Selasa, 09 Juni 2015

Menimbun Harta

Jangan Menimbun Harta

Suatu hari Rasulullah SAW menyapa Abu Dzar r.a. beliau pegang tangannya lalu bersabda, “Wahai Abu Dzar sesungguhnya di antara kedua tanganmu ada bukit penghalang. Ia sukar untuk didaki kecuali orang yang ringan bawaannya.”


Abu Dzar bertanya, “Wahai Nabi, apa aku termasuk yang ringan atau berat bawaanku?” Nabi bertanya, “Adakah kau punya makanan untuk besok pagi?” “Ada,” jawab Abu Dzar “Untuk lusa?” “Tidak ada,” jawab Abu Dzar. Nabi SAW bertutur, “Andai kau punya makanan untuk lusa, niscaya termasuk orang yang berat bawaannya.”   (Hadits dari Anas bin Malik)

Bila para pejabat membaca hadits ini dengan hati, niscaya dia tidak akan korupsi, memakan harta rakyat. Akan tetapi, kondisi sekarang sudah sangat menyedihkan. Di negeri mayoritas muslim ini, korupsi sudah biasa. Mereka mengumpulkan harta dengan segala cara. Para koruptor seakan menutup mata dengan perbuatannya.

Nasihat Rasulullah SAW di atas jika dikaitkan dengan kondisi masyarakat sekarang sungguh berat. Kriteria orang yang menimbun harta dikatakan mempunyai perbekalan makanan untuk hari lusa. Katakanlah, jika dilakukan ijtihad dengan mempertimbangkan kondisi di zaman sekarang, persediaan makanan untuk besok hari setara dengan sebulan persediaan. Itu pun masih banyak orang yang mempunyai kondisi seperti itu. Alangkah beratnya beban yang ada di pundaknya.

Diibaratkan kelak di alam akhirat masing-masing orang mendapatkan halangan berupa sebuah bukit yang sukar untuk didaki kecuali yang tidak mempunyai beban. Siapa yang bawaannya paling ringan, ia akan cepat dan mudah menyelesaikan halang-rintangnya. Orang yang bawaannya berat niscaya akan tertinggal dan kepayahan. Bahkan jika saking banyaknya bisa jadi ia tidak bisa melalui rintangan karena beratnya beban yang dibawa.

Beban yang dimaksud adalah harta benda yang ditimbun selama di dunia. Ukuran menimbun barang adalah menyimpan barang di luar kebutuhan yang semestinya. Oleh Rasulullah SAW dikatakan kebutuhan makan besok hari. Di luar besok alias lusa, jika seseorang masih mempunyai persediaan barang dikatakan ia telah menimbun. Timbunan itu akan memperberat beban di akhirat kelak.

Sepintas memang sulit. Mana mungkin saya tidak mempunyai makanan untuk lusa? Bagaimana nanti kalau saya dan anak istri tidak bisa makan? Apalagi kalau barang tidak ada, untuk apa saya punya uang? Sudah sewajarnya saya mempunyai persediaan makanan cukup untuk setahun. Begitu kira-kira jalan pikiran manusia zaman sekarang.

Padahal, selain ancaman, nasihat Rasulullah SAW tersebut merupakan sebuah solusi kondisi sosial masyarakat. Orang yang menimbun harta atau bahan makanan di dunia pada hakikatnya akan mengakibatkan tiga sifat atau kondisi yang buruk.

Pertama, orang yang menimbun harta tidak percaya sepenuhnya kepada rezeki Allah SWT. Ia tidak percaya Allah SWT akan memberikan rezekinya hari ini dan esok hari. Ia pikir, dirinyalah yang menciptakan rezeki itu dengan bekerja keras. Mungkin ia percaya bahwa rezeki itu datangnya dari Allah SWT. Namun tetap saja ia tidak berani menghadapi kenyataan hidup.

Padahal burung terbang di pagi hari dalam keadaan lapar, tidak tahu harus ke mana. Tetapi tatkala sore tiba ia pulang ke sarangnya dengan perut telah kenyang terisi. Dalam Al-Qur`an secara ekstrem Allah menyebut bahwa hewan melata (yang secara tingkatannya jauh di bawah manusia, makhluk yang sempurna) dijamin rezekinya oleh Allah, apalagi kita manusia. Orang yang mempunyai sikap tidak percaya rezeki Allah, iman dan akidahnya lemah. Jadi, pekerjaan menimbun harta dengan dalih apa pun  justru bisa berakibat melemahkan akidah seseorang.

Orang yang akidahnya kuat, tidak takut kehilangan harta benda karena merasa rezekinya sudah dijamin Allah adalah Abu Bakar ash-Shiddiq. Abu Bakar menginfakkan separuh hartanya kepada Rasulullah untuk dipergunakan jihad. Namun kemudian Abu Bakar datang mempersembahkan seluruh hartanya. Semua tercengang. Bahkan Rasulullah saw. sempat bertanya, ”Bagaimana engkau akan hidup tanpa harta benda ini wahai Abu Bakar?” Dengan tenang Abu Bakar menjawab, ”Cukup Allah dan Rasul-Nya yang menjamin hidupku.” Di akhirat kelak, orang seperti Abu Bakar ini akan berlari kencang mendaki bukit yang menghalanginya menuju surga tanpa beban.


Kedua, orang yang menimbun harta, selain lemah akidahnya ia juga seorang yang egois. Mementingkan diri dan keluarganya. Ananiah, keakuan. Bisa jadi ia akan berebut barang jika persediaan di toko menipis. Kalau perlu saling sikut untuk mendapatkan beras atau bahan makanan lainnya. Sikap egois inilah yang akan melahirkan sikap bakhil seseorang. Ia menjadi pelit. Sikap ini dilarang oleh agama Islam bahkan oleh agama mana pun.



Ketiga, orang yang menimbun harta akan mengakibatkan kesengsaraan masyarakat. Jika seseorang mampu bertahan dengan bahan makanan yang ditimbun selama dua bulan, sedangkan ada saudaranya yang tidak mampu bertahan dalam satu hari berarti ia telah menyengsarakan saudaranya itu. Allah dan Rasul-Nya menginginkan umat Islam semua hidup makmur, yaitu dengan cara yang kaya membantu yang miskin. Allah tidak menginginkan harta itu berputar hanya di kalangan orang kaya saja. Seperti yang difirmankan di dalam Al-Qur`an, .”…. Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” (QS. Al-Hasyr: 7)

Rasulullah SAW sendiri pernah ketika selesai shalat jamaah langsung berdiri dan meninggalkan masjid. Para sahabat bertanya-tanya dalam hati. Tak beberapa lama Rasulullah SAW hadir kembali. Ketika ditanya, beliau menjawab, ”Aku teringat masih ada harta yang belum aku sedekahkan.” Jadi beliau selesai shalat langsung pulang untuk menyedekahkan harta itu. 

Rasulullah SAW dan para sahabat tidak ingin mendaki bukit dengan beban yang terlalu banyak. Bagaimana dengan kita? Wallahu’alam bisshawab. 



0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Press Release Distribution