Tradisi Tunangan dalam Pandangan Islam
Di zaman sekarang ini tidak asing lagi bagi kita bila mendengar
istilah Tunangan. Istilah tersebut hampir dikenal seluruh kalangan dan
lingkungan, dari kalangan orang biasa sampai kalangan orang luar biasa,
dari lingkungan kota sampai lingkungan desa.
Kemudian apa sih tunangan itu?
Sebenarnya dalam Islam pun istilah tersebut telah dikenal, namun dengan istilah lain, yaitu Khitbah. Hanya saja istilah Tunangan tersebut mempunyai qoyyid atau ketentuan yang menjadikan Khitbah yang dijelaskan oleh Syari’at dengan Tunangan seakan-akan berbeda. Pasalnya Tunangan itu sendiri mengharuskan kedua pasangan untuk saling memakaikan cincin tunangan sebagai tanda ikatan Tunangan yang disebut juga dengan istilah tukar cincin. Sedangkan menurut Syari’at, Khitbah tersebut tidak menuntut hal demikian, bahkan saling memakaikan cincin yang tentunya di antara kedua pasangan tersebut memegang tangan pasangannya adalah sesuatu yang dilarang Syari’at; karena diantara keduanya belum sah dalam sebuah ikatan pernikahan. Dan laki-laki yang mengkhitbah seorang perempuan hanya diperbolehkan melihat dua anggota dari seorang perempuan yang dikhitbahnya, yaitu muka dan kedua telapak tangan saja.
Di dalam istilah jawa, istilah Tunangan disebut juga dengan istilah
“Tetalen”. Istilah tersebut diambil dari kata “Tali”; karena seseorang
yang telah terlibat dengan istilah tersebut seakan-akan mereka berada
dalam sebuah tali yang mengikat mereka. Kedua pasangan Tetalen tidak
bisa sesuka hati memilih atau menerima orang lain ke jenjang pernikahan,
kecuali dengan seseorang yang mempunyai ikatan tersebut dan selagi
ikatan tersebut belum terputus atau dilepas atas kesepakatan keduanya.
Sedangkan di kalangan anak muda zaman sekarang, hubungan khusus antar
lawan jenis yang resmi menurut mereka dengan artian kedua pasangan
tersebut mengakuinya dikelompokkan ke dalam tiga katagori, yaitu:
1. Pacar, yaitu bila salah satu dari pasangan tersebut mengucapkan kata-kata cinta yang mungkin murni dari hati atau sekedar gombal atau permintaan menjadi pacar yang menuntut jawaban iya atau tdak, dan yang satunya menerima dengan jawaban iya atau dengan ungkapan yang searti dengan ungkapan tersebut.
2. Tunangan, yaitu apabila kedua pasangan tersebut saling memakaikan cincin tunanagan, baik secara resmi dengan mengadakan acara khusus dan melibatkan kedua keluarga pasangan atau hanya sekedar perjanjian diantara keduanya saja.
3. Suami-Istri, yaitu apabila kedua pasangan tersebut sudah berada dalam ikatan pernikahan yang sah.
Di samping tiga katagori tersebut, baru-baru ini muncul yang namanya
“Teman tapi mesra” dan “Kakak adik ketemu gede”. seorang laki-laki
menganggap seorang perempuan sebagai adik atau sebaliknya, atau
menganggap teman tapi melebihi dari batas teman yang wajar. Diantara
faktor keduanya adalah timbul dari perasaan tidak enak kepada seseorang
yang ia tolak cintanya, dengan tujuan supaya tidak menyakiti hati orang
tersebut, atau karena rasa kagum pada seseorang dan menginginkan orang
tersebut menjadi kakak atau adik angkatnya. Bahkan tidak sedikit dalam
kasus seperti ini mereka yang tersandung cinta kepada adik angkatnya
ketika telah beranjak dewasa.
PENGERTIAN KHITBAH
Khitbah atau Pinangan menurut Syari’at adalah langkah penetapan atau
penentuan sebelum pernikahan. Bagi laki-laki yang akan meminang seorang
perempuan harus dalam ketenanagan dan kemantapan untuk menentukan
pilihannya dari semua sisi sehingga setelah meminang tidak terlintas
dalam benaknya untuk membatalkan pinangan dan mengundur pernikahannya
tanpa ada sebab; karena hal tersebut menyakiti diri perempuan yang di
pinang, merobek perasaan dan melukai kemuliannya dengan sesuatau yang
tidak di ridloi Agama dan tidak sesuai dengan budi pekerti yang luhur.
Pinangan tersebut adalah sesuatau yang timbul dari seorang laki-laki
yang meminang ketika berniat untuk menikah dengan menjelaskan maksudnya,
baik dirinya sendiri atau melalui perantaraan seseorang yang dipercaya
dari keluarga atau saudaranya.
HUKUM MEMINANG PEREMPUAN YANG TELAH DI PINANG
Ketika seorang perempuan telah dipinang, maka ia telah menutup diri
dari pinangan orang lain, dalam artian tidak satupun seseorang yang
diperbolehkan Syari’at untuk meminangnya; karena hal tersebut mejadikan
terputusnya ikatan, menumbuhkan kebencian dan permusuhan. Seorang muslim
tidak diperkenankan menyaingi dan merebut pinangan yang telah didahului
saudara seislamnya kecuali saudaranya telah membatalkan pinangan
tersebut dengan tanpa ragu. Ketika ia ragu dalam memutus pinangan, maka
wajib meminta izin padanya atas diperbolehkan atau tidaknya meminang
pinangan yang ia masih ragu untuk memutusnya.
Sebagaimana Rosulullah melarang hal tersebut dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar R.A, Rosulullah SAW bersabda :
“tidak di perbolehkan bagi seorang laki-laki meminang seorang wanita
yang telah dipinang saudaranya sehingga pinangannya itu dibatalkan
sebelumnya atau seorang yang meminang member izin padanya.”(Au kama
Qol).
Larangan yang dijelaskan hadits di atas menunjukan terhadap larangan
yang berunsur “Haram” menurut pendapat Jumhurul Fuqoha (mayoritas
Ulama), di antaranya adalah Imam Syafi’I RA. Beliau berkata: “Arti
hadits tersebut adalah ketika seorang laki-laki telah meminang seorang
perempuan yang telah rela dan cenderung menerima pinangannya, maka tidak
diperbolehkan kepada siapapun untuk meminangnya”.
Adapun ketika seorang perempuan tersebut belum diketahui kerelaan dan kecenderungan menerima pinangan tersebut, maka hukum meminangnya diperbolehkan, dan di antara tanda-tanda dari kerelaan perempuan yang Perawan (Bikr) adalah diamnya, dan Janda (Tsayyib) dengan ucapan iya atau sejenisnya.
HUKUM PEREMPUAN YANG TELAH DI PINANG ADALAH HUKUM PEREMPUAN LAIN (AJNABIYAH)
Hal ini adalah tatak rama Islam dalam sesuatau yang berhubungan
dengan diperbolehkannya melihat perempuan yang akan dipinang, namun
kebanyakan orang zaman sekarng beranggapan bahwa perempuan yang
dipinangnya atau disebut dengan tunangannya sebagai seseorang yang
mutlak ia miliki, padahal anggapan tersebut salah; karena Tunangan atau
seorang yang telah meminang atau yang telah dipinang itu masih dalam
hukum orang lain, masih diharamkan apa saja yang diharamkan terhadap
orang lain sebelum resepsi pernikannya dilaksanakan dengan sempurna.
MERAMAIKAN PERNIKAHAN DAN MENYAMARKAN PINANGAN
Dari ungkapan di atas, agama Islam yang lurus menganjurkan untuk
menyembunyikan atau tidak meramaikan pinanagan, dalam artian perayaannya
dalam batas-batas yang lebih sempit dengan hanya melibatkan anggota
keluarga saja tanpa mengadakan acara-acara seperti nasyid dll.
SYABAK
Ada istilah lain dalam bahasa Arab yang sama arti dengan tunangan
yaitu “Syabak”, dan hadiyah yang diberikan ketika tunangan baik
berbentuk cincin tunangan atau lainnya disebut dengan “Syabkah”. Hal
tersebut adalah sesuatu yang baru-baru muncul dan marak di kalangan
masyarakat umum di zaman sekarang ini. mereka menambah beban terhadap
seseorang yang hendak menikah bahkan mereka bermahal-mahalan dalam
masalah syabkah (Hadiah Tunanangan) dan hampir samapi mendahulukan
mahar.
Demikian itu bukanlah dari urusan Islam sedikitpun , hanya saja Islam tidak melarang hal tersebut selagi masih dalam batas-batas kemampuan; karena Syari’at bisa menganggap ‘urf (konvensi) atau kebiasaan selagi tidak bertentangan dengan nas-nas Syari’at tersebut.
Tapi harus diperhatikan bahwa seorang laki-laki diharamkan memakai
sesuatu yang terbuat dari emas baik berbentuk cincin atau yang lainnya.
Cukuplah cincin tunangan yang terbuat dari emas dipakai Tunangan
Perempuan saja atau Tunangan laki-laki memakai cincin tunangan selain
emas, seperti perak, tembaga dan lain lain tanpa saling memakaikan
cincin tunangan tersebut; karena keduanya belumlah halal dalam ikatan
pernikahan yang sah.
MEMBATALKAN TUNANGAN
Kadang-kadang setelah bertunagan, terjadi sesuatu yang mendatangkan
terhadap batalnya tunangan. Dalam hal ini mengembalikan syabkah ( hadiah
tunangan) secara utuh itu hukumnya wajib menurut Syari’at. Adapun
hadiah-hadiah yang bersifat tidak langgeng seperti makanan, maka
hukumnya tidak wajib diganti, sedangkan sesuatu yang bersifat langgeng
seperti jam tangan, cincin emas dan gelang, maka wajib dikembalikan
apabila pembatalan tunangan tersebut diminta dari pihak perempuan. Jika
pembtalan tunangan tersebut dari pihak laki-laki atau disebabkan
kematian maka tidak wajib mengembalikannya.
Tetapi sebagai orang yang bermoral tinggi dan bermartabat luhur,
hendaknya kita tidak pernah meminta kembali sesuatu sesuatu yang telah
kita berikan kepada seseorang; karena seorang yang meminta pemberiannya
kembali sama halnya dengan anjing yang memakan utah-utahannya sendiri,
sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Nabi SAW.
Wallahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar