Pemimpin yang Baik
Menjadi pemimpin memang tidak semudah mengatakannya, sebab ada
tanggung jawab besar yang harus diembannya. Dalam Islam,
pertanggungjawaban seorang pemimpin bukan hanya kepada orang-orang yang
menjadi tanggungannya tapi lebih jauh lagi ia harus
mempertanggungjawabkan semua amanah yang diembannya dihadapan Allah
Ta’ala.
Itulah mengapa dalam pandangan Islam, memilih pemimpin bukan atas
dasar hubungan dekat, satu partai, ada hubungan tali keluarga, karena
anak atau atas dasar kedekatan lainnya.
Dalam Islam, memilih seorang pemimpin harus sesuai dengan skill dan
kapasitas yang ahli dibidangnya (expert). Aspek profesionalitas dalam
menunjuk seorang pemimpin menjadi hal yang utama dalam ajaran Islam.
Sebab, jika seorang pemimpin itu tidak mempunyai bekal ilmu dan
pengalaman yang cukup untuk memimpin, maka kehancuran sebuah organisasi
cepat atau lambat akan terjadi.
Tentang profesionalitas ini, seribu tahun lalu, Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sudah menasihati tentang bagaimana sebuah
amanah harus diemban oleh orang yang ahli dibidangnya, “Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran akan terjadi.” Ada seorang sahabat bertanya, “Apa maksudnya amanat disia-siakan duhai Rasulullah?” Nabi menjawab, “Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.” (HR. Bukhari – 6015).
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tersebut sungguh
menggugah bagi siapa pun yang sadar untuk menjadi seorang
pemimpin. Amanah pertama dan paling utama bagi setiap manusia adalah
amanah untuk menjalankan ketaatan kepada Allah, Pencipta, Pemilik,
Pemelihara dan Penguasa alam semesta beserta seluruh isinya. Dalam
konteks ini, pada hakikatnya, setiap manusia yang terlahir ke muka bumi
sudah diberikan amanah sebagai Khalifah yang diwajibkan membangun dan memelihara kehidupan di dunia berdasarkan aturan dan hukum Yang Memberi Amanah, Allah Ta’ala.
Tapi, apakah manusia dalam menjalankan kehidupan ini sudah menunaikan
amanah yang dipercayakan Allah kepadanya? Betapa banyak orang yang
menganggap enteng amanah yang diembannya. Ia tidak merasa dan mungkin
tidak mau tahu bahwa amanah untuk menjalankan ketaatan sebagai Khalifah
kelak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Ta’ala. Bukan tidak
mungkin amanah yang dilalaikan saat di dunia ini akan berbuah kepedihan
berkepanjangan di akhirat kelak. Sebaliknya, jika setiap amanah yang
dijalankan dalam kehidupan fana ini sesuai dengan yang diberikanNya,
maka kebahagiaan dunia dan akhirat akan diterima.
Karena itu, seorang pemimpin dalam sebuah organisasi, kelompok,
golongan, bahkan negara sekalipun semestinya selalu melakukan evaluasi
(muhasabah) atas setiap keputusan yang dibuatnya. Jangan sampai
keputusan yang diambil alih-alih mendatangkan manfaat bagi rakyat,
sebaliknya justeru membuat suasana semakin ‘gaduh’: tak jelas lagi mana
pembela kebenaran dan mana pengusung kesalahan, antara koruptor dan
aparat penegak hukum pun sudah tak bisa dibedakan karena kedua-duanya
mempunyai kepentingan yang sama; haus kekuasaan! Jika sudah begitu
situasinya, lalu siapa yang rugi?
Pemimpin dalam Islam
Dalam Islam, pemimpin yang baik
itu mempunyai kriteria tersendiri. Sebuah kriteria yang tidak hanya
mendapat standar baik menurut kaca mata hukum buatan manusia, tapi lebih
jauh lagi kriteria pemimpin dalam Islam merupakan hukum mutlak dari
Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Jika Allah Ta’ala sudah menggariskan
bagaimana pemimpin yang baik sesuai konsepNya, maka tak akan ada satu
pun dari manusia mampu mengubahnya kecuali bagi kaum yang lebih senang
mengikuti hukum sesuai nafsunya.
Di antara kriteria pemimpin yang baik dalam Islam adalah sebagai berikut.
Pertama, Beriman dan Beramal Shaleh. Inilah
kriteria pertama bagi siapa pun yang ingin menjadi pemimpin. Standar
iman dan amal shaleh ini tentu melebihi apa yang disebut fit and profer test (uji kelayakan dan kepantasan) ala manusia-manusia lemah. Fit and profer test bagi
seorang Muslim yang ingin menjadi pemimpin akan terlihat dari amal
nyatanya dalam menjalani kehidupan di tengah masyarakat. Apakah ia sudah
benar-benar beriman kepada Allah Ta’ala dan gemar melakukan berbagai
amal kebaikan, semua itu akan menjadi penentu apakah ia layak menjadi
seorang pemimpin atau pemimpi.
Kedua, Niat yang Lurus. Ini
penting, sebab ada orang yang ingin jadi pemimpin karena menginginkan
sesuatu di baliknya. Berkacalah pada negeri ini, betapa banyak orang
yang bernafsu untuk menjadi pemimpin ia harus merogoh koceknya puluhan
bahkan ratusan juta, hanya untuk ‘membeli’ sebuah jabatan.
Pertanyaannya, bagaimana mungkin orang yang mendapatkan kepemimpinan
dengan cara ‘membeli’ akan berfikir mengayomi dan mensejahterakan
rakyat? Sebaliknya, pemimpin semacam ini akan menjadikan kekayaan
sebagai motivasi utamanya: sebab ia sudah mengeluarkan uang yang sangat
besar untuk mendapatkan jabatan sebagai pemimpin.
Disinilah pentingya niat, seperti disampaikan dalam hadis Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, “Sesungguhnya
setiap amal perbuatan tergantung pada niatnya. Dan sesungguhnya setiap
orang (akan dibalas) sesuai dengan niatnya. Siapa yang hijrahnya karena
Allah dan RasulNya, maka hijrahnya kepada Allah dan RasulNya. Dan siapa
yang hijrahnya karena urusan dunia yang ingin digapainya atau karena
seorang wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya sesuai dengan apa
yang diniatkannya tersebut.” (HR. Bukhari, Jami’ush Shahih, no. 45, 163; Muslim, Jami’ush Shahih, no. 1907)
Betapa rugi menjadi seorang pemimpin dengan niat yang buruk (ingin
kaya, kesohor dll) hanya sekedar meraih pujian manusia dan mendapatkan
keuntungan dunia yang tak seberapa jika dibandingkan dengan pahala di
akhirat jika niatnya lurus. Jadilah seorang pemimpin yang mencari ridha
Allah saja, karena sebenarnya kepemimpinan atau jabatan adalah tanggung
jawab dan beban, bukan kesempatan dan kemuliaan.
Oleh: Bahron Ansori,
Redaktur di Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
0 komentar:
Posting Komentar