Menjaga Keseimbangan (Tawazun)
Manusia memiliki tiga dimensi dalam hidupnya: dimensi fisik, dimensi
akal, dan ruhani. Dimensi fisik sedemikian mudah dikenali dan dirasakan
secara kasat karena kondisi fitrahnya demikian. Sedangkan dimensi akal
dan dimensi ruhani tak tampak (unseen) karena memang tak dapat dilihat
dengan mata telanjang. Namun, kewujudannya bisa dirasakan, baik oleh
individu yang bersangkutan maupun oleh orang lain melalui interaksi jiwa
dan pandangan-pandangan pemikirannya.
Kondisi fisik, akal, dan jiwa merupakan satu kesatuan dalam diri
manusia. Sedangkan manusia itu sendiri secara fitrah terikat dengan
Islam yang sudah dijamin oleh Allah SWT mengenai keterkaitan keduanya,
sebagaimana tertera dalam surah Ar-Ruum ayat 30, “Maka hadapkanlah
wajahmu dengan lurus kepada dien yang hanif (agama Allah); tetaplah atas
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia dengan fitrah itu. Tidak
ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus; tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.”
Ayat tersebut menyiratkan bahwa manusia diciptakan sesuai dengan
fitrah Allah (sunnatullah, secara umum sebagian manusia menyebutkan
“hukum alam”). Dengan demikian dapat pula ditarik keyakinan bahwanya
tidak ada manusia yang tak beragama. Karena pada faktanya manusia
membutuhkan sandaran hidup yang tak tampak itu. Manusia selalu mencari
kekuatan gaib yang dianggap menguasai alam semesta ini.
Ketiga dimensi yang terdapat dalam diri setiap manusia itulah yang
semestinya dapat menyeimbangkan hidupnya; jangan sampai ada salah satu
dimensi yang ditentangkan dengan dimensi lainnya. Misalnya orang yang
hanya mementikan masalah fisik atau jasadnya semata, sementara akal dan
jiwanya tak dirawat atau dioptimalkan untuk mendukungnya, maka akan
terjadi keabnormalan hingga kebinasaan.
Dimensi akal dan jiwa memang, seperti disinggung di atas, tidak
tampak secara kasat mata, namun dapat dirasakan keberadaannya. Jika
untuk mendeteksi masalah jasad kita dapat merasakannya langsung saat
kita merasa lapar, maka untuk mendeteksi akal dan jiwa kita dapat
merasakannya dengan rasa takut, gembira, sedih, kreatif, dan sebagainya.
Baik jasad, akal, dan jiwa, ketiganya membutuhkan asupan atau
santapan yang secara fitrah pula telah Allah takdirkan bagi makhluk-Nya.
Manusia sangat membutuhkan asupan makanan dan minuman untuk menghindari
diri dari kebinasaan. Meski terdapat banyak sumber makanan yang
melimpah di dunia ini, namun Allah yang Maha Mengetahui menitahkan
manusia untuk menyediakan makanan dan minuman yang baik lagi halal
(halalan thayyiban) sebagaimana firman-Nya, “Wahai manusia, makanlah
dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah
kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang
nyata bagimu.”
Untuk orang-orang yang sudah memiliki keimanan, pada ayat 172 surah
Al-Baqarah, Allah SWT juga menyeru, “Wahai orang-orang yang beriman!
Makanlah dari rezeki yang baik yang Kami berikan kepada kamu dan
bersyukurlah kepada Allah jika kamu hanya menyembah kepada-Nya.”
Orang-orang beriman, karena kesadarannya, akan memenuhi persyaratan
asupan makanan dan minuman yang semestinya masuk ke dalam jasadnya,
yaitu yang baik dan halal. Keduanya jadi satu kesatuan yang utuh. Bukan
hanya makanan itu dinilai baik oleh pandangan manusia, tapi juga baik
dan halal dalam pandangan Allah SWT.
Jika makanan yang secara material tampak kasat mata, itu untuk
memuaskan atau demi melestarikan kelangsungan hidup manusia, maka
kelangsungan akal dan jiwa manusia juga harus tetap terawat. Sebab, jika
dua dimensi ini tidak dirawat dan diperhatikan dengan baik sebagaimana
perawatan jasadnya, maka dipastikan akan menuai ketidaksehatan dalam
hidup seseorang.
Out put dari tidak diperhatikannya akal dan jiwa antara
lain dapat dilihat dari sifat dan sikap seseorang. Orang yang
menggunakan akal dan jiwanya melalui panduan yang diajarkan Allah dan
Rasul-Nya, maka ia akan selamat. Hidupnya seimbang (tawazun).
0 komentar:
Posting Komentar