Enam Adab Muslim Dalam Urusan Hutang-Piutang
Utang Piutang merupakan
aktifitas yang tidak mungkin dihindari dalam kehidupan banyak orang.
Islam membolehkan utang-piutang tapi dengan ketentuan sebagai berikut:
Pertama, orang yang ingin
berutang hendaklah benar-benar karena terpaksa. Sebab menurut
Rasulullah, utang merupakan penyebab kesedihan di malam hari dan
kehinaan di siang hari.
Bahkan beliau pernah menolak menshalatkan
jenazah seseorang yang diketahui masih meninggalkan utang dan tidak
meninggalkan harta untuk membayarnya.
Rasulullah bersabda,
“Akan diampuni orang yang mati syahid semua dosanya, kecuali utangnya.” (Riwayat Muslim).
Kedua, orang yang
berutang hendaknya ada niat yang kuat untuk mengembalikan. Orang yang
memiliki niat seperti ini akan ditolong oleh Allah Subhanahu Wata’ala.
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Nabi Subhanahu Wata’ala bersabda:
“Barangsiapa
yang mengambil harta orang lain (berutang) dengan tujuan untuk
membayarnya (mengembalikannya), maka Allah subhanahuwata’aala akan
tunaikan untuknya. Dan barangsiapa mengambilnya untuk menghabiskannya
(tidak melunasinya, pent), maka Allah akan membinasakannya.” (Riwayat Bukhari)
Ketiga, harus ditulis dan
dipersaksikan. Dua pihak yang melakukan transaksi utang piutang
hendaknya menulis dan dipersaksikan oleh orang lain. Hal ini dijelaskan
dalam firman Allah Surat al-Baqarah [2] ayat 282.
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat ini
sebagai petunjuk dari Allah subhanahu Wata’ala jika ada pihak yang
bermuamalah dengan transaksi non tunai, hendaklah ditulis, agar lebih
terjaga jumlah, waktu dan lebih menguatkan saksi.
Keempat, pemberi utang
tidak boleh mengambil keuntungan atau manfaat dari orang yang berutang.
Hal ini karena tujuan dari pemberi pinjaman adalah mengasihi si peminjam
dan menolongnya, bukan mencari kompensasi atau keuntungan. Bahkan
dianjurkan memberi penangguhan waktu kepada orang yang sedang kesulitan
dalam melunasi utangnya setelah jatuh tempo.
Hal ini berdasar firman
Allah dalam Al-Baqarah ayat 280 serta sabda Rasulullah yang berbunyi,
”Barangsiapa
ingin dinaungi Allah dengan naungan-Nya (pada hari kiamat, pent), maka
hendaklah ia menangguhkan waktu pelunasan utang bagi orang yang sedang
kesulitan, atau hendaklah ia menggugurkan utangnya.” (Riwayat Ibnu Majah)
Kelima, orang yang
berutang hendaknya segera melunasi utangnya jika sudah mempunyai uang
dan memberikan hadiah kepada yang memberi pinjaman. Rasulullah bersabda,
“Menunda (pembayaran) bagi orang yang mampu merupakan suatu kezaliman.”
(Riwayat Bukhari).
Setelah itu dianjurkan memberi hadiah.
Dalam sebuah riwayat dari Abu Hurairah disebutkan bahwa Rasulullah
mempunyai utang kepada seseorang berupa seekor unta dengan usia
tertentu. Orang itupun datang menagihnya. (Maka) beliaupun berkata,
“Berikan kepadanya” kemudian mereka mencari yang seusia dengan untanya,
akan tetapi mereka tidak menemukan kecuali yang lebih berumur dari
untanya. Nabi (pun) berkata, “Berikan kepadanya.” Dia pun menjawab,
“Engkau telah menunaikannya dengan lebih. Semoga Allah membalas dengan
setimpal”. Maka Nabi bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang
paling baik dalam pengembalian (hutang).” (Riwayat Bukhari)
Keenam, jika orang yang
berutang tidak mampu mengembalikan, boleh mengajukan pemutihan dan juga
mencari perantara untuk memohonnya.
Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata,
“(Ayahku) Abdullah meninggal dan dia meninggalkan banyak anak dan
utang. Maka aku memohon kepada pemilik utang agar mereka mau mengurangi
jumlah utangnya, akan tetapi mereka enggan. Akupun mendatangi Rasulullah
meminta syafaat (bantuan) kepada mereka. (Namun) merekapun tidak mau.
Beliau berkata, “Pisahkan kormamu sesuai dengan jenisnya. Tandan Ibnu
Zaid satu kelompok. Yang lembut satu kelompok, dan Ajwa satu kelompok,
lalu datangkan kepadaku.” (Maka) akupun melakukannya. Beliau pun datang
lalu duduk dan menimbang setiap mereka sampai lunas, dan kurma masih
tersisa seperti tidak disentuh.” (Riwayat Bukhari).
Orang yang berutang hendaknya ada niat yang kuat untuk mengembalikan.
Orang yang memiliki niat seperti ini akan ditolong oleh Allah Subhanahu
Wata’ala
http://www.hidayatullah.com
0 komentar:
Posting Komentar