Kenali Cara Allah SWT Mewujudkan Harapan Kita
Jika keyakinan adanya kehidupan lain setelah kehidupan di dunia ini
terpatri, sungguh tidak akan ada ruang bagi kita untuk berhenti berharap.
HIDUP manusia bisa diibaratkan sebatang
rokok. Api rokok adalah semangat yang membutuhkan waktu untuk membakar
batang rokok. Abu rokok adalah kegagalan yang jatuh ke bawah dalam upaya
mengeluarkan asap rokok yang membumbung tinggi ibarat sebuah cita-cita.
Begitulah manusia hidup, butuh waktu, punya semangat, dan kadangkala
mengalami kegagalan dalam menggapai cita-citanya. Tidak ada kesuksesan
hidup yang digapai secara instan.
Untuk menggapai cita-cita, tujuan, atau
harapan dalam hidupnya manusia senantiasa berusaha (ikhtiar). Agar
usahanya terasa maksimal, dibuatlah berbagai program, target, atau
langkah-langkah yang ditempuh. Namun kenyataan hidup mengajarkan, apa
yang dilakukan kadangkala tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Usaha
tidak sebanding dengan hasil yang diinginkan. Rencana dan target
kehidupan, hasilnya jauh diluar perkiraan. Inilah yang kita sebut dengan
satu kata: kegagalan!
Memaknai Kegagalan
Kegagalan adalah bukti bahwa manusia
memiliki keterbatasan dan kelemahan. Manusia hanya wajib berusaha tetapi
tidak wajib untuk berhasil. Manusia boleh berencana, namun garis
(takdir) kehidupan telah punya rencananya sendiri. Di sini, kegagalan
dalam hidup mengajarkan satu hal kepada kita, bahwa kita manusia adalah
makhluk yang jauh dari kesempurnaan. Yang sempurna hanyalah pemilik diri
dan jiwa manusia, dialah Allah SWT.
Di saat kegagalan sebagai akhir dari usaha
yang didapatkan, suasana yang menyelimuti diri adalah resah, kecewa,
bahkan putus asa. Kondisi saat itu memerlukan tempat kita bersandar,
nasihat yang memotivasi, dan kekuatan untuk bangkit kembali. Sehingga
harapan-harapan baru muncul sebagai pemantik potensi yang kembali
melahirkan aksi. Disinilah rekonstruksi visi sangat penting sekali. Visi
hidup, terutama sebagai Muslim sejati, tidak terbatas di dunia ini tapi
jauh menembus kehidupan ukhrawi.
Jika keyakinan adanya kehidupan lain
setelah kehidupan di dunia ini terpatri, sungguh tidak akan ada ruang
bagi kita untuk berhenti berharap atau berputus asa. Karena pergantian
waktu senantisa memberi nasihat, bahwa harapan masih ada jika nafas dan
kesadaran masih ada. Berhenti berharap, larut dalam alunan
keputus-asaan, adalah sebuah dosa dan bentuk mentalitas kekufuran (QS.
Yusuf: 87).
Padahal janji Allah SWT terhadap insan yang senantiasa menjaga harapan telah dinyatakan. Allah SWT berfirman:
“Berharaplah kepada-Ku, niscaya Aku
perkenankan harapanmu sekalian.” (QS. Almukmin: 60). Allah SWT akan
mengabulkan harapan bagi siapa saja yang berharap hanya kepada-Nya (QS.
Al Baqarah: 186).
Cara Allah SWT mewujudkan harapan
Persoalannya, yang sering alfa dalam
pengetahuan sebagian orang adalah, bagaimana Allah SWT memperkenan atau
mewujudkan harapan-harapan itu? Pemahaman terhadap jawaban pertanyaan
ini penting, agar terhindar dari prasangka buruk (su’uzzhan) terhadap
diri apatah lagi terhadap Allah SWT.
Dalam hadits riwayat Ahmad dan al-Hakim
dari Abu Sa’id dijelaskan oleh Rasulullah SAW tiga cara Allah SWT
mengabulkan setiap harapan atau do’a hamba-Nya. Dengan catatan, seorang
hamba tersebut tidak memutuskan hubungan silaturrahim dan melakukan dosa
besar. Cara Allah SWT mengabulkan harapan (do’a) tersebut adalah:
Pertama, harapan itu langsung dikabulkan atau dalam waktu yang tidak berapa lama.
Di antara golongan manusia yang mendapat prioritas cepatnya terkabul
harapannya, sesuai dengan beberapa penjelasan hadits Rasulullah SAW
yaitu orangtua, orang yang teraniaya, pemimpin yang adil, juga harapan
kebaikan dari seseorang kepada orang lain yang jauh dari dirinya.
Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah seorang Muslim mendo’akan saudaranya
yang tidak berada dihadapannya, melainkan malaikat akan berkata: ‘Dan
engkau juga mendapatkan yang seperti itu.” (HR. Muslim).
Kedua, harapan itu ditunda di dunia dan
menjadi tabungan pahala yang akan diterima di akhirat nanti. Seringkali
misalnya, keadilan di dunia sulit didapatkan, namun percayalah keadilan
akhirat pasti ada. Pengadilan akhirat tidak pernah pandang bulu bahkan
menerima sogokan dalam memvonis kasus kehidupan di dunia. Kesadaran ini
seharusnya memupuk optimis atau harapan dalam hidup. Sebab, senantiasa
berharap (raja’) atas nikmat dan ridho dari Allah SWT merupakan akhlak
yang terpuji yang mampu memupuk keimanan dan mendekatkan diri seorang
hamba kepada-Nya. Hasil kebaikan ini senantiasa akan mendapatkan
balasannya. Tidak di dunia, di akhirat pasti.
Ketiga, dijauhkan dari keburukan yang
sebanding dengan harapan itu. Dengan kata lain, Allah SWT mengabulkan
harapan dengan mengganti sesuatu yang tidak pernah kita bayangkan, yaitu
terhindar dari musibah yang seharusnya menimpa kita. Atau mengganti
harapan itu dengan sesuatu yang tidak pernah kita harapkan. Mengapa?
Karena Allah SWT lebih tahu apa yang terbaik bagi kehidupan hamba-Nya
(QS. Al Baqarah: 216). Sebab, Dia-lah zat yang menguasai yang awal, yang
akhir, yang zahir, yang bathin, dan Maha Mengetahui segala sesuatu (QS.
Al Hadid: 3).
Rencana Allah SWT lebih hebat
Apa yang diharapkan oleh seorang hamba
boleh jadi hal itu sesuatu yang buruk baginya. Sebaliknya, apa yang
tidak diharapkan boleh jadi itulah yang terbaik untuk kita.
Perhatikanlah firman Allah SWT yang mulia ini.
Ùƒُتِبَ عَÙ„َÙŠْÙƒُÙ…ُ الْÙ‚ِتَالُ ÙˆَÙ‡ُÙˆَ ÙƒُرْÙ‡ٌ
Ù„َّÙƒُÙ…ْ ÙˆَعَسَÙ‰ Ø£َÙ† تَÙƒْرَÙ‡ُواْ Ø´َÙŠْئاً ÙˆَÙ‡ُÙˆَ Ø®َÙŠْرٌ Ù„َّÙƒُÙ…ْ ÙˆَعَسَÙ‰
Ø£َÙ† تُØِبُّواْ Ø´َÙŠْئاً ÙˆَÙ‡ُÙˆَ Ø´َرٌّ Ù„َّÙƒُÙ…ْ ÙˆَاللّÙ‡ُ ÙŠَعْÙ„َÙ…ُ ÙˆَØ£َنتُÙ…ْ
لاَ تَعْÙ„َÙ…ُونَ
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal
itu baik bagimu. Dan boleh jadi kamu mencintai sesuatu, padahal itu
amat buruk bagimu. (Mengapa?) Allah maha mengetahui, sedangkan kamu
tidak mengetahui.” (QS. Albaqarah: 216).
Ayat ini mengajarkan kepada kita bahwa,
rencana Allah SWT terhadap diri kita lebih hebat dari rencana yang kita
buat. Oleh sebab itu, logis jika kita dilarang berhenti berharap karena
hal itu tidak akan mendatangkan kebaikan apapun.
Ada di antara kita, bahkan boleh jadi kita
pernah melakukannya. Mengeluh dan dengan tega mengatakan: “Saya tidak
memiliki apa-apa dan siapa-siapa lagi dalam hidup ini”.
Padahal, bumi masih gratis untuk kita
pijak. Langit tidak dibayar memayungi kita. Oksigen masih tersedia untuk
nafas kita. Angin masih kita rasakan hembusannya. Waktu masih tersisa
untuk berkarya. Raga masih ada bukti kita nyata. Lalu, pantaskah kita
mendustakan nikmat Allah SWT tanpa ada alasan? Allah SWT berulang kali
mempertanyakan persoalan ini agar kita senantiasa bersyukur dan berpikir
(perhatikan QS. Ar Rahman).
Segalanya Indah
Akhirnya, kehidupan yang kita lalui akan
senantiasa bermuara kepada dua hal, yakni bahagia dan kecewa. Begitulah
kodrat perasaan manusia. Namun rasa bahagia dan kecewa bisa
menjerumuskan manusia ke dalam kubang kemaksiatan bila hal itu tidak
disikapi dengan bijak. Karenanya, seorang Muslim harus mampu menjaga
keadaan dirinya dalam kondisi apapun untuk senantiasa menumbuhkan ladang
kebaikan dan pahala. Caranya, senantiasa berdzikir dengan menjadikan
sabar dan shalat sebagai perantara untuk menghadirkan pertolongan Allah
SWT (QS. Albaqarah: 153).
Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW
bersabda: “Sungguh menakjubkan perkara orang-orang mukmin. Karena segala
urusannya merupakan kebaikan. Ketika mendapat nikmat ia bersyukur,
karena bersyukur itu baik baginya. Ketika mendapatkan musibah ia
bersabar, karena sabar itu juga baik bagi dirinya.”
Dengan kata lain, perkara apapun bagi
seorang mukmin sejati, seluruhnya menjadi indah di hati. Semoga Allah
SWT membantu kita merealisasikannya dalam kehidupan ini. Insya Allah!
Wallaahu a’lam.
E-mail: lidusyardi@yahoo.co.id
0 komentar:
Posting Komentar