Senin, 16 September 2013

Rizki itu Bukan Semata Uang

Raih Rizki dengan Perkuat Doa, Ibadah dan Ikhtiar

RIZKI adalah bahasan yang sangat menarik. Selain karena menjadi kebutuhan hidup di dunia, rizki juga satu bentuk karunia Allah Subhanahu Wata’ala kepada manusia, baik yang beriman maupun yang kufur. Dan, karena itu, setiap jiwa telah dipastikan rizkinya sejak di dalam kandungan.

Namun demikian, tidak berarti rizki itu bisa hadir tanpa upaya. Harus ada upaya untuk mendapatkannya. Dan, yang paling penting dari upaya tersebut adalah caranya. Apakah sesuai dengan syariat Islam atau justru menghalalkan segala cara.


Dalam pandangan paham materialisme, rizki selalu diartikan sebagai kapital, berupa modal atau uang. Oleh karena itu, di era modernisme ini semua orang berlomba-lomba mengumpulkan harta (uang). Sampai-sampai, ada dari sebagian umat Islam yang rela menanggalkan kewajiban beribadah kepada-Nya demi apa yang mereka sebut sebagai rizki (baik dalam bentuk uang atau materi lain).

Betapa banyak kita menyaksikan, orang yang siang dan malamnya selalu sibuk bekerja, sehingga tidak sempat sholat berjama’ah, tidak sempat membaca al-Qur’an, dan tidak sempat silaturrahim. Bahkan tidak sempat memberi kasih sayang kepada keluarga serta putra dan putrinya.

Rizki yang sejatinya adalah anugerah untuk semakin taat beribadah bagi seorang Muslim telah bergeser menjadi penyebab lunturnya ketajaman iman. Dalam konteks inilah, kita semua patut waspada dan bertanya. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan rizki itu. Dan, yang terpenting adalah bagaimana kita menyikapi rizki.
Apakah dengan serta merta meninggalkan kewajiban agama yang ternyata ‘dipandang’ sebagai penghambat waktu kerja, produktivitas dan efisiensi waktu dalam peraihan modal berupa uang. Atau justru sebaliknya, rizki itu diraih justru dengan meningkatkan kualitas ibadah kepada Allah Subhanahu Wata’ala.

Dalam sebuah hadits Qudsi, Allah berfirman, “Wahai anak Adam, luangkanlah waktumu untuk beribadah kepada-Ku, niscaya Aku akan memenuhi dadamu dengan kekayaan dan menutup (menyingkirkan) kefakiranmu. Jika engkau tidak melakukan, maka Aku akan memenuhi dadamu dengan kesempitan (kegelisahan) dan Aku tidak akan menyingkirkan kefakiranmu.

Hadits tersebut selaras dengan apa yang Allah tegaskan dalam al-Qur’an.

وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى

“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thaha [20]: 124).

Artinya, rizki itu sejatinya adalah anugerah yang jika cara mendapatkannya benar, seesuai tuntunan syariat Islam, maka kebahagiaan akan menjadi akhir hidupnya. Sebaliknya, jika dalam mendapat rizki dilakukan dengan cara-cara curang, syubhat dan haram, maka baginya kesengsaraan. Bahkan kebutaan di hari kiamat.

Arti Luas Rizki

Oleh karena itu, tidak sepatutnya seorang Muslim melihat rizki sebatas pada uang atau kekayaan belaka. Ust. Yusuf Mansur dalam bukunya “Doa-Doa Kunci Rezeki” menuliskan bahwa yang dimaksud rizki itu bukan semata uang.

Rizki dalam bentuk lainnya bisa berupa sifat istiqomah (kekonsistenan) dalam kebenaran dan jujur dalam hidupnya. Misalnya, tidak mau mengambil hak orang lain dengan zalim. Secara kasat mata, orang yang seperti itu memang tidak mendapatkan uang atau keuntungan materi apapun. Namun demikian, sesungguhnya ia telah mendapat rizki yang tak ternilai harganya. Yakni sifat mulia yang dicintai Allah Ta’ala.

Hal itu tidak lain, karena Muslim yang seperti itu adalah Muslim yang mampu mempertahankan kebenaran yang diyakni dalam dirinya. Jadi, kemampuan berpegang teguh pada kebenaran dan kejujuran hakikatnya adalah rizki yang sangat besar dan tak ternilai harganya. Dibanding kaya harta namun menanggalkan nilai-nilai kebenaran dan kejujuran.

Rizki juga bisa berupa ketenangan dan kedamaian hidup. Yakni, berupa keluarga yang sakinah, anak yang saleh dan harta yang bermanfaat lagi berkah. Bisa juga berupa kemampuan bekerja dengan baik dan benar, memiliki jiwa optimisme, positif thinking, dan memiliki teman baik. Atau kemampuan untuk bisa berbagi dan peduli terhadap orang lain. Semua itu adalah bentuk rizki yang dahsyat.

Rizki juga bisa berbentuk kemampuan untuk bisa berdoa dengan khusu’, taat beribadah dan bertakwa. Atau juga berupaya mampu melakukan ibadah secara konsisten. Bahkan, yang paling spektakuler, kata Ustad Yusuf Mansur adalah kita diberi ‘akhir hidup yang baik’ (khusnul khotimah).

Semua itu adalah bentuk rizki Allah dalam arti yang sangat luas. Yang mustahil bisa dibayar dengan uang berapapun. Dan, juga sebagai manifestasi bimbingan, petunjuk, berkah dan rahmat-Nya yang diberikan kepada umat Islam.

Perkuat Do’a, Ibadah dan Upaya

Namun demikian, Islam sama sekali tidak pernah memarginalkan arti rizki dalam bentuk materi. Materi juga bagian penting dalam kehidupan umat Islam. Maka tidak sepatutnya seorang Muslim hidup miskin apalagi papa.

Di zaman Rasulullah kita mengenal Utsman bin Affan. Saudagar kaya raya yang sholeh dan dermawan. Begitu pula Abdurrahman bin Auf. Saudagar kaya raya yang sholeh dan dermawan. Bahkan jauh sebelum itu, ada Siti Khadijah, istri Nabi yang kaya raya, sholehah dan dermawan.

Artinya, kekayaan itu penting. Oleh karena itu sangat dibutuhkan dari sebagian Umat Islam yang  berusaha menjadi orang kaya, yang dengan kekayaannya itu ia berhak atas karunia-Nya yang lebih besar di akhirat kelak, persis seperti Siti Khadijah, Abdurrahman bin Auf atau pun Utsman bin Affan.

Carilah kekayaan dunia untuk kebahagiaan akhirat. Jangan terbalik, mencari kekayaan dunia dengan melupakan akhirat, yang pada akhirnya hanya akan mengundang laknat. Seperti Tsa’labah dan Qarun.
Maka, perbanyaklah do’a karena Allah pasti mengabulkan do’a hamba-Nya (QS. 2: 186). Atau seperti dalam firman lainnya;

وَيَسْتَجِيبُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَيَزِيدُهُم مِّن فَضْلِهِ وَالْكَافِرُونَ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ

Dan Dia memperkenankan (doa) orang-orang yang beriman serta mengerjakan amal yang saleh dan menambah (pahala) kepada mereka dari karunia-Nya.” (QS: Asy Syuura [42]: 26).

Berikutnya perbanyaklah ibadah. Seperti sholat Dhuha, sholat Tahajjud atau pun bersedekah kepada sesama. Karena Allah sangat menyukai hamba-hamba-Nya yang teguh dalam ibadah dan bermanfaat bagi banyak manusia.

Terakhir, sempurnakanlah dalam berupaya. Islam adalah agama yang dinamis dan progressif. Artinya, Islam tidak menyukai umatnya yang pasif dan berpangku tangan. Bergeraklah mencari rizki untuk kemuliaan diri, keluarga dan umat Islam. Sebagaimana dicontohkan oleh Abdurrahman bin Auf.

Ia rela hijrah demi iman ke Madinah. Setiba di Madinah ia rela memulai usahanya dari pasar. Hingga kemudian, berbekal skill dan kekonsistenan, ia tumbuh menjadi sahabat Nabi yang super kaya. Namun demikian, rizki dalam bentuk harta yang demikian melimpah itu, justru semakin membuat hatinya semakin tunduk, taat dan takwa kepada Allah Ta’ala.

Jadi, mari kita ikhtiar mencari rizki dengan semangat iman. Jika kita hidup dalam kekurangan harta, tapi memiliki kekuatan ilmu, kesabaran, keluarga yang iman dan taat beribadah, syukurilah. Itu adalah rizki yang dahsyat.

Jika semua itu kita miliki dan harta juga berlebih, maka syukurilah dengan bersegera menebarkan bagi yang membutuhkan. Tauladanilah Siti Khadijah, Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf. Agar kekayaan berupa materi itu semakin melapangkan jalan untuk menjadi hamba yang mendapat ridha Ilahi.


Carilah kekayaan dunia untuk kebahagiaan akhirat. Jangan terbalik, mencari kekayaan dunia dengan melupakan akhirat, yang pada akhirnya hanya akan mengundang laknat. Seperti Tsa’labah dan Qarun 

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Press Release Distribution