Raih Rizki dengan Perkuat Doa, Ibadah dan Ikhtiar
RIZKI adalah bahasan yang sangat menarik. Selain
karena menjadi kebutuhan hidup di dunia, rizki juga satu bentuk karunia
Allah Subhanahu Wata’ala kepada manusia, baik yang beriman maupun yang
kufur. Dan, karena itu, setiap jiwa telah dipastikan rizkinya sejak di
dalam kandungan.
Namun demikian, tidak berarti rizki itu bisa hadir tanpa upaya. Harus
ada upaya untuk mendapatkannya. Dan, yang paling penting dari upaya
tersebut adalah caranya. Apakah sesuai dengan syariat Islam atau justru
menghalalkan segala cara.
Dalam pandangan paham materialisme, rizki selalu diartikan sebagai
kapital, berupa modal atau uang. Oleh karena itu, di era modernisme ini
semua orang berlomba-lomba mengumpulkan harta (uang). Sampai-sampai, ada
dari sebagian umat Islam yang rela menanggalkan kewajiban beribadah
kepada-Nya demi apa yang mereka sebut sebagai rizki (baik dalam bentuk
uang atau materi lain).
Betapa banyak kita menyaksikan, orang yang siang dan malamnya selalu
sibuk bekerja, sehingga tidak sempat sholat berjama’ah, tidak sempat
membaca al-Qur’an, dan tidak sempat silaturrahim. Bahkan tidak sempat
memberi kasih sayang kepada keluarga serta putra dan putrinya.
Rizki yang sejatinya adalah anugerah untuk semakin taat beribadah
bagi seorang Muslim telah bergeser menjadi penyebab lunturnya ketajaman
iman. Dalam konteks inilah, kita semua patut waspada dan bertanya. Apa
sebenarnya yang dimaksud dengan rizki itu. Dan, yang terpenting adalah
bagaimana kita menyikapi rizki.
Apakah dengan serta merta meninggalkan kewajiban agama yang ternyata
‘dipandang’ sebagai penghambat waktu kerja, produktivitas dan efisiensi
waktu dalam peraihan modal berupa uang. Atau justru sebaliknya, rizki
itu diraih justru dengan meningkatkan kualitas ibadah kepada Allah
Subhanahu Wata’ala.
Dalam sebuah hadits Qudsi, Allah berfirman, “Wahai anak Adam,
luangkanlah waktumu untuk beribadah kepada-Ku, niscaya Aku akan memenuhi
dadamu dengan kekayaan dan menutup (menyingkirkan) kefakiranmu. Jika
engkau tidak melakukan, maka Aku akan memenuhi dadamu dengan kesempitan
(kegelisahan) dan Aku tidak akan menyingkirkan kefakiranmu.”
Hadits tersebut selaras dengan apa yang Allah tegaskan dalam al-Qur’an.
وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya
baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada
hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thaha [20]: 124).
Artinya, rizki itu sejatinya adalah anugerah yang jika cara
mendapatkannya benar, seesuai tuntunan syariat Islam, maka kebahagiaan
akan menjadi akhir hidupnya. Sebaliknya, jika dalam mendapat rizki
dilakukan dengan cara-cara curang, syubhat dan haram, maka baginya
kesengsaraan. Bahkan kebutaan di hari kiamat.
Arti Luas Rizki
Oleh karena itu, tidak sepatutnya seorang Muslim melihat rizki
sebatas pada uang atau kekayaan belaka. Ust. Yusuf Mansur dalam bukunya “Doa-Doa Kunci Rezeki” menuliskan bahwa yang dimaksud rizki itu bukan semata uang.
Rizki dalam bentuk lainnya bisa berupa sifat istiqomah
(kekonsistenan) dalam kebenaran dan jujur dalam hidupnya. Misalnya,
tidak mau mengambil hak orang lain dengan zalim. Secara kasat mata,
orang yang seperti itu memang tidak mendapatkan uang atau keuntungan
materi apapun. Namun demikian, sesungguhnya ia telah mendapat rizki yang
tak ternilai harganya. Yakni sifat mulia yang dicintai Allah Ta’ala.
Hal itu tidak lain, karena Muslim yang seperti itu adalah Muslim yang
mampu mempertahankan kebenaran yang diyakni dalam dirinya. Jadi,
kemampuan berpegang teguh pada kebenaran dan kejujuran hakikatnya adalah
rizki yang sangat besar dan tak ternilai harganya. Dibanding kaya harta
namun menanggalkan nilai-nilai kebenaran dan kejujuran.
Rizki juga bisa berupa ketenangan dan kedamaian hidup. Yakni, berupa
keluarga yang sakinah, anak yang saleh dan harta yang bermanfaat lagi
berkah. Bisa juga berupa kemampuan bekerja dengan baik dan benar,
memiliki jiwa optimisme, positif thinking, dan memiliki teman baik. Atau
kemampuan untuk bisa berbagi dan peduli terhadap orang lain. Semua itu
adalah bentuk rizki yang dahsyat.
Rizki juga bisa berbentuk kemampuan untuk bisa berdoa dengan khusu’,
taat beribadah dan bertakwa. Atau juga berupaya mampu melakukan ibadah
secara konsisten. Bahkan, yang paling spektakuler, kata Ustad Yusuf
Mansur adalah kita diberi ‘akhir hidup yang baik’ (khusnul khotimah).
Semua itu adalah bentuk rizki Allah dalam arti yang sangat luas. Yang
mustahil bisa dibayar dengan uang berapapun. Dan, juga sebagai
manifestasi bimbingan, petunjuk, berkah dan rahmat-Nya yang diberikan
kepada umat Islam.
Perkuat Do’a, Ibadah dan Upaya
Namun demikian, Islam sama sekali tidak pernah memarginalkan arti
rizki dalam bentuk materi. Materi juga bagian penting dalam kehidupan
umat Islam. Maka tidak sepatutnya seorang Muslim hidup miskin apalagi
papa.
Di zaman Rasulullah kita mengenal Utsman bin Affan. Saudagar kaya
raya yang sholeh dan dermawan. Begitu pula Abdurrahman bin Auf. Saudagar
kaya raya yang sholeh dan dermawan. Bahkan jauh sebelum itu, ada Siti
Khadijah, istri Nabi yang kaya raya, sholehah dan dermawan.
Artinya, kekayaan itu penting. Oleh karena itu sangat dibutuhkan dari
sebagian Umat Islam yang berusaha menjadi orang kaya, yang dengan
kekayaannya itu ia berhak atas karunia-Nya yang lebih besar di akhirat
kelak, persis seperti Siti Khadijah, Abdurrahman bin Auf atau pun Utsman
bin Affan.
Carilah kekayaan dunia untuk kebahagiaan akhirat. Jangan terbalik,
mencari kekayaan dunia dengan melupakan akhirat, yang pada akhirnya
hanya akan mengundang laknat. Seperti Tsa’labah dan Qarun.
Maka, perbanyaklah do’a karena Allah pasti mengabulkan do’a hamba-Nya (QS. 2: 186). Atau seperti dalam firman lainnya;
وَيَسْتَجِيبُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَيَزِيدُهُم مِّن فَضْلِهِ وَالْكَافِرُونَ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ
Dan Dia memperkenankan (doa) orang-orang yang beriman serta
mengerjakan amal yang saleh dan menambah (pahala) kepada mereka dari
karunia-Nya.” (QS: Asy Syuura [42]: 26).
Berikutnya perbanyaklah ibadah. Seperti sholat Dhuha, sholat Tahajjud
atau pun bersedekah kepada sesama. Karena Allah sangat menyukai
hamba-hamba-Nya yang teguh dalam ibadah dan bermanfaat bagi banyak
manusia.
Terakhir, sempurnakanlah dalam berupaya. Islam adalah agama yang
dinamis dan progressif. Artinya, Islam tidak menyukai umatnya yang pasif
dan berpangku tangan. Bergeraklah mencari rizki untuk kemuliaan diri,
keluarga dan umat Islam. Sebagaimana dicontohkan oleh Abdurrahman bin
Auf.
Ia rela hijrah demi iman ke Madinah. Setiba di Madinah ia rela
memulai usahanya dari pasar. Hingga kemudian, berbekal skill dan
kekonsistenan, ia tumbuh menjadi sahabat Nabi yang super kaya. Namun
demikian, rizki dalam bentuk harta yang demikian melimpah itu, justru
semakin membuat hatinya semakin tunduk, taat dan takwa kepada Allah
Ta’ala.
Jadi, mari kita ikhtiar mencari rizki dengan semangat iman. Jika kita
hidup dalam kekurangan harta, tapi memiliki kekuatan ilmu, kesabaran,
keluarga yang iman dan taat beribadah, syukurilah. Itu adalah rizki yang
dahsyat.
Jika semua itu kita miliki dan harta juga berlebih, maka syukurilah
dengan bersegera menebarkan bagi yang membutuhkan. Tauladanilah Siti
Khadijah, Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf. Agar kekayaan berupa
materi itu semakin melapangkan jalan untuk menjadi hamba yang mendapat
ridha Ilahi.
Carilah kekayaan dunia untuk kebahagiaan akhirat. Jangan terbalik,
mencari kekayaan dunia dengan melupakan akhirat, yang pada akhirnya
hanya akan mengundang laknat. Seperti Tsa’labah dan Qarun
0 komentar:
Posting Komentar