Padahal keinginannya sederhana saja, mencari rizki yang halal dan thayyib. Apalagi sejak ia mengenal kajian keislaman secara rutin, konsep prestasi ibadah, kenyamanan hati, juga halal haram. Dan saat lowongan kerja yang tersedia untuk jurusannya mayoritas beresiko secara syar’i kalau ada yang ‘aman’ pun jauh di luar kota, baik ikhtilath dengan lawan jenis maupun kehalalan usaha perusahaan perusahaan itu, dia memilih mundur. “aku tidak sanggup. Apalagi aku adalah tipe lelaki rapuh dan mudah tergoda,” begitu dia memberi penjelasan.
Tapi itu jelas bukan alasan yang diinginkan Bapak. Ungkapan kekecewaan beliau yang tidak pernah selesai membanding-bandingkannya dengan saudara-saudaranya yang lain tentu saja membuatnya risi. Berat rasanya mengakui tuduhan itu, sebab ia memang tidak merasakan hal yang sama; gagal dalam hidup, juga belum berbakti kepada orang tua.
“Kalau bakti seorang anak kepada orang tua hanya dinilai dari materi yang diberikan, mungkin bukan saya orangnya,” begitu dia pernah berargumen. Bapak menamparnya karena tersinggung, kemudian memalingkan muka. Suara-suara sejenis yang mirip dengungan disertai tatapan-tatapan mata aneh yang merendahkan itu pernah sangat membuatnya sakit hati. “Biarlah, hanya Allah yang tahu apa yang aku inginkan dalam hidup ini,” dia bergumam. Lambat laun, Alhamdulillah, dia kebal juga. bagaimanapun, bukankah dia telah menjatuhkan pilihan?
Bertahun kemudian Bapak terbujur di pembaringan. Stroke yang beliau derita membuat beliau tidak bisa berbuat apa-apa. Berbaring sepanjang hari di atas kasur dalam sunyi berkepanjangan. Tampak mata coklat beliau sering sembab karena air mata. Anak-anak yang sukses itu tidak bisa menemani beliau dalam kesendirian. Kadang hanya berkirim wesel dan sejumlah hadiah, padahal bukan itu yang beliau butuhkan.
Mata coklat itu pulalah yang kini sering bersimbah air mata. Saat laki-laki biasa, anaknya yang gagal, dengan telaten melayaninya. Menyuapi, memandikan, membersihkan kotoran di kasurnya, bahkan membacakan al-Qur’an di sisinya. Bapak menangis, mata beliau seolah mengakui kesalahannya selama ini. Anaknya yang dianggapnya paling gagal, terbukti yang paling berbakti. Dimana tumpukan materi itu sekarang?
Anak laki-laki itu hanyalah lelaki sederhana. Tapi dia tidak pernah merasa kecewa dalam hidupnya. Apalagi gagal!
Oleh Abuya, diambil dari Mir’ah buletin ar-risalah
0 komentar:
Posting Komentar