Kamis, 05 Maret 2015

Kebaikan Sebaiknya All Out

All Out Dalam Kebaikan

Menjadi yang terbaik adalah dambaan setiap manusia. Apapun pekerjaan yang dilakoni, biasanya pemangku the best itu yang pertama kali disorot.


Sebagai contoh, misalnya, menjadi siswa terbaik di sekolah, menjadi karyawan terbaik di perusahaan, atau menjadi suami dan ayah terbaik bagi istri dan keluarga di rumah. Bahkan para ahli menyimpulkan, dalam proses kelahiran manusia, maka sperma terbaiklah yang menjadi pemenang dari sekian jutaan sperma-sperma lainnya ketika itu. Sperma terbaik itulah yang berhasil menikahi sel telur wanita hingga akhirnya menjadi cikal bakal manusia selanjutnya.

Dalam syariat Islam, menjadi yang terbaik ternyata tak sekedar fitrah dan naluri manusia belaka. Ia juga menjadi perintah yang tersirat dalam firman Alah;

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ

“Yang menjadikan kematian dan kehidupan, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang terbaik amalnya, dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS: al-Mulk [67]: 2).

Meski demikian, hal itu tentu tak semudah membalik telapak tangan semata. Sebab ayat di atas juga menyimpan pesan tersirat kepada setiap Muslim, untuk fokus pada usaha yang maksimal tanpa menafikan hasil yang akan diperoleh. Suatu perbuatan tak mungkin menjadi terbaik jika ia berangkat dari ketidakseriusan berbuat. Ia bisa menjadi baik jika perbuatan tersebut benar-benar tulus diniatkan lalu diiringi dengan usaha yang maksimal dalam berbuat.

Rasanya sulit membayangkan ketika ada seorang hamba yang mengaku bisa khusyuk dalam shalatnya, misalnya. Sedang ia sendiri ternyata ogah dalam mengerjakan ibadah shalat tersebut. Sebagaimana seseorang jangan bermimpi bisa langsung lancar membaca Al-Qur’an kalau ia sendiri selama ini malas-malasan mengaji di rumah atau di masjid.

Fenomena gaya hidup instan yang terjadi di tengah masyarakat hendaknya menjadi perhatian serius setiap Muslim. Rupanya budaya yang lahir peradaban Barat itu –sadar atau tidak sadar- menggerus pemahaman umat Islam secara perlahan. Hari ini tak banyak kita temukan seseorang yang mampu bertahan dalam “kepayahan” sebuah proses perbuatan.

Kini para orangtua dipaksa mengurut dada ketika mendapati anak-anaknya memilih narkoba sebagai pelampiasan dari kesulitan mereka belajar di sekolah. Tawuran justru menjadi alternatif pilihan para pelajar sekarang. Padahal boleh jadi hal itu hanya dipicu oleh persoalan sepele atau kesalahpahaman saja.

Sebenarnya, tak ada yang keliru dengan kemajuan teknologi dan informasi yang begitu pesat saat ini. Tak ada yang salah dengan perkembangan sains yang menjadikan segala urusan menjadi mudah dan instan. Namun ia berubah menjadi masalah jika ternyata hal itu menjadikan umat Islam kehilangan etos kerja dan spirit bermujadahah. Hal itu menjadi bumerang yang melukai jika kaum muslimin malah terjangkiti virus malas berusaha sedang ia berharap hasil yang terbaik selalu. Sebab secara umum, mujahadah yang maksimal berbanding lurus dengan hasil terbaik yang dimimpikan selama ini.

Keikhlasan dalam berinfak, misalnya, itu datang dari latihan memberi yang berlangsung terus menerus. Ia memberi di saat lapang sebagaimana infak itu tak pudar meski dalam keadaan susah dan sempit. “Sirran” dan “alaniyah”, demikian Allah menyifati mujahadah dalam urusan berinfak guna mencapai kualitas infak terbaik tersebut.

Bahwa perintah itu berlaku meski terkadang ia sendiri sangat butuh dengan uluran tangan orang lain. Sebagaimana kenikmatan dan kekhusyukan shalat tersebut mampir setelah seorang hamba jatuh bangun menegakkan shalat wajib secara berjamaah dan senantiasa memelihara shalat shalat sunnah lainnya.

Paradigma ibadah akan berubah dengan sendirinya dalam diri seorang hamba, dari sebuah kewajiban menjadi suatu kebutuhan.

Tentunya (sekali lagi) hal tersebut tidak lahir secara tiba-tiba. Ia bermula dari proses kesadaran yang panjang. Dari kebiasaan yang terus dilatih selama bertahun-tahun. Hingga akhirnya ibadah shalat itu benar-benar menjadi amalan terbaik yang hanya dipersembahkan kepada Allah Sang Pencipta semata. 

Pun demikian dengan seluruh amalan-amalan yang lain, ia bisa menjadi amalan terbaik jika melewati proses mujahadah dan kesungguhan (all out) dalam berbuat kebaikan.

Paradigma ibadah akan berubah dengan sendirinya dalam diri seorang hamba, dari sebuah kewajiban menjadi suatu kebutuhan




0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Press Release Distribution