cerita Kang
Jalal berikut ini.
Alkisah, serombongan Quraisy datang
menemui Nabi Saw. Waktu itu beliau sedang berada di masjid. Salah
seorang dari mereka yang pandai bicara memberanikan diri untuk bertanya
perihal keberanian Nabi Saw menyebarkan agama baru. Agama yang belum
pernah dibawah siapapun sebelum Nabi Saw. Kemudian ia menasehati dan
meminta Nabi Saw agar menghentikan dakwahnya. Ia juga menjanjikan harta,
kekuasaan, dan kemuliaan kepada Rasulullah sekiranya beliau
menghentikan kegaiatan dakwahnya. Nabi saw mendengarkan dengan sabar.
Tidak sekalipun beliau memotong pembicaraannya, ketika Utbah berhenti,
Nabi bertanya, “Sudah selesaikah ya Abal Walid?” Sudah, kata Utbah. Nabi
membalas ucapan Utbah dengan membaca surat Fushilat hingga usai.
Sementara itu Utbah duduk mendengarkan
Nabi sampai menyelesaikan bacaannya. Ia kemabali kepada kaumnya. Utbah
menyeru kaumnya untuk mengimani apa yang disampaikan Nabi Saw. Paling
tidak mereka membiarkan Nabi Saw bicara. Orang-orang Quaraisy berang,
mereka berteriak marah. Orang Quraisy ternyata tidak mau mendengarkan
nasihat dari Utbah, seorang yang dihormati ditengah kaum Quraisy.
Peristiwa itu sudah lewat ratusan tahun
yang lalu. Betapa akhlak Nabi Saw digambarkan penuh santun. Nabi Saw
dengan sabar mendengarkan pendapat dan usul Utbah, seorang kafir
Quraisy. Kita banyak mendengar tentang akhlak Nabi Saw yang mau
menghormati pendapat orang lain. Yang mengherankan adalah akhlak kita
yang menisbahkan diri sebagai pengikut Nabi Saw. Bahkan dengan Utbah, si
kafir, kita kalah. Jangankan mendengarkan pendapat kaum kafir, seperti
Nabi Saw. Kita bahkan tidak mau mendengarkan pendapat saudara kita
sesama muslim. Layaknya pembesar-pembesar Qurais kita lebih senang
memilih To shoot it out! Membungkam dan memberantas sampai habis.
Manfaat ketiga
dari diet bicara adalah menghapus riya dalam pembicaraan. Riya dalam
pembicaraan adalah upaya merekayasa pembicaraan kita dengan tujuan
menimbulkan kesan bahwa kita orang saleh. Sudah terlalu sering kita
mengutip ayat-ayat kitab suci dalam pembicaraan kita (walau tidak
relevan dengan apa yang kita bicarakan) hanya untuk membentuk kesan
bahwa kita adalah orang saleh, orang alim, atau orang yang dekat dengan
Tuhan. Menurut Imam Al-Ghazali, termasuk kejahatan lidah (riya) bila
kita ingin menunjukkan kefasihan pembicaraan kita kemudian kita hias
pembicaraan kita dengan hal-hal yang tidak perlu, agar orang lebih
tertarik pada omongan kita dan memandang kita sebagai orang saleh. Untuk
menghapus riya dalam pembicaraan kita, kita harus belajar diam atau
paling tidak mengurangi bicara kita. Diet bicara dapat memotong kesengan
kita berbicara.
Dalam sebuah hadis, Rasulullah saw
bersabda, “Barangsiapa yang diam, dia pasti selamat.” Sementara pada
waktu lain, Rasulullah saw berkata, “Diam itu kearifan tetapi sangat
sedikit orang yang melakukannya.”
Bagaimana kalau kita mengatur penampakkan
kita bukan untuk dinilai sebagai orang saleh melainkan sebagai orang
pandai? Bagi sebagian orang hal itu dibolehkan asal dalam melakukannya
tidak berlebih-lebihan. Riya hanya berlaku dalam ibadat. Mengatur
pembicaraan agar tampak fasih, dalam sebuah wawancara kerja, supaya
diterima, tentu saja tidak merupakan dosa. Itu hanya tidak jujur. Meski
demikian, kita harus belajar jujur dalam mengungkapkan siapa diri kita
kepada orang lain. Sebisa mungkin, kita harus menghindari terlalu banyak
melakukan ‘penopengan’. Seperti kata Rumi dalam syairnya:
Para ilmuwan masa kini telah menghempaskan semua
pengorbanan diri dan kerendahan hati
Mereka sembunyikan hati dan kecerdikan
dalam permainan bahasa
Raja sejati adalah dia yang mengusai pikirannya
Bukan dia yang pikirannya menguasai dunia dan dirinya
Menurut Jalaluddin Rakhmat, “Kita tidak
menaruh kepercayaan kepada orang yang tidak jujur atau sering
menyembunyikan pikiran dan pendapatnya. Kita menaruh kepercayaan kepada
orang yang terbuka, atau tidak mempunyai pretensi untuk dibuat-buat.
Kita akan mencurigai orang yang melakukan impression management
atau katakanlah terlalu ‘halus’ sehingga terlalu amat sering
menyembunyikan isi hatinya atau membungkus pendapat dengan
lambang-lambang verbal dan nonverbal”. Orang yang suka bohong membuat
kita sukar menebak perilakunya. Ia sepenuhnya berada dalam kontrol ‘tirany of the should’. Sebaliknya,
kejujuran menyebabkan orang menjadi merdeka tanpa kendali orang lain
atau sesuatu yang berasal dari luar dirinya” sehingga perilakunya dapat
diduga (predictable). Ia adalah orang yang berhasil melepaskan diri dari
“tirani yang seharusnya”.
Manfaat lain
dari mengurangi bicara adalah memperoleh anugrah lebih dari Allah Azza
wa Jalla berupa kefasihan berbicara dan terbukanya pintu kegaiban. Tentu
Anda masih ingat tentang Maryam yang dikisahkan dalam Al-Quran. Karena
Maryam diet bicara, Tuhan menjadikan bayi dalam buaiannya berbicara
sangat jelas. Ketika Maryam kembali dari mihrabnya dengan menggendong
anaknya, bayi itulah yang menjawab hujatan banyak orang. Menurut Haydar
Amuli, bila kita diam sejenak, Tuhan akan memperdengarkan kepada kita
dengan sangat jernih suara hati nurani kita. Lewat hati yang merupakan
kediaman Tuhan dalam diri kita, Tuhan menyampaikan petunjuk-Nya. Karena
terlalu banyak bicara, kita tidak lagai sanggup mendengar suara Tuhan
dalam hati nurani kita. Kita menjadi Tuli karena kita terlalu bising.
Isyarat-isyarat gaib yang Tuhan berikan melalui hati kita terhalang oleh
riuhnya pembicaraan kita.
Nabi Zakariya as amat bahagia ketika
disampaikan kepadanya ihwal ia akan diakaruniai seorang putra. Zakaria
as hampir tidak percaya, “Bagaimana mungkin aku punya anak, ya Allah.
Padahal istriku mandul dan aku pun sudah tua renta.” (QS. Maryam: 8)
Lalu Tuhan menjawab, “Hal itu mudah bagi Allah. Bukankah kamu pun
asalnya tiada lalu Aku ciptakan kamu.” (QS. Maryam: 9) Zakaria masih
penasaran dan ia minta kepada Allah, “Apa tandanya, ya Allah?” Tuhan
menjawab, “Tandanya ialah kau harus puasa bicara. Kau tidak boleh
berkata kepada seorang manusia pun selama tiga hari berturut-turut.”
(QS. Maryam: 10)
Zakaria as diperintahkan Tuhan untuk
mensyukuri nikmat yang diterimanya dengan diet bicara. Ajaibnya, karena
keseringan bicara, kita sekarang ini boro-boro diet bicara kita bahkan
hampir tidak tahu bagaimana mensyukuri karuni Tuhan kepada kita.
0 komentar:
Posting Komentar