Menggali Warisan
Ada empat anak yang baru saja mengalami duka setelah kematian kedua
orang tuanya. Sebuah surat wasiat pun mereka terima dari orang yang
mereka cintai itu. Setelah urusan jenazah kedua orang tuanya selesai,
empat anak itu pun membuka surat berharga itu.
Ternyata, surat itu menyebutkan bahwa keempat anak itu diberikan
pilihan untuk memiliki empat bidang tanah yang berlainan tempat.
Ada
bidang tanah yang begitu hijau dengan begitu banyak pepohonan kayu yang
bisa dijual.
Ada bidang tanah yang berada di tepian sungai jernih,
sangat cocok untuk ternak berbagai jenis ikan.
Ada juga bidang tanah
yang sudah menghampar sawah padi dan ladang.
Ada satu bidang tanah lagi
yang sangat tidak menarik: tanah tandus dengan tumpukan pasir-pasir
kering di atasnya.
Menariknya, surat itu diakhiri dengan sebuah kalimat: beruntunglah yang memilih tanah tandus.
Anak pertama memilih tanah pepohonan hijau.
Anak kedua pun langsung
memilih tanah dengan aliran sungai jernih.
Begitu pun dengan yang ketiga, ia merasa berhak untuk memilih tanah yang ketiga dengan hamparan
sawah dan ladangnya.
Dan tinggallah anak yang keempat dengan tanah
tandusnya.
“Apa engkau kecewa, adikku, dengan tanah tandus yang menjadi hakmu?” ucap para kakak kepada si bungsu.
Di luar dugaan, si bungsu hanya senyum. Ia pun berujar, “Aku yakin,
pesan ayah dan ibu tentang tanah tandus itu benar adanya. Yah, justru,
aku sangat senang!”
Mulailah masing-masing anak menekuni warisan peninggalan kedua orang
tuanya dengan begitu bersemangat. Termasuk si bungsu yang masih bingung
mengolah tanah tandus pilihannya.
Hari berganti hari, waktu terus berputar, dan hinggalah hitungan
tahun. Tiga anak penerima warisan begitu bahagia dengan tanah subur yang
mereka dapatkan. Tinggallah si bungsu yang masih sibuk mencari-cari,
menggali dan terus menggali, kelebihan dari tanah tandus yang ia
dapatkan. Tapi, ia belum juga berhasil.
Hampir saja ia putus asa. Ia masih bingung dengan manfaat tanah
tandus yang begitu luas itu. Sementara, kakak-kakak mereka sudah
bernikmat-nikmat dengan tanah-tanah tersebut. “Aku yakin, ayah dan ibu
menulis pesan yang benar. Tapi di mana keberuntungannya?” bisik hati si
bungsu dalam kerja kerasnya.
Suatu kali, ketika ia terlelah dalam penggalian panjang tanah tandus
itu, hujan pun mengguyur. Karena tak ada pohon untuk berteduh, si bungsu
hanya berlindung di balik gundukan tanah galian yang banyak mengandung
bebatuan kecil. Tiba-tiba, matanya dikejutkan dengan kilauan batu-batu
kecil di gundukan tanah yang tergerus guyuran air hujan.
“Ah, emas! Ya, ini emas!” teriak si bungsu setelah meneliti bebatuan
kecil yang sebelumnya tertutup tanah keras itu. Dan entah berapa banyak
emas lagi yang bersembunyi di balik tanah tandus yang terkesan tidak
menarik itu.
Keterbatasan daya nilai manusia kadang membimbingnya pada kesimpulan
yang salah. Sesuatu yang dianggap bernilai, ternyata hanya biasa saja.
Dan sesuatu yang sangat tidak menarik untuk diperhatikan, apalagi
dianggap bernilai, ternyata punya nilai yang tidak terkira.
Hiasan-hiasan duniawi pun kian mengokohkan keterbatasan daya nilai
manusia itu. Tidak banyak yang mampu memahami bahwa ada satu hal di
dunia ini yang jauh dan sangat jauh lebih bernilai dari dunia dan
isinya. Itulah Warisan hidayah Allah yang tidak tertandingi dengan nilai
benda apa pun di dunia ini.
Sayangnya, tidak semua orang seperti si bungsu, yang begitu yakin
dengan warisan kebenaran bimbingan kalimat dari si Pewaris yang
sebenarnya. Walaupun harus menggali, dan terus menggali dengan penuh
kesabaran. (mn)
0 komentar:
Posting Komentar