Selasa, 31 Maret 2015

Kerikil Dalam Sepatu

Sedih Tanpa Alasan



Adakah kesedihan tanpa alasan? Sebetulnya tidak ada, walau gejala serupa seolah-olah ada. Murung di tempat kerja misalnya, atau bangun tidur dan lesu berkepanjangan bukan karena fisik yang tak enak, tetapi lebih karena perasaan yang tak enak. Padahal hari itu, tak ada yang perlu benar-benar dikeluhkan. Hidup sedang baik-baik saja, tetapi kenapa perasaan ini tidak bergairah juga? Inilah yang sering dicurigai sebagai kesedihan tanpa alasan!

Padahal alasan itu sesungguhnya ada. Tidak ada sedih dan kemurungan yang lahir begitu saja. Hanya karena bentuknya yang beragam, kadarnya yang berbeda-beda, ada yang kecil ada yang besar, kita sering dikacaukan oleh anggapan bahwa kesedihan itu, seolah-olah harus disebabkan oleh sebab-sebab yang besar saja. Kepada sebab-sebab yang kecil dan sederhana, kita jarang mau mengakui, atau malu mengakui. Karena betapa tidak gagah untuk mengakui ketersinggungan hanya karena seseorang kedapatan main klakson sembarangan di belakang motor atau mobil kita.

Klakson itu begitu kasarnya sehingga urusannya bukan lagi pekak di telinga melainkan pekak di hati. Tafsirnya bisa membesar dan makin membesar tergantung siapa kita ini dan dengan cara apa kita melabeli diri sendiri. Makin besar dan makin mahal label yang kita pajang, makin besarlah ketersinggungan ini. Tapi ini jalan raya, semua orang boleh menglakson dan diklakson, tanpa harus melihat dulu apakah kita ini seorang menteri atau walikota.

Cukup hanya dengan rasa direndahkan tanpa sengaja ini, di kantor kita bisa uring-uringan, dan di rumah masih disambung dengan membanting gelas. Jika ini belum meredakan kemarahan, singkirkan segera kucing piaraan karena ia bisa menjadi korban tendangan. Itulah yang sering disebut sebagai sedih tanpa alasan. Sebetulnya alasan itu jelas, tetapi terlalu kecil untuk diakui, terlalu mengada-ada untuk didiskusiksan. 


Sebab kecil inilah yang kemudian menjadi kerikil dalam sepatu dan menjadi kelilip di pelupuk mata. Ia kecil tetapi mengganggu karena berada di tempat yang peka. Tidak ada jalan lain untuk mengatasi persoalan ini kecuali dengan cara mengoperasinya.
Bagaimana caranya? Relatif mudah: 

kurangi rasa penting bagi diri sendiri dan tambahkan rasa penting bagi pihak lain. Pindahkan pikiran kita pada sudut kepentingan pihak lain. Hampir semua sumber kemurungan seperti ini biasanya karena prioritas kita terlalu memusat pada diri sendiri. Cuma karena atasan sedang tidak ramah saja langit menjadi mendung seharian bagi kita yang bawahan. Kini jelas, pusat itu ada pada kebutuhan Anda mendapat keramahan. 

Sekarang pindahkan saja pusat kebutuhan itu ke pihak atasan. Bayangkan bahwa ia sedang butuh tidak ramah karena sebuah tekanan, maka lihatlah, kemurungan Anda akan berganti dengan sikap toleran. Begitu juga kalau Anda adalah seorang atasan yang marah melihat karyawan pemalas. Kemalasan itu pasti terkait pada asumsi, bahwa orang ini dibayar, tetapi tidak berguna bagi perusahaan. Sekarang ubahlah asumsi itu, bayangkan betapa berat menjadi karyawan. Dengan kerja seberat itu, dengan penghasilan seperti itu, maka menjadi malas adalah satu-satunya hiburan. 

Targetnya bukan Anda sedang diminta mentolerir kemalasan, melainkan untuk menjadi lebih kuat di hadapan tekanan.

___

Oleh Prie GS
[Prie GS adalah seorang budayawan dan penulis buku "Catatan Harian Sang Penggoda Indonesia". Saat ini, ia tinggal di Semarang, Jawa Tengah.]

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Press Release Distribution