Psikologi Positif Ibu
Coba sama-sama kita renungkan berapa banyak dalam sehari kita
mengucapkan kata-kata atau kalimat gerutuan, umpatan, atau sinis
terhadap sesuatu yang kadang berkaitan dengan diri kita atau malah
sering tidak berkaitan langsung dengan kita. Kemudian hayati dengan
mendalam, energi apa yang muncul pada saat itu?
Kemudian, renungkan kalimat-kalimat
baik apa saja yang sering mengiringi keseharian kita? Kemudian telusuri,
energi apa yang muncul bersamaan dengan kalimat baik tersebut? Apabila
kita mampu masuk ke dalam relung hati, maka akan dirasakan perbedaan
yang jauh diantara keduanya. Energi negatif akan tumbuh dan berkembang
bersamaan dengan kalimat-kalimat negatif. Sebaliknya, energi positif
yang muncul bersama kalimat-kalimat positif akan menyebar ke seluruh
tubuh disertai dengan pikiran dan perasaan positif dan akan terwujud
dalam tindakan atau perilaku yang positif.
Martin Seligman, yang semula mengawali
karirnya sebagai seorang psikolog klinis, melakukan serangkaian
penelitian yang akhirnya melahirkan pandangan baru di bidang psikologi,
yang jauh berbeda dengan pandangan psikologi sebelumnya. Ketika itu,
Seligman menemukan bahwa banyak orang yang telah ‘mati’; secara fisik ia
hidup tapi secara jiwa ia ‘kering’; banyak orang yang telah kehilangan
kebahagiaan, meskipun memiliki banyak kelebihan. Salah satu tulisan
mengenai penelitiannya dituangkan dalam bukunya yang berjudul Authentic
Happiness. Dalam mazhab ini, yang disebut sebagai Psikologi Positif,
manusia bukan lagi sebagai sarang penyakit jiwa ataupun mental,
melainkan manusia sebagai ladang keutamaan dan kelebihan. Secara
singkat, psikologi ini mengajarkan tentang hal-hal yang membuat manusia
bahagia. Psikologi selayaknya bukan saja untuk menyembuhkan tapi juga
membuat hidup manusia menjadi lebih bahagia.
Dalam psikologi positif, bukan berarti
menafikan hal-hal yang negatif, bukan pula membutakan diri terhadap
kelemahan serta bukan tidak mengakui kekurangan. Namun, dalam psikologi
positif manusia diajak untuk lebih berupaya menghargai apa yang ada pada
diri kita, mengambil hikmah dari setiap kejadian yang kita lalui,
diajak untuk lebih fokus pada bagian yang terbaik dari diri kita dan
menjadikannya sebagai pijakan dalam melakukan perubahan dalam kehidupan.
Pandangan ini meyakini bahwa dengan demikian manusia akan lebih
bersikap optimis dan bergerak maju untuk bisa mencapai apa yang
diinginkannya. Sehingga ketika manusia berada dalam kondisi keterpurukan
sekalipun, dia akan pasti mampu memanfaatkan kemampuan yang ada.
Mari kita mencoba mengambil beberapa
perumpamaan. Mengapa Siti Khadidjah bisa menjadi sandaran Rasulullah
SWT pada masa awal ke-Nabian? Mengapa Cut Nya’ Dhien mampu memimpin
rakyatnya meski harus melalui perjuangan panjang di hutan belantara?
Mengapa Ibu Teresa dapat membuka mata para petinggi dunia untuk
memperhatikan kaum papa? Mungkin saja mereka adalah manusia istimewa
pilihan Tuhan atau mereka termasuk sedikit manusia yang memang
memperoleh anugerah kharisma luar biasa. Yang pasti, keberadaan mereka
mampu membawa inspirasi dan kekuatan yang begitu besar terhadap orang
lain. Mereka tidak mengeluh, menggerutu serta melihat kelemahan,
melainkan dengan bijak mampu menggali kekuatan sumber daya yang ada.
Dengan kekuatan kata-kata, mereka
menyentuh hati, menggugah kesadaran, dan memberi pencerahan kepada
orang-orang sekitarnya. Dengan kekuatan kata-kata, mereka mewujudkan apa
yang tidak mungkin, menjadi suatu yang bisa dilaksanakan dan bisa
diwujudkan. Bahkan, kisah mereka dan kalimat-kalimat bijak mereka bisa
tetap menjadi inspirasi bagi jutaan orang meskipun mereka telah tiada.
Ini merupakan pengejawantahan atau perwujudan dari psikologi positif.
Lalu bagaimana perempuan Islam yang
seringkali dinilai lemah bisa menerapkan psikologi positif dalam
kehidupannya? Mengambil hikmah dari kisah sukses Siti Khadidjah, Cut
Nya’ Dhien dan Ibu Teresa dalam menggerakkan masyarakat, maka tentulah
kaum perempuan Islam bisa melakukannya dengan sangat mudah dalam skala
yang lebih kecil yaitu keluarga. Bisa dimulai dengan sedikit demi
sedikit ibu mengurangi kalimat-kalimat berisi penilaian negatif,
keluhan-keluhan, serta umpatan-umpatan. Ibu bisa mengajak keluarga
bersama-sama menemukan kekuatan dan kemampuan yang dimiliki
masing-masing anggota, keterampilan apa yang sudah dipelajari,
pengalaman keberhasilan apa yang sudah dilakukan, serta peran apa yang
bisa dimanfaatkan. Dengan demikian, kata-kata penghargaan mulai sering
dicontohkan oleh ibu – sang inspirator keluarga – sehingga menjadi
sebuah kebiasaan rutin dalam keluarga. Maka dengan adanya
kesyukuran-kesyukuran atas apa yang dimiliki, secara bertahap akan
menumbuhkan kembangkan semangat mengembangkan diri maupun hasrat untuk
meningkatkan kemampuan.
Jadi, kesuksesan dan kebahagiaan
bukanlah dilihat dari berapa banyak yang kita punya namun seberapa mampu
kita menggali apa yang kita miliki dan menghimpunnya menjadi aset
sumber daya yang berharga. Hal ini diperkuat dengan dalil dibawah ini:
“Niscaya jika kamu sekalian mau
bersyukur maka Aku (Alloh) akan menambah pada kamu sekalian, dan niscaya
jika kamu sekalin kufur (tidak mau bersyukur), sesungguhnya siksa-Ku
pedih”
Tentu sudah bisa dibayangkan, bagaimana kaum perempuan akan mampu membangkitkan gelora perubahan positif dalam keluarga seperti di atas. Bayangkan pula, bagaimana keceriaan, sikap pantang menyerah serta ketangguhan ibu dalam menghadapi tantangan kehidupan akan menular ke dalam keluarga. Tentu saja, hal ini akan berdampak pada munculnya pemikiran-pemikiran positif, dilandasi dengan persangkaan-persangkaan yang baik serta semangat terhadap harapan-harapan di masa depan. Apabila persangkaan baik dijadikan landasan maka bukan tidak mungkin impian keluarga bisa terwujud dengan baik. Hal ini sangat sesuai dengan dalilnya bahwa:
“Sesungguhnya Alloh dalam persangkaan hambaNya”
Dari pembahasan mengenai psikologi
positif diatas bisa disimpulkan bahwa kebahagiaan itu bersumber pada
manusia ketika dia bisa memaknai kehidupan; kebahagiaan adalah jalan
bagi manusia untuk mengembangkan fitrah kemanusiaannya sendiri untuk
menjadi manusia sempurna. Dan, jalan untuk mencapainya adalah senantiasa
bersyukur atas apa yang telah dimiliki dan yang akan diperoleh. Maka,
apalagi yang Anda (kaum perempuan) tunggu? Sebarkanlah hal-hal positif
yang akan berdampak pada Kebahagiaan Bagi Keluarga Kita!!
Oleh : Ir. Sri Tresnahati Ashar MSi.
http://dakwah-islam.org
0 komentar:
Posting Komentar