Jagalah Perasaan Saudaramu, Jangan Sakiti Hatinya.
Nabi SAW bersabda : “Siapa yang merasa pernah berbuat aniaya kepada saudaranya, baik berupa kehormatan badan
atau harta atau lain-lainnya, hendaknya segera meminta halal (maaf) nya
sekarang juga, sebelum datang suatu hari yang tiada harta dan dinar
atau dirham, jika ia punya amal shalih, maka akan diambil menurut
penganiayannya, dan jika tidak mempunyai hasanat (kebaikan), maka
diambilkan dari kejahatan orang yang dia aniaya untuk ditanggungkan
kepadanya.” [HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah r.a].
Astaghfirullah al’adzim, itulah kalimat pertama yang saya ucap tatkala
membaca hadist tersebut pada sebuah lembar buletin jum’at yang biasa
tertera di Masjid. Saya jadi berfikir, apakah selama interaksi dengan
orang lain, baik kerabat, teman atau orang lain yang pernah
berinteraksi, apakah mereka tidak pernah merasa terzalimi, tersakiti,
teraniaya secara lisan? Ataukah pernah dan memendam di hati?
Astaghfirullah al’adzim.
Dalam diskusi tentang dakwah, berdiskusi dengan harokah dakwah lain. Apakah kita telah berdiskusi secara ahsan? Apakah kita telah berdiskusi
dalam rangka mencari kebenaran, bukan mencari pembenaran? Apakah diskusi
yang kita lakukan tidak dalam membuka aib lawan diskusi kita karena
telah kalah hujjah? Sebagaimana kata seorang ikhwah :
“ketidakmilikan hujjah seseorang dalam berdiskusi, maka orang tersebut
akan akan menyerang dari sisi selain hujjah lawan diskusinya”
Atau tatkala kita membuka aib saudara kita sesama muslim hanya karena
faktor ketidaksukaan kita kepadanya. Na’udzubillahi mindzalik.
Hadist
diatas menggambarkan kepada kita, bahwa tatkala kita tidak meminta maaf
kepada orang yang kita rasa pernah kita sakiti,baik secara fisik maupun
non fisik (kata-kata),maka wajiblah kita untuk meminta maaf. Jika tidak,
maka kelak semua amal shalih kita akan diambil untuk menghilangkan dosa
dari menganiaya tersebut sesuai kadarnya, dan jika kita tidak punya
sama sekali amal shalih atau kebaikan, maka kita akan mendapatkan
tambahan kejahatan dari orang yang kita aniaya tersebut, sehingga
semakin membertakan timbangan dosa kita di yaumul mizan kelak, yakni
hari dimana dilakukan pertimbangan amal baik dan buruk.
Semua orang tentu mempunyai aib. Dan tentu pula ia tidak mau orang lain
tahu akan aib yang dimiliki. Bisa dibayangkan jika orang tersebut aibnya
dibuka oleh orang lain, diceritakan dibelakang dia, atau semisal
ditayangkan di televise sebagaimana hiburan infotainment di TV. Padahal
Allah SWT menyuruh kita untuk menutupi aib saudara kita sendiri.
“Barang siapa melepaskan seorang mukmin dari kesusahan hidup di dunia,
niscaya Allah akan melepaskan darinya kesusahan di hari kiamat, barang
siapa memudahkan urusan (mukmin) yang sulit niscaya Allah akan
memudahkan urusannya di dunia dan akhirat.
Barang siapa menutup aib seorang muslim, maka Allah akan menutup aibnya
di dunia dan akhirat. Allah akan menolong seorang hamba, selama hamba
itu senantiasa menolong saudaranya.
Barang siapa menempuh perjalanan untuk mencari ilmu, maka Allah akan
memudahkan jalan baginya menuju surga. Tidaklah suatu kaum berkumpul di
salah satu rumah Allah untuk membaca Kitabullah dan mempelajarinya
bersama-sama, melainkan akan turun kepada mereka ketenteraman, rahmat
Allah akan menyelimuti mereka, dan Allah memuji mereka di hadapan (para
malaikat) yang berada di sisi-Nya.
Barang siapa amalnya lambat, maka tidak akan disempurnakan oleh
kemuliaan nasabnya.” (HR Muslim)
Maka, berfikirlah sebelum berkata, berfikirlah sebelum berbuat.
Bayangkan bahwa dia adalah kita. Posisikan kita sebagai dia. Posisikan
kita yang aibnya di buka ataupun perasaannya di sakiti tatkala kita
melontarkan perkataan atau kalimat yang itu membuat hati menjadi
tersakiti.
Bagi para hamilud dakwah, berdakwahlah dengan cara yang makruf. Bukan
hanya berusaha menjaga perasaan hati para mad’u kita, namun juga menjaga
perasaan saudara kita walaupun berbeda harokah dakwah.
Berfikirlah
sebelum berkata, dan berfikirlah sebelum berbuat.
Dalam sebuah riwayat yangdiketengahkan oleh Imam at-Tirmidzi dijelaskan
bahwa kunci untuk meraih keluhuran jiwa adalah menjaga lisan. Mu’adz ra
berkata, Saya bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah beritahukan
kepada saya amal perbuatan yang dapat memasukkan saya ke dalam sorga dan
menjauhkan dari neraka?” Beliau bersabda: “Kamu benar-benar
menanyakansesuatu yang sangat besar.
Sesungguhnya hal itu sangat mudah
bagi orang yang dimudahkan oleh Allah SWT, yaitu: Hendaklah kamu
menyembah kepada Allah dengan tidak menyekutukanNya dengan
sesuatuapapun, mendirikansholat, membayar zakat, puasa di bulan
Ramadlan, dan berhaji ke Baitullah bila kamu mampu menempuh
perjalanannya.”
Selanjutnya, beliau bersabda, “Maukah engkau aku tunjukkan pintu-pintu
kebaikan? Puasa itu adalah perisai, shadaqah dapat menghilangkan dosa
seperti halnya air memadamkan api, dan sholat seseorang pada tengah
malam.”
Beliau lantas membaca ayat yang artinya, “Lambung mereka jauh
dari tempat tidurnya, sedang mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa
takut dan penuh harap, serta mereka menafkahkan sebagian rizki yang
telah Kamiberikan kepada mereka.
Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka, yaitu
bermacam-macam nikmat yang menyenangkan pandangan mata sebagai balasan
terhadap apa yang telah mereka kerjakan.”
Lalu, beliau bertanya kembali,
“Maukah engkau aku tunjukkan pokok dan tiang dari segala sesuatu dan
puncak keluhuran?” Saya berkata, “Baiklah ya Rasulullah.” Rasulullah Saw
berkata, “Pokok segala sesuatu adalah Islam, tiangnya adalah sholat,
dan puncak keluhurannya adalah berjuang di jalan Allah.” Kemudian beliau
bersabda, “Maukah kamu aku tunjukkantentang kunci dari kesemuanya itu?”
Saya menjawab, “Tentu ya Rasulullah.”
Beliau lantas memegang lidahnya
seraya berkata, “Peliharalah ini.” Saya berkata, “Ya Rasulullah, apakah
kami akan dituntut atas apa yang kami katakan?” Beliau bersabda “Celaka
kamu, bukankah wajah manusia tersungkur ke dalam neraka, tidak lain
karena akibat lidah mereka?” [HR. at-Tirmidzi].
0 komentar:
Posting Komentar