Hal-hal Yang Membuat Anda Wajib Menampar Diri Sendiri
Terjebak dalam stagnasi dan pemikiran diri sendiri terkadang menjerumuskan kita dalam kemunduran.
Mari mencela diri sendiri
Sebut saja, saya dan Anda sedang bermain dalam lakon cerita "serba sok tahu". Tidak tahu dengan Anda, tapi setiap akhir pekan saya selalu
menyempatkan diri untuk menikmati semilir angin di balkon rumah atau
pelataran teras. Gesekan daun-daun yang tertiup angin, burung-burung
yang entah mengapa begitu asyik saling berkicau bersahutan satu sama
lain adalah kenikmatan tersendiri bagi saya. Di waktu itulah biasanya
saya menuangkan buah pikiran saya sendiri yang jauh dari kesibukan saya
mengisi artikel-artikel dalam website ini. Minggu lalu saya cuap-cuap
soal bagaimana seseorang harus mencintai kegagalannya sendiri, lain lagi
akhir pekan kali ini. Bukan mendapat inspirasi dari keluarga, teman,
sahabat, atau berita di media massa, tapi kali ini saya mencoba
mengilhami diri saya sendiri untuk berkaca.
Jika boleh kembali bersikap sok tahu, dalam tutur bahasa saya mungkin
stagnasi adalah kata yang tepat. Ya, situasi yang menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia memiliki arti suatu keadaan yang terhenti. Menjabarkan
stagnasi dalam diri saya sendiri berarti menguak kejujuran yang memang
akan sulit dilakukan. Tapi saya pun memang sedang merasakan hal itu,
seolah saya sedang terjebak dalam keadaan yang seharusnya maju tapi
rupanya kemacetan menghambat di depan mata. Anda pun mungkin pernah atau
sering mengalami hal yang sedang saya rasakan ini. Ada yang bilang ini
adalah rasa jenuh, tapi ada juga yang berkilah ini akibat tidak
mensyukuri apa yang sudah saya miliki saat ini.
Begitu banyak kejadian yang mewarnai kehidupan saya dan orang-orang di
sekitar saya seminggu belakangan ini. Mulai dari kasus anak di bawah
umur yang terlibat kecelakaan fatal, dagelan masyarakat yang memperolok
seseorang entah siapa tiba-tiba muncul dengan gaya bahasa Inggrisnya
yang ajaib, sampai kita lupa, Rupiah carut-marut dilibas mata uang
asing. Jujur, saya pun dibuat lupa dengan hal-hal yang sebetulnya lebih urgent
untuk saya pikirkan karena terdistraksi oleh hal-hal tadi, bagaimana
dengan Anda sendiri? Teman saya di kantor berkelakar biarlah wajah si
Mr. X itu mondar-mandir dalam Path sebagai hiburan untuk membunuh
kejenuhan. Tapi dalam hati saya berkelakar balik, bukan dia yang harus
ditertawakan, tapi diri saya sendiri. Saya menertawakan diri sendiri
yang terjebak dalam situasi berhenti mendadak yang saya pun tidak tahu
penyebabnya apa.
Lantas saya mencoba menelaah sendiri apa yang sebetulnya sedang saya
hadapi. Kemungkinannya dua, entah saya sedang tidak berpijak di Bumi,
atau terlalu menikmati comfort zone saya saat ini. Sudah lelah rasanya saya menceritakan apa yang saya rasakan pada orang-orang, karena dalam kesendirian toh saya kembali berpaling dalam kebuntuan yang tetap memerangkap saya.
The sky has no limit
Dengan jujur saya katakan mungkin inilah kesalahan pertama yang
menjebak saya. Saya mungkin terlalu sering menatap langit hingga lupa
jika saya berdiri di atas tanah. Idiom tadi memang baik untuk
memacu siapa pun yang ingin meraih cita-citanya, tapi tidak untuk
selamanya. Jika Anda begitu terpukau untuk selalu menatap ke atas, maka
saat itulah Anda wajib untuk menampar diri sendiri. Maksudnya? Apalagi
jika bukan untuk membuat Anda sadar, menatap lurus ke depan dan
sesekali melihat ke bawah akan mengembalikan kemanusiaan seseorang. Berkata don't dream and hope too much
itu terkadang baik jika Anda terlanjur overdosis dengan segala hal yang
sifatnya di atas sementara Anda terlalu jauh untuk menggapainya.
Menyadarkan diri sendiri itu lebih berharga sebelum orang lain yang
menampar Anda, literally...
The truth is incontrovertible
Fakta itu sifatnya manipulatif, tapi kebenaran akan lebih pahit rasanya.
Setidaknya itu yang saya rasakan beberapa waktu belakangan ini. Masalah
yang saya hadapi memang secara garis besar berhubungan dengan rasa
penerimaan saya pada suatu kebenaran, yang mana kebenaran itu tidak
sesuai dengan yang saya harapkan.
Contohnya saja, soal finansial,
kebenaran yang harus saya terima adalah keborosan nyaris membuat saya
jatuh dalam kebangkrutan. Di sini pun saya harus menampar diri sendiri,
mengapa tetap mempertahankan sisi impulsif dan cenderung melupakan masa
depan. Tidak tahu dengan Anda, mungkin Anda masih menikmati kegalauan
setelah putus dengan kekasih tercinta? Coba tampar diri Anda, supaya
mata Anda terbuka kalau life must go on. Bosan dengan kata-kata
itu? Terserah. Tidak ada kata berhenti sebetulnya di dunia ini, kecuali
kita sendiri yang membuatnya menjadi stagnan atau... takdir Tuhan
memanggil kita kembali dalam pangkuanNya.
Arrogance has nothing to do with greatness
Siapa yang setuju dengan ungkapan di atas? No one. Bahkan ada
seorang teman saya yang tetap percaya sifat arogan bisa menyelamatkan
kehidupannya dalam menghadapi segala tantangan. Sounds true, maybe yes, maybe no.
Saya pun tidak memungkiri jika saya memiliki kadar arogan dalam diri
yang terbilang "cukup mengkhawatirkan", di luar apa karena ini pengaruh
latar belakang keluarga, tapi saya menyadari sisi arogan saya beberapa
kali justru mengundang protes dari orang-orang terdekat. "Loe kenapa sih kadang belagu banget, cara loe ngelihat orang itu somehow kayak ngerendahin, please stop it!". Namanya dikritik, pasti yang keluar adalah bantahan. Wajar bukan?
Tapi lama-lama saya merenung jika sifat arogan yang mengendap dalam
diri saya itu tidak akan menghasilkan apapun. Saya manusia, orang lain
pun manusia. Saya makan nasi, orang-orang di sekeliling saya pun juga
makan nasi. Untuk apa menyombongkan diri, kecuali saya makanan saya itu
emas atau batu permata. Satu yang saya sadari, arogansi sama sekali
tidak akan memberikan keberuntungan apapun bagi diri ini. Mari menampar
diri lagi untuk yang satu ini!
Tiga hal tadi setidaknya dapat memberi kesadaran tersendiri bagi diri
saya. Jika Anda mempunyai sederet pemikiran lain yang dapat membuka mata
Anda, silakan saja. Tapi celotehan ini bukan gurauan, memang faktanya
bisa terjadi pada siapa saja dan kapan saja. Di titik terakhirnya,
semuanya kembali pada individu masing-masing, karena tentu saja
perspektif saya ini mungkin berbeda dengan Anda. Secara garis besar, apa
yang saya maksud dengan menampar diri sendiri itu semata-mata demi
kebaikan.
Saya percaya, rasa sakit akan mendatangkan kesembuhan, dan rasa kecewa akan memberi kelapangan jiwa pada akhirnya...
0 komentar:
Posting Komentar