Kalau Memang Tidak, Kenapa Ayam Tanya?
Coba lihat manusia makan.
Ada yang lembut, sopan seperti raja atau paling tidak pernah ikut sekolah pengembangan pribadi. Ada yang makannya berkecap-kecap, bersuara seperti kuda. Ada yang kalau makan terlihat serius. Ada yang tidak menengok ke kiri atau kanan dengan mata memelototi makanan seperti takut kehilangan lauknya.
Ada yang lembut, sopan seperti raja atau paling tidak pernah ikut sekolah pengembangan pribadi. Ada yang makannya berkecap-kecap, bersuara seperti kuda. Ada yang kalau makan terlihat serius. Ada yang tidak menengok ke kiri atau kanan dengan mata memelototi makanan seperti takut kehilangan lauknya.
Coba pandang manusia yang sakit perut.
Ada yang wajahnya tidak kentara walaupun sakitnya menyengat tiada tara. Ada yang mulutnya bilang “aduuh” dengan wajah kesakitan yang membingungkan orang di seputarnya.
Ada yang wajahnya tidak kentara walaupun sakitnya menyengat tiada tara. Ada yang mulutnya bilang “aduuh” dengan wajah kesakitan yang membingungkan orang di seputarnya.
Coba perhatikan manusia yang berdiri di halte bus.
Ada yang wajahnya seram seperti mau melahap orang. Ada yang wajahnya lembut bak orang tidak berdosa. Ada yang tersenyum seperti tidak ada derita. Ada yang nampak susah seperti punya beban berat tiada tara.
Ada yang wajahnya seram seperti mau melahap orang. Ada yang wajahnya lembut bak orang tidak berdosa. Ada yang tersenyum seperti tidak ada derita. Ada yang nampak susah seperti punya beban berat tiada tara.
Coba saksikan manusia yang akan menuju alam baka.
Ada yang lembut, seperti tidak ada bedanya antara hidup dan mati. Ada yang matanya melotot, mulut berbusa seperti ayam. Ada yang mati di tempat tidur, tersenyum simpul. Ada yang mati mengerikan terpotong-potong seperti rajangan ayam.
Ada yang lembut, seperti tidak ada bedanya antara hidup dan mati. Ada yang matanya melotot, mulut berbusa seperti ayam. Ada yang mati di tempat tidur, tersenyum simpul. Ada yang mati mengerikan terpotong-potong seperti rajangan ayam.
Coba intip manusia di kota yang sedang bertegang otot leher.
Ada yang bilang “anjing”. Ada yang bilang “babi”. Ada yang tangannya sudah mendarat di kepala orang. Namun ada pula yang berusaha menahan diri.
Ada yang bilang “anjing”. Ada yang bilang “babi”. Ada yang tangannya sudah mendarat di kepala orang. Namun ada pula yang berusaha menahan diri.
Coba lihat manusia kelaparan di Afrika.
Ada yang kurus kering dan perutnya besar. Ada yang matanya melotot. Ada yang tulangnya bersembulan dari balik kulitnya yang tipis.
Ada yang kurus kering dan perutnya besar. Ada yang matanya melotot. Ada yang tulangnya bersembulan dari balik kulitnya yang tipis.
Coba tengok orang mencari rezeki.
Ada yang “makan sana makan sini”, serakah, tidak tahu baik-buruk. Ada yang pelan, mantap, tidak lupa “kiri kanan”.
Ada yang “makan sana makan sini”, serakah, tidak tahu baik-buruk. Ada yang pelan, mantap, tidak lupa “kiri kanan”.
“Itulah berbagai ragam polah manusia sehari-hari. Ada yang benar-benar
seperti manusia. Ada pula yang seperti ‘binatang yang bisa bicara’.
Tapi kalau diamati, kebanyakan manusia tidak bisa meninggalkan sifat
binatangnya. Karena alasan itu, dunia ini boleh diibaratkan sebagai
kebun binatang besar,“ renung Jon Balekon sambil tersenyum.
Jon Balekon pun lantas tertidur. Dan dalam tidurnya ini dia
bermimpi mengunjungi Kebun Binatang Ragunan. Mendatangi kandang demi
kandang menengok beragam jenis binatang.
Di salah satu kandang, dia berjumpa dengan binatang yang tubuh dan wajahnya relatif mirip dengan manusia. Itulah monyet.
“Apakah kamu juga monyet seperti saya, Jon Balekon? Lagak tingkahmu koq seperti aku,” kata monyet.
Jon Balekon kaget disapa monyet dengan menyebut namanya.
“Ah ya tidak tho nyet. Coba saja lihat, saya kan tidak berbunyi
nguk-nguk seperti kamu. Coba saja lihat, saya bisa bebas pergi
ke mana-mana tidak dikerangkeng seperti kamu,”
jawab Jon Balekon lalu
pergi. Agak sebal juga dia ditanya seperti itu.
“Jon, jon, kamu koq sebal sama monyet sih?” sapa hati Jon Balekon.
Tak mau menggubris kata hati, Jon Balekon pergi ke kandang kuda. Kuda
yang ada di situ sedang makan dengan lahapnya. Matanya terlihat melotot
serius.
Melihat Jon Balekon menghampiri, sang kuda berhenti makan. Hewan itu kemudian tersenyum, mengenalkan diri dan bertanya,
“Jon Balekon, saya ini kuda. Saya masuk ke kebun binatang ini karena
saya lulus kontes kuda tampan se-Jawa. Hei Jon, apakah kamu kalau makan
juga seperti aku…. ?”
Jon Balekon kaget ditanya seperti itu. Lebih heran lagi si kuda juga kenal namanya.
“Kamu ini kan kuda, sombong amat mengaku tampan. Kalau tanya jangan
macam-macam!” kata Jon Balekon dengan sebal lagi sambil “ngeloyor”
pergi.
“Wah, saya selalu ditanya apakah ulah saya mirip ulah mereka… Apakah di
mata mereka saya memang seperti demikian, ya?” pikir Jon Balekon.
Jon Balekon lalu pergi ke kandang ayam. Eh, di situ ada ayam
jantan sedang mengejar ayam betina. Benar-benar seru karena ayam
betina berusaha menghindar sementara ayam jantan sangat bernafsu ingin
mengawininya.
Melihat adegan itu, Jon Balekon tidak jadi ke kandang ayam. Ia malu
kalau ditanya oleh ayam apakah dia juga seperti mereka. Suka mengejar
perempuan tanpa menghiraukan lingkungan.
“Tiiidaaakkkkk, tiiidakkk aku tak mau seperti ayam. Tidakkkkkk…………,”
Jon Balekon lalu terbangun dari tidurnya.
“Ah aku bukan monyet, bukan kuda dan bukan ayam,“ katanya lega sambil mengusap liur di pipinya.
0 komentar:
Posting Komentar