Ancaman Keras atas Wanita yang Minta Cerai Tanpa Alasan yang Benar
Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah,
Rabb semesta alam. Shalawat dan salam teruntuk Rasulullah Shallallahu
'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.
Pada dasarnya, seorang wanita (istri)
haram meminta (menuntut) cerai terhadap suaminya kecuali adanya sebab
yang dibenarkan; seperti perlakuan suami yang buruk terhadap dirinya
-tidak mencukupkan nafkahnya, suka memukul dan menganiaya, dan
semisalnya- atau tidak ada rasa suka dalam dirinya terhadap suaminya
sehingga membuatkan takut akan menelantarkan hak-hak suami.
Meminta cerai tanpa ada alasan yang dibenarkan syariat termasuk dosa besar yang wajib dijauhi dan ditinggalkan istri muslimah.
Diriwayatkan dari Tsauban Radhiyallahu 'Anhu ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا طَلاقًا فِي غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّة
“Siapa saja wanita yang meminta
(menuntut) cerai kepada suaminya tanpa alasan yang dibenarkan maka
diharamkan bau surga atas wanita tersebut.” (HR. Abu Dawud, Al-Tirmidzi, dan Ibnu Majah. Dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud)
Syaikh Muhammad Abdurrahman bin
Abdurrahim al-Mubarakfuri, Penulis Tuhfah al-Ahwadzi, menjelaskan
tentang makna diharamkannya bau surga baginya: dia dilarang menciumnya.
Ini sebagai bentuk ancaman serius. Atau itu terjadi berkaitan pada satu
waktu dan tidak pada selainnya. Maksudnya: ia tidak mendapati bau surga
di saat orang-orang suka berbuat baik (muhsinun) pertama kali
menciumnya. Atau ia tidak mendapati bau surga sama sekali sebagai
ancaman yang serius.”
Sebagian ulama lain menjelaskan maknanya: diharamkan baginya mencium bau surga walaupun ia memasuki surga tersebut.
Alasan yang Membolehkan Wanita Minta Cerai
Ancaman diatas akan menimpa wanita yang
menggugat cerai suami jika tanpa disertai alasan yang dibenarkan. Yaitu
alasan yang benar-benar mengharuskannya bercerai. Contohnya: perlakuan
suami yang buruk -tidak mencukupkan nafkahnya, suka memukul dan
menganiaya, dan semisalnya-, suami tidak mau menjalaskan perintah agama
& beraklak buruk, ia membencinya (tidak ada rasa suka/cinta kepada
suaminya) sehingga ia tidak bisa hidup bersamanya, terjadi penyimpangan
seksual, tidak bisa memenuhi kebutuhan batin, dan semisalnya.
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu 'Anhuma menyampaikan; Istari Tsabit bin Qais datang kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan berkata:
يَا
رَسُولَ اللَّهِ ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ مَا أَعْتِبُ عَلَيْهِ فِي خُلُقٍ
وَلَا دِينٍ وَلَكِنِّي أَكْرَهُ الْكُفْرَ فِي الْإِسْلَامِ فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ
حَدِيقَتَهُ قَالَتْ نَعَمْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ اقْبَلْ الْحَدِيقَةَ وَطَلِّقْهَا تَطْلِيقَةً
“Wahai Rasulullah, Tsabit bin Qais,
tidaklah aku mencelanya atas agama dan akhlaknya, akan tetapi aku
khawatir kekufuran dalam Islam.” Maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: “Apakah kamu mau mengembalikan kebun miliknya itu?” Ia menjawab, “Ya.” Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: “Terimalah (wahai Tsabit) kebun itu, dan ceraikanlah ia dengan talak satu.” (HR. Al-Bukhari dan lainnya)
Ibnu Hajar menjelaskan dalam Fathul
Baari, bahwa Istari Tsabit tidak menginginkan pisah dari suaminya karena
akhlak suaminya yang buruk dan tidak pula karena agamanya yang kurang.
Tapi karena suaminya berparas jelek dan tidak menyenangkan hatinya
sehingga ia merasa jijik dan tidak ada rasa suka kepadanya. Kemudian dia mengadu kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam
karena takut akan terjerumus ke dalam kekufuran karena rasa tidak suka
yang ada dalam dirinya sehingga melakukan sesuatu yang bisa menciderai
pernikahannya. Ia tahu bahwa hal itu haram sehingga takut kebenciannya
mendorongnya ke dalam keharaman tersebut. (Diringkas dari Fathul Baari:
9/399)
Hadits tersebut menerangkan bahwa rasa
benci seorang wanita kepada suaminya karena tidak adanya rasa cinta
& takutnya ia akan menelantarkan hak-hak suaminya menjadi satu udzur
untuk meminta pisah dari suaminya, tapi bagi wanita tersebut mengajukan
khulu’ dengan mengembalikan mahar yang telah diberikan suaminya dahulu.
Namun jika ia masih bisa bersabar dan berharap ridha Allah dengan tetap
menjaga keluarganya tentu ini lebih utama.
Syaikh Ibmu Jibrin menjelaskan beberapa perkara yang membolehkan seorang wanita mengajukan Khulu’:
Pertama,
Apabila seorang wanita membenci karakter akhlak suaminya seperti kasar,
temperamen, mudah tersinggung, sering marah-marah, terlalu saklek,
kurang bisa menerima kekurangan maka ia boleh mengajukan khulu’.
Kedua, apabila
tidak suka dengan tampangnya seperti memiliki cacat, buruk rupa, kurang
pada panca inderanya, maka ia dibolehkan meminta khulu’.
Ketiga,
apabila ada cacat dalam agamanya seperti suka meninggalkan shalat,
meremehkan shalat Jama’ah, tidak puasa Ramadhan tanpa udzur syar’i, atau
melakukan perbuatan haram seperti zina, mabuk-mabukan, suka nongkrong,
maka dibolehkan baginya menuntut khulu’.
Keempat, jika
suami tidak memberikan haknya seperti nafkah, pakaian, dan kebutuhan
pokoknya padahal ia mampu memberikannya; maka istri tersebut boleh
mengajukan khulu’.
Kelima,
apabila suami tidak bisa menunaikan kewajiban nafkah batin karena
memiliki penyakit seksual atau tidak adil dalam pembagian jatah
giliran. Maka ia boleh mengajukan Khulu’.
Ringkasnya, bahwa istri berkewajiban
mentaati suaminya dan memberikan pelayakan yang baik kepadanya. Tidak
boleh meminta pisah darinya tanpa ada alasan yang dibenarkan syariat dan
tanpa ada bahaya yang bisa mengancamnya. Jika karena sang istri punya
Pria Idaman Lain (PIL) lalu ia menggugat cerai suaminya maka ia telah
melakukan dosa besar dan diancam dengan kehinaan di akhirat; tidak akan
mencium bau surga.
Wallahu Ta’ala A’lam.
Oleh: Abu Misykah
Wallahu Ta’ala A’lam.
Oleh: Abu Misykah
0 komentar:
Posting Komentar