Rabu, 21 Oktober 2015

Puasa Bicara

Diet Bicara: Manfaat Kesehatan dan Keruhanian


Almin Jawad Moerteza

Para ilmuwan masa kini telah menghempaskan semua
pengorbanan diri dan kerendahan hati
Mereka sembunyikan hati dalam kecerdikan
dan permainan bahasa
Raja sejati adalah dia yang mengusai pikirannya
Bukan dia yang pikirannya menguasai dunia dan dirinya

Jalaluddin Rumi
Matsnawi-e ma’nawi


Karena merasa tahu segala hal, Ali, seorang filosof dengan bangga berbicara apa saja di hadapan siapa saja. Ia berkisah tanpa henti laksana burung beo yang ketika berkicau sulit dihentikan. Semua orang mengenalnya lantaran kedalaman dan keluasan ilmunya. Ia tahu banyak tentang sains dan seni. Sahabatnya, Sam, terganggu oleh riuh pembicaraannya. Ia ingin agar Ali sadar bahwa pengetahuan konseptualnya tentang dunia dimana tempat mereka tinggal dan dunia yang ia bicarakan tidaklah sesederhana yang ia bayangkan. 

Namun Ali, sang filosof yang ahli mengkotak katik otak, selalu saja mementahkan argumen-argumennya. Sam terpaku. Bibirnya berhenti berucap. Rona wajahnya muram. Ada kerasahan menyelimuti sebagaimana yang tampak pada kerutan di wajahnya. Rasanya, ia ingin mengembalikkan sahabatnya yang asyik dengan dunianya sendiri. Dunia delusi. Membawanya kepada kehidupan yang sesungguhnya.

Setelah berpikir keras, ia mengajak Ali agar ikut berlayar bersamanya. Di tengah laut, penyakit Ali kambuh. Kebiasaannya berceloteh kumat lagi. Ia berbicara tentang filsafat dengan para pelaut. Para awak kapal mendengarkan dengan sabar tanpa berkata sepatah katapun. Tapi tiba-tiba dari dalam kerumunan, seorang nahkoda menyela pembicaraan dan meminta Ali agar menghentikan ocehannya.

“Apakah engkau mengerti tentang filsafat?”, tanya Ali. “Sama sekali tidak”, jawab sang nahkoda. Ali menggeleng-gelengkan kepalanya seraya berkata, “Sayang sekali, sebab separuh hidupmu terbuang percuma karena tidak punya pengetahuan seperti ini”. Nahkoda itu pun membisu.

Ali masih saja berbicara. Dari mulutnya kata-kata mengucur deras. Ia menjelaskan bagaimana pemerintah semestinya mengatur negara. Ia berbicara bagaimana seharusnya pemerintah menangani berbagai persoalan yang mendera bangsa dan masyarakatnya.

To make the long story short – Sampai suatu malam, ketika berada di tengah lautan, dalam perjalanan pulang, badai datang bergulung-gulung disertai hujan lebat menghempaskan kapal. Kapal diremukkan oleh gelombang bak rumah yang hampir roboh karena goncangan tsunami. Sang kapten tidak sanggup mengendalikan kapal. Geledak kapal mulai dipenuhi air. Kapal perlahan-lahan mulai karam. Para awak panik dan ketakutan. Kepada awak, nahkoda berseru untuk bergegas meninggalkan kapal. Dalam keadaan bersiap untuk terjun, si nahkoda teringat pada Ali. Segera ia menerobos kerumunan orang mencari Ali.

Di pintu kabin Ali berdiri seorang diri. Nahkoda kapal menarik tangannya. “Cepatlah, kita harus meninggalkan kapal ini sesegera mungkin!”, pinta sang nahkoda. Ali tampak kebingungan. Melihat Ali kebingungan, nahkoda itu berteriak lagi, “Apa kau bisa berenang?”. “Tidak!”, jawab Ali.

“Sungguh sayang”, kata nahkoda kapal itu sambil menggelengkan kepalanya, “sebab seluruh hidupmu terbuang sia-sia karena tidak tahu ilmu berenang”.

Setelah badai reda, sebuah kapal yang lewat menolong mereka. Ali beserta nahkoda dan awak kapal lainnya selamat. Sejak saat itu Ali tak pernah lagi membangga-banggakan pengetahuannya. Badai di malam itu telah membuatnya membatin. Mengurangi kebiasaannya yang asal bicara. Mengobatinya dari sakit ‘bicara asal’.

Beberapa tahun sesudah peristiwa itu. Ali memberikan hadiah kepada nahkoda yang dulu menyelamatkannya yang kini menjadi sahabatnya. Hadiah itu berupa lukisan sebuah kapal di tengah samudra yang sedang diombang-ambingkan gelombang dan amukan badai. Dua bait syair tertulis dibawah lukisan itu:

“Hanya benda-benda kosong yang terapung di atas air.
Kosongkan dirimu dari sifat-sifat kemanusiaan, dan engkau
akan mengapung di lautan penciptaan”.

Ini kisah Jalaluddin Rumi dalam bukunya Matsnawi. Saya mengutip kisah ini dari buku yang menghimpun cerita-cerita menakjubkan dari negeri sufi, Tales from the land of the Sufis (Cerita-cerita Dari Negeri Sufi) karya Mojdeh Bayat dan Muhammad Ali Jamnia. Cerita ini mengajarkan banyak hal berharga kepada kita. Seperti filosof dalam cerita Rumi, kita berusaha bicara banyak tapi pembicaraan kita tidak memberi manfaat dalam kehidupan. Dari sekian banyak penyakit yang diderita manusia modern sekarang ini, salah satunya adalah banyak bicara. Mereka bicara apa saja tanpa peduli pada siapa mereka bicara. Mereka bicara terus-menrus tanpa perduli apakah orang lain membutuhkan omongan mereka.

Selain dari makan dan minum, manusia modern abad ini memperoleh kesenangan (pleasure) atau kepuasan (satisfaction) dari asal bicara. Mereka mengkhotbahkan tentang apa yang tidak mereka lakukan. Tidak saja asal bicara, tapi mereka juga bicara asal. They talk too much about nothing. Dalam Al-Quran, Allah swt menunjukkan kemurkaan-Nya kepada orang-orang yang berbicara: “Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu membicarakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Al-Shaf: 3) Meskipun demikian, dalam Al-Quran juga disebutkan bahwa kemampuan bicara adalah fitrah manusia yang diberikan oleh Allah seperti dinyatakan dalam surat Al-Rahman: “Tuhan Yang Mahapemurah, Yang telah mengajarkan Al-Quran. Dia menciptakan  manusia  dan  mengajarnya pandai berbicara”. (QS. Al-Rahman: 1-4).

Dalam peristiwa mikraj diceritakan ketika Nabi Muhammad saw isra dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, beliau melihat di pertengahan jalan ada seorang yang mengguntingi lidahnya berulang kali. Malaikat Jibril menjelaskan, “Itulah tukang-tukang ceramah yang suka memberikan nasihat kepada orang banyak tetapi ia tidak mempraktikkan apa yang ia khotbahkan.”

Manfaat Diet Bicara

YANG dimaksud degan diet bicara adalah tidak saja meninggalkan pembicaraan yang kotor, gosip, rumor, isu, cacian, umpatan, hujatan, dan gunjingan akan tetapi memperluas atau menambah jangkauan diet bicara kita untuk tidak membicarakan hal-hal yang tidak perlu.

Faedah pertama dari mengurangi bicara adalah menyehatkan lahiriah dan batiniah kita. Menurut Imam Khomeini dalam Wasiat Sufi, “anak-anak itu senang dengan permainan. Dunia mereka adalah dunia yang dipenuhi dengan canda dan tawa. Mereka memandang dunia dengan penuh ceria. Ia akan menghabiskan hidupnya dengan bermain. Kalau seorang anak itu diam, berarti dia lagi sedang sakit”. Diamnya anak, bukan sekedar menunjukkan bahwa dirinya sedang sakit tetapi ia juga memberi kesempatan kepada orang lain (dokter) untuk bicara. Memberi kesempatan kepada dokter untuk mendiagnosa dan melakukan pengobatan. Secara lahiriah fisiknya terobati dan secara batiniah jiwanya tertolong.

Dinegri kita, setelah banyak orang dibungkam untuk waktu yang lama, tiba-tiba banyak orang bicara apa saja, kapan saja, dimana saja. Seperti anak-anak, mereka berbicara terus-menerus. Mereka hanya bisa diam kalau lagi menderita sakit.

Dari beberapa penelitian ilmiah, diketahui bahwa stres yang diderita kebanyakan orang disebabkan oleh keinginan yang berlebihan. Orang yang banyak mengalami stres rentan terhadap penyakit. Mereka mengalami gangguan pada sistem imun atau kekebalan dalam tubuhnya. Orang stres mengalami intensitas emosi yang tinggi (dan menyiksa): mudah tersinggung, berang, gelisah, jengkel, rasa tertekan dan sebagainya; pendeknya, kehilangan rasa aman. Selain itu, stres yang bersifat psikologis semacam ini selalu menlibatkan gejala-gejala jasmaniah: tekanan darah tinggi (hipertensi), denyut nadi dan detak jantung yang cepat, otot-otot yang menegang, telapak tangan yang berkeringat.  

Al-Quran menggambarkan situasi stres ini dengan kalimat, “Dijadikan-Nya dadanya sesak dan sempit, seperti orang naik ke langit” (QS. Al-An’am 125). Dalam ayat lain Allah menyebut orang stres itu sebagai orang mengalami masyatan dhaka, kehidupan yang sulit dan sempit (QS. Thaha 124). Orang stres adalah orang yang kehilangan ketentraman hati atau ‘sakinah’. Ini menunjukkan bahwa penyakit jiwa amat berpengaruh dalam menimbulkan gangguan fisik. Sebaliknya, penyakit fisik dapat menimbulkan gangguan jiwa. Bila hari ini Anda gelisah, risau, dan tanda-tanda stres lainnya, mengapa tidak Anda tinjau kembali daftar keinginan Anda. Kurangilah keinginan Anda (termasuk keinginan Anda untuk bicara tanpa jedah) jika Anda ingin hidup sehat. Demikian pula sebaliknya, bilamana hidup Anda ingin dipenuhi stres, tambalah terus keinginan Anda untuk terus bicara.

Dalam dunia sufi, terkenal hadis Nabi Saw: “Mutu qabla antamûtu. Matilah kamu sebelum kamu mati”. Dalam kalimat itu disebut dua kali kata “mati” untuk menunjukkan dua kematian. Kematian pada kata tamûtu adalah kematian alami, kematian yang kita kenal, al-maut al-thabi’i. Kematian pada kata perintah mûtu adalah apa yang oleh Ibn ‘Arabi sebut sebagai kematian keinginan. Inilah kematian mistikal, kematian ego. Sebenarnya kita memiliki hati yang selalu mengajak kita berbicara. Salah satu pembicaraan hati adalah mengecam perilaku-perilaku kita yang kurang baik. Jadi, kita memiliki hati yang mengobati penyakit batiniah kita. Seperti disebutkan dalam Al-Quran: “Sungguh aku bersumpah demi hati yang selalu mengecam.” (QS. Al-Qiyamah: 2). Menurut Sayyid Haidar Amuli,hati kita bisa bicara hanya kalau kita berkenan membunuh keinginan kita untuk terus bicara, menahan mulut kita untuk tidak ngomong, itu berarti kita mengizinkan hati kita untuk bicara lebih banyak.

Kali ini saya ingin katakan kepada Anda, “Diagnosalah dirimu sebelum orang lain mendiagnosamu. Jadilah dokter bagi diri Anda sendiri, sebelum orang lain menjdi dokter bagimu”. Karena dokter lain hanya akan mendatangkan banyak mudharat ketimbang maslahat. Dengan pertolongannya, bisa jadi Anda sembuh dari sakit yang kamu derita. Kamu sehat kembali. Tapi kantong Anda yang makin menipis kemungkinan bisa menjadi penyebab sakit yang kamu derita selanjutnya.

Kebiasaan kita yang asal bicara tanpa henti telah melemahkan kemampuan kita untuk mendiagnosa penyakit yang kita derita. Jika anda tidak dapat mengendalikan diri anda untuk diam, maka alam akan memaksa anda diam untuk mendengarkan orang lain. Karena kasih sayangNya, sebetulnya Tuhan menginginkan anda sehat. Sakit yang kita derita sebenarnya adalah cara Tuhan untuk mendidik kita agar belajar diam. Jika anda masih tidak mau diam maka jiwamu tidak dapat diselamatkan (itu berarti bunuh diri).

Faedah kedua dari diet bicara adalah kemampuan untuk menundukkan sikap superioritas. Sikap yang menunjukkan Anda lebih tinggi atau lebih baik dari orang lain karena status, kekayaan, kekuasaan, kemampuan intelektual, atau kecantikan. Dalam masyarakat, konflik sering terjadi karena semua pihak merasa berhak untuk bicara. Sikap merasa lebih (lebih mulia, lebih pandai, lebih baik, dan lebih tinggi) telah menggiring kita untuk terus bicara dan pada saat yang sama pembicaraan kita menyumbat pendengaran kita. 

Tidak jarang, pembicaraan kita lebih banyak mengandung kekerasan ketimbang edukasi. Pembicaraan kita adalah pembicaraan yang provokatif dan tidak mencerahkan. Superioritas akan melahirkan sikap defensif. Karena itu, kita selalu saja membuat gaduh situasi. Kita lebih senang menyerang kelompok lain – dengan menyudutkan dan mencemoohkannya – hanya karena perbedaan metode dakwah (daripada perbedaan paham). Kemuliaan kelompok kita terletak pada penghinaan kita terhadap kelompok lain yang berbeda mazhab dengan kita. Seolah ingin kita berkata kepada seluruh mahluk,”saksikanlah manusia dan jin, betapa hinanya mereka”. Banyak orang kehilangan ketengan hidupnya karena banyaknya komentar yang terucap dan dimuat di media massa. Mereka resah, cemas, takut, dan bingung. Kita menjadi penyebab penderitaan banyak orang. Nabi Saw pernah bersabda, “Orang Islam adalah orang yang orang lain selamat dari gangguan lidah dan tanggannya”. Dalam definisi Nabi, kita tidak termasuk orang Islam lagi.

Dalam sebuah hadis Shahih Bukhari, Rasulullah saw bersabda, “Tidak dihitung mukmin, orang yang suka melaknat orang lain, suka menyakiti hati orang lain, atau berkata kotor.”

Hadis yang lain meriwayatkan Rasulullah saw berkata, “Tidak akan lurus iman seseorang sebelum lurus hatinya dan tidak akan lurus hati seseorang sebelum lurus lidahnya. Dan tidak pernah masuk surga seseorang yang tetangganya tidak aman dari gangguan lidahnya.” Orang yang lidahnya senang mengganggu tetangganya diharamkan masuk surga. Di zaman Nabi, suatu hari dilaporkan kepada Nabi perihal seorang perempuan yang kerjanya setiap hari berpuasa dan setiap malam salat tahajud, tetapi perempuan ini sering menyakiti hati tetangganya dengan lidahnya. Rasulullah saw mengatakan, “Dia berada di neraka.”

Laksana api, superioritas melahap apa saja yang ada dihadapannya. Ia hanya dapat dihentikan dengan siraman air yang menyejukkan. Air sejuk itu adalah kemampuan kita untuk mendengarkan dengan baik atau rendah hati (tawadhu). Karena, orang yang superioritas biasanya tidak mau mendegarkan. Mari dengarkan cerita Kang Jalal berikut ini.

Alkisah, serombongan Quraisy datang menemui Nabi Saw. Waktu itu beliau sedang berada di masjid. Salah seorang dari mereka yang pandai bicara memberanikan diri untuk bertanya perihal keberanian Nabi Saw menyebarkan agama baru. Agama yang belum pernah dibawah siapapun sebelum Nabi Saw. Kemudian ia menasehati dan meminta Nabi Saw agar menghentikan dakwahnya. Ia juga menjanjikan harta, kekuasaan, dan kemuliaan kepada Rasulullah sekiranya beliau menghentikan kegaiatan dakwahnya. Nabi saw mendengarkan dengan sabar. Tidak sekalipun beliau memotong pembicaraannya, ketika Utbah berhenti, Nabi bertanya, “Sudah selesaikah ya Abal Walid?” Sudah, kata Utbah. Nabi membalas ucapan Utbah dengan membaca surat Fushilat hingga usai.

Sementara itu Utbah duduk mendengarkan Nabi sampai menyelesaikan bacaannya. Ia kemabali kepada kaumnya. Utbah menyeru kaumnya untuk mengimani apa yang disampaikan Nabi Saw. Paling tidak mereka membiarkan Nabi Saw bicara. Orang-orang Quaraisy berang, mereka berteriak marah. Orang Quraisy ternyata tidak mau mendengarkan nasihat dari Utbah, seorang yang dihormati ditengah kaum Quraisy.

Peristiwa itu sudah lewat ratusan tahun yang lalu. Betapa akhlak Nabi Saw digambarkan penuh santun. Nabi Saw dengan sabar mendengarkan pendapat dan usul Utbah, seorang kafir Quraisy. Kita banyak mendengar tentang akhlak Nabi Saw yang mau menghormati pendapat orang lain. Yang mengherankan adalah akhlak kita yang menisbahkan diri sebagai pengikut Nabi Saw. Bahkan dengan Utbah, si kafir, kita kalah. Jangankan mendengarkan pendapat kaum kafir, seperti Nabi Saw. Kita bahkan tidak mau mendengarkan pendapat saudara kita sesama muslim. Layaknya pembesar-pembesar Qurais kita lebih senang memilih To shoot it out! Membungkam dan memberantas sampai habis.

Manfaat ketiga dari diet bicara adalah menghapus riya dalam pembicaraan. Riya dalam pembicaraan adalah upaya merekayasa pembicaraan kita dengan tujuan menimbulkan kesan bahwa kita orang saleh. Sudah terlalu sering kita mengutip ayat-ayat kitab suci dalam pembicaraan kita (walau tidak relevan dengan apa yang kita bicarakan) hanya untuk membentuk kesan bahwa kita adalah orang saleh, orang alim, atau orang yang dekat dengan Tuhan. Menurut Imam Al-Ghazali, termasuk kejahatan lidah (riya) bila kita ingin menunjukkan kefasihan pembicaraan kita kemudian kita hias pembicaraan kita dengan hal-hal yang tidak perlu, agar orang lebih tertarik pada omongan kita dan memandang kita sebagai orang saleh. Untuk menghapus riya dalam pembicaraan kita, kita harus belajar diam atau paling tidak mengurangi bicara kita. Diet bicara dapat memotong kesengan kita berbicara.

Dalam sebuah hadis, Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang diam, dia pasti selamat.” Sementara pada waktu lain, Rasulullah saw berkata, “Diam itu kearifan tetapi sangat sedikit orang yang melakukannya.”

Bagaimana kalau kita mengatur penampakkan kita bukan untuk dinilai sebagai orang saleh melainkan sebagai orang pandai? Bagi sebagian orang hal itu dibolehkan asal dalam melakukannya tidak berlebih-lebihan. Riya hanya berlaku dalam ibadat. Mengatur pembicaraan agar tampak fasih, dalam sebuah wawancara kerja, supaya diterima, tentu saja tidak merupakan dosa. Itu hanya tidak jujur. Meski demikian, kita harus belajar jujur dalam mengungkapkan siapa diri kita kepada orang lain. Sebisa mungkin, kita harus menghindari terlalu banyak melakukan ‘penopengan’. Seperti kata Rumi dalam syairnya:

Para ilmuwan masa kini telah menghempaskan semua
pengorbanan diri dan kerendahan hati
Mereka sembunyikan hati dan kecerdikan
dalam permainan bahasa
Raja sejati adalah dia yang mengusai pikirannya
Bukan dia yang pikirannya menguasai dunia dan dirinya

Menurut Jalaluddin Rakhmat, “Kita tidak menaruh kepercayaan kepada orang yang tidak jujur atau sering menyembunyikan pikiran dan pendapatnya. Kita menaruh kepercayaan kepada orang yang terbuka, atau tidak mempunyai pretensi untuk dibuat-buat. Kita akan mencurigai orang yang melakukan impression management atau katakanlah terlalu ‘halus’ sehingga terlalu amat sering menyembunyikan isi hatinya atau membungkus pendapat dengan lambang-lambang verbal dan nonverbal”. Orang yang suka bohong membuat kita sukar menebak perilakunya. Ia sepenuhnya berada dalam kontrol ‘tirany of the should’. Sebaliknya, kejujuran menyebabkan orang menjadi merdeka tanpa kendali orang lain atau sesuatu yang berasal dari luar dirinya” sehingga perilakunya dapat diduga (predictable). Ia adalah orang yang berhasil melepaskan diri dari “tirani yang seharusnya”.

Manfaat lain dari mengurangi bicara adalah memperoleh anugrah lebih dari Allah Azza wa Jalla berupa kefasihan berbicara dan terbukanya pintu kegaiban. Tentu Anda masih ingat tentang Maryam yang dikisahkan dalam Al-Quran. Karena Maryam diet bicara, Tuhan menjadikan bayi dalam buaiannya berbicara sangat jelas. Ketika Maryam kembali dari mihrabnya dengan menggendong anaknya, bayi itulah yang menjawab hujatan banyak orang. Menurut Haydar Amuli, bila kita diam sejenak, Tuhan akan memperdengarkan kepada kita dengan sangat jernih suara hati nurani kita. Lewat hati yang merupakan kediaman Tuhan dalam diri kita, Tuhan menyampaikan petunjuk-Nya. Karena terlalu banyak bicara, kita tidak lagai sanggup mendengar suara Tuhan dalam hati nurani kita. Kita menjadi Tuli karena kita terlalu bising. Isyarat-isyarat gaib yang Tuhan berikan melalui hati kita terhalang oleh riuhnya pembicaraan kita.

Nabi Zakariya as amat bahagia ketika disampaikan kepadanya ihwal ia akan diakaruniai seorang putra. Zakaria as hampir tidak percaya, “Bagaimana mungkin aku punya anak, ya Allah. Padahal istriku mandul dan aku pun sudah tua renta.” (QS. Maryam: 8) Lalu Tuhan menjawab, “Hal itu mudah bagi Allah. Bukankah kamu pun asalnya tiada lalu Aku ciptakan kamu.” (QS. Maryam: 9) Zakaria masih penasaran dan ia minta kepada Allah, “Apa tandanya, ya Allah?” Tuhan menjawab, “Tandanya ialah kau harus puasa bicara. Kau tidak boleh berkata kepada seorang manusia pun selama tiga hari berturut-turut.” (QS. Maryam: 10)

Zakaria as diperintahkan Tuhan untuk mensyukuri nikmat yang diterimanya dengan diet bicara. Ajaibnya, karena keseringan bicara, kita sekarang ini boro-boro diet bicara kita bahkan hampir tidak tahu bagaimana mensyukuri karuni Tuhan kepada kita.


0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Press Release Distribution