Nilai Ibadah Dalam Harta (Sebuah Renungan Religi)
Dalam pandangan Islam, bekerja dan
mencari kekayaan dunia adalah fitrah setiap manusia. Fitrah itu adalah adanya
semacam dorongan dan hasrat manusia untuk terus mencari dan mengumpulkan harta,
akan tetapi ada titik keseimbangan yang harus dijaga dalam mencari karunia
Alloh tersebut.
Banyak hadist dan ayat yang menyatakan
keseimbangan dalam mencari harta, dari ayat dan hadist tersebut kita akan
memiliki gambaran, sebetulnya dimana titik keseimbangan itu. Ada satu ayat dan
hadist yang perlu kita renungi dalam aktifitas kita mencari harta, "Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezeki bagi
siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi (siapa
yang dikehendaki-Nya)". barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah
akan menggantinya dan Dialah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya (QS. Saba: 39).
Kemudian Hadist, "Sesungguhnya Allah berfirman : "Wahai anak Adam, beribadahlah sepenuhnya kepada-Ku, niscaya Aku penuhi dadamu dengan kekayaan dan Aku penuhi kebutuhanmu. (Dan) jika kalian tidak melakukannya, niscaya Aku penuhi tanganmu dengan kesibukan dan tidak Aku penuhi kebutuhanmu". (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al Hakim dari Abu Hurairah).
Dalam hadist ini kita diperingati bahwasanya setiap harta yang tidak “dibersihkan” dengan jalan ibadah maka sesungguhnya harta tersebut tidak akan memenuhi kepuasaan batinya. Harta melimpah tidak menjadikan orang merasa nyaman dan tentram, melainkan perasaan khawatir, cemas karena takut kehilangan harta. Hal tersebut dikarenakan adanya sifat bakhil yang akarnya bersumber dari ketidak-ikhlasan untuk berbagi dari harta yang dimiliknya. Adanya perasaan bakhil ini memunculkan sifat tidak puas, merasa kurang dan tidak cukup. Pada akhirnya seseorang akan merasakan kesibukan luar biasa, tetapi kebutuhannya (ketidak-puasannya) tidak akan terpenuhi, maka persislah apa yang digambarkan dalam Hadist tersebut.
Dalam ayat ini kita diberi
gambaran bahwa rejeki atau harta adalah perkara yang sudah ditetapkan sesuai
dengan apa yang dikehendaki-Nya. Ada orang yang diberi kemudahan dan kelebihan
harta, ada yang diberi kesusahan dan kekurangan harta. Dari ketentuan-Nya
inilah maka kata “Nafkahkan” dalam ayat diatas menjadi kata kunci agar orang
yang diberi kelebihan harta menjadikan hartanya sebagai sesuatu yang barokah.
Kebarokahan orang yang berkelebihan harta bisa dicapai dengan cara
“menafkahkan”.
Setiap “Nafkah” dalam Islam tentunya punya nilai ibadah, seperti halnya nafkah untuk keluarga, tetapi nilai ibadah sesorang yang menafkahkan hartanya untuk membantu orang-orang yang kesulitan harta, seperti Fakir dan Miskin, maka tentunya nilai ibadahnya akan lebih bernilai tinggi. Inilah salah satu titik keseimbangan dalam mencari kekayaan. Kekayaan yang kita cari dan kumpulkan harus mengandung nilai ibadah, salah satu unsur ibadah adalah membagi harta kita dengan ikhlas Sodaqoh, infak dan jariyah sebagai bagian titik keseimbangan, dan ini menjadi kewajiban bagi orang yang berkelebihan harta.
Setiap “Nafkah” dalam Islam tentunya punya nilai ibadah, seperti halnya nafkah untuk keluarga, tetapi nilai ibadah sesorang yang menafkahkan hartanya untuk membantu orang-orang yang kesulitan harta, seperti Fakir dan Miskin, maka tentunya nilai ibadahnya akan lebih bernilai tinggi. Inilah salah satu titik keseimbangan dalam mencari kekayaan. Kekayaan yang kita cari dan kumpulkan harus mengandung nilai ibadah, salah satu unsur ibadah adalah membagi harta kita dengan ikhlas Sodaqoh, infak dan jariyah sebagai bagian titik keseimbangan, dan ini menjadi kewajiban bagi orang yang berkelebihan harta.
Kemudian Hadist, "Sesungguhnya Allah berfirman : "Wahai anak Adam, beribadahlah sepenuhnya kepada-Ku, niscaya Aku penuhi dadamu dengan kekayaan dan Aku penuhi kebutuhanmu. (Dan) jika kalian tidak melakukannya, niscaya Aku penuhi tanganmu dengan kesibukan dan tidak Aku penuhi kebutuhanmu". (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al Hakim dari Abu Hurairah).
Dalam hadist ini kita diperingati bahwasanya setiap harta yang tidak “dibersihkan” dengan jalan ibadah maka sesungguhnya harta tersebut tidak akan memenuhi kepuasaan batinya. Harta melimpah tidak menjadikan orang merasa nyaman dan tentram, melainkan perasaan khawatir, cemas karena takut kehilangan harta. Hal tersebut dikarenakan adanya sifat bakhil yang akarnya bersumber dari ketidak-ikhlasan untuk berbagi dari harta yang dimiliknya. Adanya perasaan bakhil ini memunculkan sifat tidak puas, merasa kurang dan tidak cukup. Pada akhirnya seseorang akan merasakan kesibukan luar biasa, tetapi kebutuhannya (ketidak-puasannya) tidak akan terpenuhi, maka persislah apa yang digambarkan dalam Hadist tersebut.
Wallahualam bishawab
0 komentar:
Posting Komentar