Jangan Menimbun Harta
Suatu hari Rasulullah SAW menyapa Abu Dzar r.a. beliau pegang
tangannya lalu bersabda, “Wahai Abu Dzar sesungguhnya di antara kedua
tanganmu ada bukit penghalang. Ia sukar untuk didaki kecuali orang yang
ringan bawaannya.”
Abu Dzar bertanya, “Wahai Nabi, apa aku termasuk yang ringan atau
berat bawaanku?” Nabi bertanya, “Adakah kau punya makanan untuk besok
pagi?” “Ada,” jawab Abu Dzar “Untuk lusa?” “Tidak ada,” jawab Abu Dzar. Nabi SAW bertutur, “Andai
kau punya makanan untuk lusa, niscaya termasuk orang yang berat
bawaannya.” (Hadits dari Anas bin Malik)
Bila para pejabat membaca hadits ini dengan hati, niscaya dia tidak
akan korupsi, memakan harta rakyat. Akan tetapi, kondisi sekarang sudah
sangat menyedihkan. Di negeri mayoritas muslim ini, korupsi sudah biasa.
Mereka mengumpulkan harta dengan segala cara. Para koruptor seakan
menutup mata dengan perbuatannya.
Nasihat Rasulullah SAW di atas jika dikaitkan dengan kondisi
masyarakat sekarang sungguh berat. Kriteria orang yang menimbun harta
dikatakan mempunyai perbekalan makanan untuk hari lusa. Katakanlah, jika
dilakukan ijtihad dengan mempertimbangkan kondisi di zaman sekarang,
persediaan makanan untuk besok hari setara dengan sebulan persediaan.
Itu pun masih banyak orang yang mempunyai kondisi seperti itu. Alangkah
beratnya beban yang ada di pundaknya.
Diibaratkan kelak di alam akhirat masing-masing orang mendapatkan
halangan berupa sebuah bukit yang sukar untuk didaki kecuali yang tidak
mempunyai beban. Siapa yang bawaannya paling ringan, ia akan cepat dan
mudah menyelesaikan halang-rintangnya. Orang yang bawaannya berat
niscaya akan tertinggal dan kepayahan. Bahkan jika saking banyaknya bisa
jadi ia tidak bisa melalui rintangan karena beratnya beban yang dibawa.
Beban yang dimaksud adalah harta benda yang ditimbun selama di dunia.
Ukuran menimbun barang adalah menyimpan barang di luar kebutuhan yang
semestinya. Oleh Rasulullah SAW dikatakan kebutuhan makan besok hari. Di
luar besok alias lusa, jika seseorang masih mempunyai persediaan barang
dikatakan ia telah menimbun. Timbunan itu akan memperberat beban di
akhirat kelak.
Sepintas memang sulit. Mana mungkin saya tidak mempunyai makanan
untuk lusa? Bagaimana nanti kalau saya dan anak istri tidak bisa makan?
Apalagi kalau barang tidak ada, untuk apa saya punya uang? Sudah
sewajarnya saya mempunyai persediaan makanan cukup untuk setahun. Begitu
kira-kira jalan pikiran manusia zaman sekarang.
Padahal, selain ancaman, nasihat Rasulullah SAW tersebut merupakan
sebuah solusi kondisi sosial masyarakat. Orang yang menimbun harta atau
bahan makanan di dunia pada hakikatnya akan mengakibatkan tiga sifat
atau kondisi yang buruk.
Pertama, orang yang menimbun harta tidak percaya sepenuhnya kepada
rezeki Allah SWT. Ia tidak percaya Allah SWT akan memberikan rezekinya
hari ini dan esok hari. Ia pikir, dirinyalah yang menciptakan rezeki itu
dengan bekerja keras. Mungkin ia percaya bahwa rezeki itu datangnya
dari Allah SWT. Namun tetap saja ia tidak berani menghadapi kenyataan
hidup.
Padahal burung terbang di pagi hari dalam keadaan lapar, tidak tahu
harus ke mana. Tetapi tatkala sore tiba ia pulang ke sarangnya dengan
perut telah kenyang terisi. Dalam Al-Qur`an secara ekstrem Allah
menyebut bahwa hewan melata (yang secara tingkatannya jauh di bawah
manusia, makhluk yang sempurna) dijamin rezekinya oleh Allah, apalagi
kita manusia. Orang yang mempunyai sikap tidak percaya rezeki Allah,
iman dan akidahnya lemah. Jadi, pekerjaan menimbun harta dengan dalih
apa pun justru bisa berakibat melemahkan akidah seseorang.
Orang yang akidahnya kuat, tidak takut kehilangan harta benda karena
merasa rezekinya sudah dijamin Allah adalah Abu Bakar ash-Shiddiq. Abu
Bakar menginfakkan separuh hartanya kepada Rasulullah untuk dipergunakan
jihad. Namun kemudian Abu Bakar datang mempersembahkan seluruh
hartanya. Semua tercengang. Bahkan Rasulullah saw. sempat bertanya,
”Bagaimana engkau akan hidup tanpa harta benda ini wahai Abu Bakar?”
Dengan tenang Abu Bakar menjawab, ”Cukup Allah dan Rasul-Nya yang
menjamin hidupku.” Di akhirat kelak, orang seperti Abu Bakar ini akan
berlari kencang mendaki bukit yang menghalanginya menuju surga tanpa
beban.
Kedua, orang yang menimbun harta, selain lemah akidahnya ia juga
seorang yang egois. Mementingkan diri dan keluarganya. Ananiah, keakuan.
Bisa jadi ia akan berebut barang jika persediaan di toko menipis. Kalau
perlu saling sikut untuk mendapatkan beras atau bahan makanan lainnya.
Sikap egois inilah yang akan melahirkan sikap bakhil seseorang. Ia
menjadi pelit. Sikap ini dilarang oleh agama Islam bahkan oleh agama
mana pun.
Ketiga, orang yang menimbun harta akan mengakibatkan kesengsaraan
masyarakat. Jika seseorang mampu bertahan dengan bahan makanan yang
ditimbun selama dua bulan, sedangkan ada saudaranya yang tidak mampu
bertahan dalam satu hari berarti ia telah menyengsarakan saudaranya itu.
Allah dan Rasul-Nya menginginkan umat Islam semua hidup makmur, yaitu
dengan cara yang kaya membantu yang miskin. Allah tidak menginginkan
harta itu berputar hanya di kalangan orang kaya saja. Seperti yang
difirmankan di dalam Al-Qur`an, .”…. Supaya harta itu jangan beredar di
antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” (QS. Al-Hasyr: 7)
Rasulullah SAW sendiri pernah ketika selesai shalat jamaah langsung
berdiri dan meninggalkan masjid. Para sahabat bertanya-tanya dalam hati.
Tak beberapa lama Rasulullah SAW hadir kembali. Ketika ditanya, beliau
menjawab, ”Aku teringat masih ada harta yang belum aku sedekahkan.” Jadi
beliau selesai shalat langsung pulang untuk menyedekahkan harta itu.
Rasulullah SAW dan para sahabat tidak ingin mendaki bukit dengan beban
yang terlalu banyak. Bagaimana dengan kita? Wallahu’alam bisshawab.
0 komentar:
Posting Komentar