Hasil Sebuah Kejujuran
Konon di sebuah desa pinggiran kota hiduplah seorang pengembala miskin bernama Salim. Ia tinggal di sebuah gubuk reot bersama kedua orang tuanya. Setiap
pagi Salim menggiring kambing-kambingnya di tanggul sungai dekat
rumahnya yang subur ditumbuhi rumput hijau, sore menjelang maghrib
barulah pulang.
Walaupun
hidup miskin dan serba kekurangan, Salim memiliki sifat mulia yang
telah di tanamkan oleh kedua orangtuanya sejak ia masih kecil, yaitu
kejujuran. Kejujurannya yang tinggi membuat Salim disenangi banyak
orang, hingga ada seorang kaya di desa itu yang ikhlas membiayai
sekolahnya hingga tamat SMA. Setelah tamat SMA Salim memutuskan untuk
tetap tinggal di desa menemani kedua orangtuanya yang sudah tua dan
sakit-sakitnan.
Siang
itu Salim duduk di pinggir sungai memandangi kambing-kambingnya yang
sedang merumput, sesekali ia memandang air sungai yang mengalir dengan
tenang. Tiba-tiba matanya tertuju pada sesuatu di hulu sungai. Setelah
ia amati ternyata buah durian sebesar kepala mengapung terbawa arus.
“Wow! Durian!...” Salim langsung menceburkan diri ke sungai untuk mendapatkan buah itu.
Dibukanya durian itu, lalu ia melahapnya dengan nikmat. “Hmm, enak…pasti baru jatuh dari pohon”
Dalam waktu singkat durian itu hanya tinggal biji dan kulitnya. Salim kekenyangan, ia merebahkan tubuhnya di hamparan rumput.
Tiba-tiba
ia terngiang oleh ajaran orangtuanya,”Salim, Jangan sekali-kali kamu
makan sesuatu yang bukan hakmu. Itu haram! Makanan haram yang kamu makan
kelak di akhirat akan menjadi api yang membakar perutmu…” Salim
terhenyak sambil memegangi perutnya. Naluri kejujurannya membuat ia
gelisah,”Waduh, bagaimana kalau durian tadi ada yang punya?”
“Ah, aku kan tidak mencuri, aku hanya menemukan durian hanyut yang mungkin sudah direlakan oleh pemiliknya”
“Tapi,
bagaimana seandainya pemilik durian tidak rela? Celakalah aku! Perutku
akan dibakar api! Oooh…gara-gara sebuah durian membuatku menderita di
akhirat. Tidak! Aku tidak boleh tinggal diam. Akan kucari siapa pemilik
durian itu. Aku akan memohon agar ia mau merelakan buah durian yang
telah aku makan.”
Salim
segera menggiring kambing-kambingnya ke kandang. Ia menceritakan
kejadian itu pada orang tuanya serta memohon ijin. Setelah itu ia
berjalan menelusuri sungai. Matanya mencari-cari siapa tahu ada pohon
durian yang tumbuh di pinggir sungai. Setelah
sekian lama berjalan barulah Salim menemukan apa yang ia cari, sebuah
kebun yang ditumbuhi pohon-pohon durian dengan buahnya yang lebat.
“Assalamu ‘alaikum” sapa Salim kepada seorang laki-laki setengah baya yang sedang menyapu di dalam kebun durian.
“Wa’alikumussalam….” Jawabnya.
“Apakah Bapak yang memiliki kebun ini?”
“Betul, namaku Haji Abdulloh pemilik kebun di sekitar sini. Kamu siapa?”
“Saya
Salim dari desa sebelah….” Ia pun menceritakan kejadian yang berawal
dari ketika ia menemukan durian hanyut di sungai sampai perasaan berdosa
yang menghantuinya, hingga mendorongnya untuk mencari pemilik durian
itu dan memohon kerelaan atas durian yang telah ia makan. Haji Abdulloh
manggut-manggut mendengar penuturan Salim dari awal hingga akhir. Ia
salut akan kejujuran Salim. Dalam hati ia berkata,
“Hmm
baru kali ini aku melihat seorang pemuda yang benar-benar jujur dan
amanah. Sampai sejauh ini berjalan kaki, hanya untuk memohon kerelaanku
atas durian yang ia temukan di sungai dan telah habis ia makan.
Sebetulnya aku sudah merelakan semua buah-buahan di kebunku yang jatuh
dari pohon untuk diambil siapapun. Apalagi sudah hanyut di sungai. Tapi
baiklah, aku ingin menguji sampai dimana kejujuran dan kesungguhan dia
untuk meminta kerelaanku”
“Salim,
kalau memang kamu ingin mendapatkan kerelaan dariku, aku bersedia
mengikhlaskan buah durian yang telah kamu makan tetapi setelah kamu
melaksanakan syarat yang kuberikan.”
“Seberat apapun syaratnya, Insya Alloh saya sanggup melaksanakan, yang penting di akhirot kelak perut saya tidak dibakar api.”
“Baiklah, kamu harus membantu saya bekerja disawah dan merawat kebun ini selama satu tahun. Bagaimana?”
“Saya menerima syarat itu”
Keesokan
harinya Salim mulai bekerja membantu Haji Abdulloh. Selesai sholat
subuh ia sudah berangkat ke kebun Haji Abdulloh. Semua pekerjaan ia
lakukan dengan rajin, tekun dan penuh semangat seolah tidak mengenal
capek. Ia hanya beristirahat untuk sholat dan makan siang, lepas maghrib
barulah ia pulang. Kebun Haji Abdulloh terawat dengan baik. Salim tidak
menyadari bahwa diam-diam Haji Abdulloh selalu memperhatikan saat ia
bekerja. Ia kagum dengan kesungguhan salim dalam melaksanakan syarat
yang diberikannya, kerjanya keras, rajin dan tidak pernah mengeluh
sedikitpun.
“Tidak
seperti umumnya pemuda jaman sekarang, senang tidur, berfoya-foya,
hura-hura tapi malas bekerja. Mereka hanya menyusahkan orang tua, minta
uang seenaknya. Salim memang lain…”
Waktu
berjalan begitu cepat, setahun sudah Salim mengabdi pada Haji Abdulloh.
Namun Salim berniat ingin menambah pengabdian sebulan lagi sebagai
tanda syukurnya bahwa durian yang ia makan tahun lalu, akan mendapat
ridho pemiliknya. Selama bekerja pada Haji Abdulloh, Salim telah
meninggalkan kesan baik yang tidak bisa dilupakan olehnya.
“Kalau saja Salim mau, aku ingin ia tetap tinggal bersamaku selamanya…”
Haji
Abdulloh tidak bisa memungkiri dirinya bahwa ia telah terpikat oleh
kebaikan budi pekerti dan kejujuran Salim. Ia memutuskan untuk
menjadikan Salim menantunya. Istri Haji Abdulloh pun setuju. Namun
sekali lagi Haji Abdulloh ingin menguji kejujuran dan ketulusan hati Salim.
Suatu
sore ia memanggil Salim, “Salim, aku menyaksikan bahwa kamu telah
sungguh-sungguh melaksanakan syarat yang kuberikan selama satu tahun
bahkan kamu menambahkan lagi selama satu bulan. Namun aku belum sepenuhnya merelahkan durian itu sebelum kamu melaksanakan satu syarat lagi”
“Pak
Haji, saya sudah bertekad bahwa apapun syarat yang Pak haji berikan
Insya Alloh akan saya terima demi mendapat keridhoan dari Pak haji,
sehingga di akhirot kelak perut saya tidak dibakar oleh Alloh”
“Baiklah,
syarat berikutnya adalah kamu harus menikahi putriku yang sekarang
sedang menuntut ilmu di pondok pesantren. Tapi kamu harus tahu bahwa
putriku itu buta matanya, tuli dan bisu. Bagaimana?”
“Kalau memang dengan cara begitu Pak Haji bisa ridho, Insya Alloh akan saya jalani”
Akhirnya
pada saat yang ditentukan, pernikahan antara Salim dengan putri Haji
Abdulloh dilaksanakan. Para undangan memadati ruang tamu. Acara
pernikahan pun berlangsung tertib dan khidmat dengan menggunakan adat
Betawi. Wajah mempelai wanita tertutup rapat dengan pakaian adat. Selama
prosesi dilakukan dengan menggunakan isyarat karena diketahui bahwa
mempelai wanita kondisinya buta, bisu dan tuli.
Di
malam pengantin, jantung Salim berebar kencang. Para tamu sudah pulang,
Pak Haji dan istrinya terlelap karena kecapekan. Kini, didalam kamar
pengantin hanya tinggal Salim dan putri pak haji, tidak sepatah kata pun
keluar dari mulutnya. Dengan
berdebar-debar ia mendekati istrinya, ia telah mempersiapkan mental
untuk bisa menerima istri yang cacat. Dengan lembut ia membuka penutup
wajah istrinya, Lalu….
“Haah??...”
Salim terpengaruh demi melihat seorang gadis berparas cantik di
depannya, mata bersinar dengan bulu mata yang lentik…..
“Assalamu ‘alaikum suamiku. Alloh telah memilihku untuk menjadi istrimu. Aku siap melayanimu….”
Seorang
Salim yang jujur dan amanah bukan malah gembira melihat keadaan ini. Ia
takut. Jangankan menyentuh, mendekatpun tidak berani. Pikirannya
berkecamuk.
“Kenapa bisa begini? Istriku kan
buta, bisu dan tuli. Dan dia memang cantik dan sempurna tapi aku tidak
boleh melakukannya. Aku tidak mau berzina. Dia bukan istriku, siapa dia?
Mengapa berada dikamarku? Dimana istriku yang sebenarnya?”
Salim
menghambur keluar menuju teras rumah. Ia memikirkan kejadian yang baru
dialaminya, lalu ia tertidur sampai terdengar Adzan subuh. Ketika pak
haji membuka pintu untuk sholat subuh di masjid ia terkejut demi melihat
Salim meringkuk di atas kursi.
“Salim, bangun. Salim…”
“Oaaaahm, i-iya pak,” dengan mata yang masih mengantuk ia menceritakan kejadian semalam.
“Saya
tidak mengerti, kenapa semalam istri saya yang buta, bisu dan tuli
tidak ada di kamar, yang ada hanya seorang perempuan cantik yang
berusaha menggoda saya. Ini tidak lucu”
Haji Abdulloh tersenyum, ia bangga dengan kesucian hati Salim,”Fatimah! Kemarilah….”
Gadis cantik yang ditemuinya semalam muncul di hadapan Salim.
“Salim.
Fatimah adalah anak gadisku satu-satunya. Dialah istrimu sebenarnya.
Adapun aku mengatakan ia buta, bisu dan tuli hanyalah sekedar kiasan.
Selama ini putriku tinggal di pondok pesantren, ia buta dari
hiburan-hiburan televisi dengan acara yang mengarah pada kemaksiatan,
kemusyrikan dan kesesatan. Bisu dari pembicaraan jelek, mencela,
menghujat dan menfitnah. Dan ia tuli dari pendengaran yang maksiyat,
fitnah dan nyanyian-nyanyian syirik. Setiap hari ia hanya mendengar
ayat-ayat Alloh. Dia adalah Fatimah. Berbahagialah anakku. Fatimah,
Insya Alloh engkau akan menjadi seorang istri yang sholihat. Dan kau
Salim, Insya Alloh engkau akan menjadi suami yang baik dan
bertanggungjawab. Semoga Alloh menjadikan kalian keluarga yang sakinah.”
0 komentar:
Posting Komentar