Berapa harga Tuhanmu ?
Sebagai seorang
muslim, tentulah sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk mengikuti semua
apa yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala, dan juga menjauhi apa-apa
yang dilarang oleh-Nya. Inilah konsep keimanan yang kita yakini selama
ini. Namun ternyata masih saja ada sebagian umat islam yang tak
mengendahkan perihal tersebut. Bukannya mentaati perintah dan menjauhi
larangan-Nya, sebagaian umat ini justru melakukan hal yang sebaliknya.
Mengerjakan yang dilarang, dan menjauhi yang seharusnya dikerjakan. Tak
sedikit juga yang melakukan hal tersebut karena “dipaksa” oleh keadaan.
Sehingga mau tak mau, harus melakukan hal-hal yang dilarang oleh-Nya.
Pada bulan Desember misalnya, banyak umat islam yang dengan terpaksa
ataupun suka rela, menggunakan atribut-atribut kaum nasrani. Ini biasa
terjadi dan dilakukan oleh beberapa umat islam yang statusnya adalah
pekerja mall, restoran, perkantoran, ataupun tempat hiburan lainnya.
Alih-alih tuntutan pekerjaan, mereka akhirnya memakai atribut tersebut.
Padahal ini justru bertentangan dengan hakikat keimanan kita. Meyakini
dengan hati, mengucapkan dengan lisan, dan melakukan dengan perbuatan.
Mengaku sebagai orang yang beriman, mengucapkan kalimat syahadat, namun
pada prakteknya justru mengikuti cara-cara orang kafir, sama saja kita
telah “membohongi” keimanan kita. “kalau kami menolak, maka kami akan dipecat”.
Beberapa orang akan melontarkan hal yang demikian, jadi seolah-olah,
ancaman pemecatan itu boleh dijadikan alasan untuk tetap menggunakan
atribut kaum nasrani. Padahal Rasulullah SAW pernah bersabda “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud).
Ada sebuah contoh lagi. Kejadian ini mungkin banyak menimpa kaum
muslimin yang bekerja sebagai buruh pabrik. Seperti yang telah kita
ketahui, bahwa setiap hari jumat laki-laki yang beragama islam wajib
hukumnya untuk melaksanakan shalat jumat berjamaan di masjid. Namun,
pada kenyataannya, tidak sedikit yang justru meninggalkan shalat jumat
hanya karena alasan pekerjaan. “Mesin tidak boleh dimatikan, harus ada yang jaga, jadi kami tidak bisa shalat jumat karena jaga mesin”. Ini
umumnya terjadi disejumlah pabrik-pabrik tekstil yang ada di Negeri
ini. Para pegawainya yang muslim, ketika hari jumat tiba, mereka
kesulitan untuk shalat jumat, lantaran “perintah” atasan yang melarang
untuk menghentikan mesin. Alasannya, bila mesin dimatikan, perusahaan
akan mengalami kerugiaan yang besar. Dan “kerugian besar” dalam hal
material menjadi alasan untuk tidak mengerjakan kewajiban yang satu ini.
Padahal sebagai umat islam, kita telah sepakat meyakini bahwa shalat
merupakan salah satu dari 5 (lima) rukun islam setelah syahadat. Bahkan
shalat adalah batas yang membedakan seorang muslim dengan orang kafir.
Bila sampai hari kita masih saja meninggalkan kewajiban kita sebagai
seorang muslim, hanya kerena alasan duniawi, maka seperti itu pula kita
memperlakukan Allah SWT. Kita akan menyembah Allah, apabila ada
keuntungan material yang kita dapati, bila tidak, bisa jadi Allah pun
tak lagi kita sembah. Memang sudah semestinya kita sadari “sudah sejauh
mana keimanan kita terhadap Allah ?”. Jangan-jangan, statment kalau kita
beriman itu hanya sekedar di bibir saja, tapi hati kita tak
meyakininya. Akibat hati yang tak sepenuhnya meyakini, akhirnya,
perbuatan kita pun tak mencerminkan seperti orang yang beriman. Kita,
disadari atau tidak, telah menukar keimanan kita dengan dunia. Kita
telah “menghargai” Tuhan kita dengan harga yang sangat murah. Kita
mengkhawatirkan kehidupan dunia yang sementara, dengan menjadikan
akhirat kita sebagai taruhannya.
Ya Allah, janganlah Kau palingkan hati kami, dari kesenangan dunia
yang semu. Jangan pula Kau sesatkan kami, dari jalan kebanaran ini, dari
jalan islam yang mulia ini.
Aamiinn…..
@mustaqimaziz2
0 komentar:
Posting Komentar