Renungan Qs Al Alaq ( 2 )
كَلَّا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَيَطْغَى أَنْ رَآهُ اسْتَغْنَى
‘’Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas,karena dia melihat dirinya serba cukup.’’(QS al-`alaq : 6-7)
Benar-benar manusia jika merasa dirinya
kaya dan mampu, serta tidak membutuhkan orang lain,maka dia akan
bertindak semena-mena dan melampaui batas.
“ Kalla “ artinya benar-benar, karena merupakan awal kata.[1]
“ al Insan “ disini maksudnya Abu Jahal [2], yang pada waktu itu merasa menjadi pemimpin, kaya dan mampu. Sehingga berbuat semena-mena kepada nabi Muhammad shallallahu’alaihi wassalam dan melarangnya untuk mengerjakan sholat.
Berkata Muqatil : “ Abu Jahal jika
mendapatkan uang banyak, maka dia akan menambah pakaian, kendaraan,
makanan dan minumannya, itulah perbuatan yang melampaui batas. “ [3]
Walaupun ayat ini berkenaan dengan Abu
Jahal, tetapi berlaku umum kepada semua yang mempunyai sifat tersebut.
Bahkan ini merupakan teori dalam ilmu sosial, bahwa manusia jika sudah
merasa besar, kaya dan tidak membutuhkan orang lain, maka cenderung
untuk bertindak semena-mena dan melampaui batas, walaupun ini tidak
berlaku bagi semua orang, tetapi potensi tersebut ada di dalam diri
mereka.
Ibnu Utsaimin di dalam tafsirnya [4]
menyebutkan bahwa ayat di atas berlaku untuk seluruh manusia, kecuali
orang-orang yang beriman. Dan setiap manusia yang merasa dirinya cukup,
berpotensi untuk berbuat semena-mena dan dhalim. Kemudian beliau
menyebutkan firman Allah :
إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا
“ Sesungguhnya manusia itu mempunyai sifat dhalim dan bodoh.”( Qs al-Ahzab : 72 )
Di dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan
bahwa ada dua kelompok manusia yang tidak pernah kenyang dan puas,
kelompok pertama adalah penuntut ilmu, kelompok kedua adalah pemburu
dunia. Keduanya tidak sama, adapun penuntut ilmu akan bertambah ridha
Allah Yang Maha Pengasih, sedangkan pemburu dunia akan bertambah
semena-mena dalam perbuatanya. [5]
“ Layathgha “ berasal
dari akar kata “ Thagha “ yang berarti air yang luber ( melampaui batas )
penampungan, hingga menjadi tumpah. Atau bisa diartikan air yang
menjadi banjir. Lihat umpamanya firman Allah
إِنَّا لَمَّا طَغَى الْمَاءُ حَمَلْنَاكُمْ فِي الْجَارِيَةِ
“ Ketika air itu mulai melampui
batas( naik sampai gunung ) , maka Kami bawa kalian ( Nabi Nuh dan
orang-orang beriman ) di atas kapal “ ( Qs al-Haqqah : 11 )
Kemudian makna itu digunakan pada segala perbuatan yang melampaui batas. Berkata Imam Qurthubi : “ Ath-Thughyan adalah melampaui batas dalam maksiat. “ [6]
Begitu juga kata “ Thaghut “ adalah pemimpin yang melampui batas, yaitu
tidak mau berhukum dengan hukum Allah. Karena setiap yang tidak
berhukum dengan hukum Allah, dipastikan dia akan melampui batas. “
Thaghut “ juga berarti dukun, syetan dan setiap yang melanggar syariat
Allah.
إِنَّ إِلَى رَبِّكَ الرُّجْعَى
‘’Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmulah kembali (mu)’’(QS al-`alaq : 8)
Ayat ini mengingatkan kepada setiap
orang yang melampui batas dengan melanggar syariat Allah, bahwa
sesungguhnya mereka itu, cepat atau lambat akan mati dan meninggalkan
dunia yang fana ini, dunia yang mereka sombong di dalamnya tidaklah
langgeng, kemudian mereka akan dikembalikan kepada Rabb-mu dan akan
dimintai pertanggung-jawaban atas segala amal perbuatan mereka.
Ayat ini juga menunjukkan bahwa
mengingat mati dan mengingat akherat merupakan obat yang mujarrab untuk
meluluhkan hati manusia, sekeras apapun hati mereka. Oleh karenanya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam merintahkan kita untuk
memperbanyak mengingat kematian, yang merupakan penghancur segala
kenikmatan dan penghancur segala kesombongan serta penghancur segala
perbuatan yang melampaui batas.
Dari Abu Hurairah bahwasanya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda :
أكثروا من ذكر هاذم اللذات
“ Perbanyaklah mengingat penghancur kenikmatan ( kematian ) “ ( Hadist Shahih Riwayat Ibnu Hibban ) [7]
أَرَأَيْتَ الَّذِي يَنْهَى عَبْدًا إِذَا صَلَّى
‘’Bagaimana pendapatmu tentang orang yang melarang seorang hamba ketika dia mengerjakan shalat’’(QS al-`alaq : 9-10)
Ayat ini menyebutkan salah satu bentuk
perbuatan melampaui batas yang paling menyolok, yaitu melarang manusia
dari beribadah kepada Allah, dalam hal ini sholat. Sholat adalah bentuk
peribadatan kepada Allah yang paling mendasar, sehingga orang yang
meninggalkan sholat dikatagorikan orang yang enggan beribadah kepada
Allah, maka dihukumi kafir dan keluar dari Islam.
Ayat ini menunjukkan shighat ta’ajjub,
bagaimana bisa seseorang melarang orang lain untuk beribadat kepada Dzat
Yang Menciptakannya, sungguh perbuatan ini sangat aneh, tidak masuk
akal sehat dan benar-benar melampaui batas. Imam Qurtubhi menyebutkan
riwayat dari Ikrimah dari Ibnu Abbas bahwa Abu Jahl berkata : “ Jika
saya melihat Muhammad mengerjakan sholat, maka akan aku injak lehernya “
[8]
أَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ عَلَى الْهُدَى أَوْ أَمَرَ بِالتَّقْوَى
‘’Bagaimana pendapatmu jika orang yang dilarang itu berada di atas kebenaran, atau dia menyuruh bertakwa (kepada Allah)’’(QS al-`alaq : 11-12)
Bagaimana jika orang yang dilarang tadi
berada di atas petunjuk ( Allah ) dan memerintahkan orang agar bertaqwa ?
Masak sih, orang baik seperti itu dilarang, apa tidak salah ?
Ayat di atas menyebutkan dua sifat nabi Muhammad shallallahu ‘laihi wassalam, yaitu bahwa dia di atas petunjuk Allah. Ini menunjukkan bahwa beliau adalah orang yang “ sholih “( sholeh pribadinya) . Dan yang kedua beliau menyuruh orang lain untuk bertaqwa kepada Allah. Ini menunjukkan bahwa beliau adalah orang yang “ mushlih “ ( sholeh sosial ),
yaitu tanggap dengan lingkungan sekitar dan berusaha memperbaiki
masyarakatnya. Berkata Ibnu Utsaimin : “ Karena nabi Muhammad adalah
orang yang menyuruh orang lain bertaqwa, maka tidak diragukan lagi bahwa
beliau adalah orang yang sholeh dan juga memperbaiki orang lain. “ [9]
أَرَأَيْتَ إِنْ كَذَّبَ وَتَوَلَّى
‘’Bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu mendustakan dan berpaling?’’(QS al-`alaq : 13)
Ayat ini memberitahukan bahwa orang yang
melarang tadi ( yaitu Abu Jahl) adalah orang yang mendustakan kebenaran
dan berpaling tidak mau mendengar ayat-ayat Allah yang dibacakan
kepadanya.
أَلَمْ يَعْلَمْ بِأَنَّ اللَّهَ يَرَى
‘’Tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya?’’(QS al-`alaq : 14)
Apakah orang yang melarang sholat,
mendustakan kebenaran dan berpaling darinya itu mengetahui bahwa Allah
melihat perbuatannya setiap saat. Artinya bahwa penyebab perbuatan
semena-mena dan melampaui batas dengan melarang orang lain mengerjakan
sholat, padahal dia berada di atas petunjuk Allah dan selalu menyuruh
kepada ketaqwaan adalah ketidak percayaannya bahwa Allah melihat segala
amal perbuataannya. Kalau dia yakin Allah melihat perbuataannya tentunya
dia tidak melakukan tindakan semena-mena tersebut.
كَلَّا لَئِنْ لَمْ يَنْتَهِ لَنَسْفَعًا بِالنَّاصِيَةِ نَاصِيَةٍ كَاذِبَةٍ خَاطِئَةٍ
‘’Ketahuilah, sungguh jika
dia tidak berhenti (berbuat demikian) niscaya Kami tarik ubun-ubunnya,
(yaitu) ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka.” (QS `al-`alaq : 15-16)
Ayat di atas berisi ancaman kepada Abu
Jahl, jika tetap bersikeras melarang orang yang mengerjakan sholat, maka
Allah benar-benar akan menarik dan menyeret ubun-ubunnya untuk
dimasukkan ke dalam api neraka. Yaitu ubun-ubun setiap yang berbuat
dusta dan durhaka.
Lanasfa’an dari akar kata “ As-Saf’u” yang berarti menarik dengan sangat keras. Atau menggenggam dan menariknya dengan keras.[10]
Kenapa disebut ubun-ubun ? Karena
ubun-ubun adalah tempat yang mulia bagi manusia, maka kalau dia durhaka
dan mendustakan kebenaran, maka akan dihinakan sehina-hinanya. Bisa juga
dikatakan bahwa ubun-ubun yang tidak dipakai untuk sujud kepada Allah,
maka akan diseret oleh Allah ke dalam api neraka.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, jika Abu
Jahal benar-benar melaksanakan ancamannya, maka Malaikat Zabaniyah
benar-benar akan menyeret ubun-ubun Abu Jahal secara terang-terangan di
hadapan manusia. [11]
Apa bedanya antara kata “ Khoti’ “ dengan “ akhtho’
“ ? kalau Khoti’ artinya berbuat salah dengan sengaja padahal dia
mengetahui, ini karena ada sifat sombong dan meremehkan dalam dirinya,
sedangkan “ akhthoa “ artinya berbuat salah yang tidak disengaja, dan
bukan berasal dari sifat sombong dan meremehkan, maka dia dimaafkan. [12]
Ubun-ubun yang akan diseret oleh Malaikat Zabaniyah adalah ubun-ubun yang mempunyai dua sifat : Kadzibah, yaitu kalau berkata dia berdusta dan mendustakan kebenaran, dan Khothiah, yaitu selalu sengaja berbuat salah padahal dia tahu, dan sengaja melanggar syariat. [13]
فَلْيَدْعُ نَادِيَهُ سَنَدْعُ الزَّبَانِيَةَ
‘’Maka biarlah dia memanggil golongannya (untuk menolongnya) kelak Kami akan memanggil malaikat Zabaniyah’’(QS al-`alaq : 17-18 )
Ayat di atas turun berkenaan dengan
perkataan Abu Jahal yang membanggakan banyaknya pengikut dengan
mengancam nabi Muhammad, maka Allah membalas ancaman tersebut dengan
tantangan : “ Hendaknya Abu Jahal memanggil kelompok dan pengikutnya
yang ia banggakan itu, maka Kami akan memanggil malaikat Zabaniyah,
yaitu malaikat-malaikat yang bertugas mendorong dan menyeret orang
–orang kafir ke dalam api neraka. Zabaniyah adalah malaikat yang paling
besar bentuknya dan paling keras kepada orang-orang kafir . [14]
“ Nadi “
adalah tempat berkumpul, maksudnya adalah para pengikut dan kelompoknya
yang selalu berkumpul dengannya. Nadi pada zaman sekarang sering
dipakai untuk menyebut “ Club “ .
Abu Jahal mempunyai nama asli “ Amru bin Hisyam bin Mughirah
“ dan pertama kali dijuluki dengan Abu al-Hakam, yang artinya orang
yang bijak, kemudian julukan itu berubah menjadi : “ Abu Jahal “, karena
kebodohannya dengan menolak kebenaran yang dibawa oleh nabi Muhammad.
Abu Jahal ini akhirnya mati dengan
sangat mengenaskan pada perang Badar dipenggal lehernya oleh Abdullah
bin Mas’ud dan beliau menyeret ubun-ubunnya kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam. Peristiwa ini menjadi bukti kebenaran firman-firman Allah.
Surat Al-‘Alaq ini terbukti kebenarannya
di dunia sebelum di akherat, Abu Jahal mati dalam keadaan ubun-ubunya
diseret. Hal ini mengingatkan kebenaran Surat al- Lahab yang menjelaskan
bahwa anak dan harta Abu Lahab tidaklah bermanfaat, dan ternyata ketika
Abu Lahab mati, karena kena bisul, maka anak-anaknya pun
meninggalkannya dan tidak mau mengurusi jenazahnya, dan hartanyapun
tidak bermanfaat menyelamatkan dia dari penyakit bisul dan kematian.
كَلَّا لَا تُطِعْهُ وَاسْجُدْ وَاقْتَرِبْ
“ Sekali-kali jangan, janganlah kamu patuh kepadanya; dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan),( Qs al-‘Alaq : 19 )
Wahai Muhammad jangan engkau taati orang
yang melarangmu untuk mengerjakan sholat, tapi justru bersujudlah terus
kepada Rabb-Mu dan mendekatkalh kepada-Nya, karena Dia adalah
satu-satunya penolong-mu di dunia ini.
Ayat ini mengisyaratkan kepada kita,
jika kita ditimpa musibah, bencana, ujian, maupun ancaman orang lain,
bagaimanapun bentuk ancaman tersebut, janganlah hiraukan hal tersebut
dan jangan bersedih. Cara yang paling efektif untuk menghadapi itu semua
itu adalah memperbanyak sujud ( sholat ) kepada Allah dan mendekatkan
diri kepada-Nya dengan berbagai amal sholeh.
Ayat di atas juga mengisyaratkan, kalau kita sedang sujud hendaknya mendekatkan diri kepada Allah dengan memperbanyak do’a. [15]
Berkata Ibnu al Arabi al Maliki : “ Maknanya adalah dekatkanlah dirimu
kepada Rabb-mu dengan sujud, karena seorang hamba paling dekat Rabb-nya
ketika dalam keadaan sujud. Karena sujud adalah puncak peribadatan dan
ketundukan kepada Allah. Sedangkan puncak kemuliaan ada di sisi Allah.
Jika seseorang jauh dari sifat Allah ( tunduk kepadanya dan tidak
sombong di hadapannya ), maka akan menjadi dekat dengan syurga-Nya, dan
dekat di sisi-Nya pada hari akherat. “ [16]
Ini sesuai dengan hadist Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah bersabda :
أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ ، فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ
“ Seorang hamba paling dekat dengan Rabb-nya ketika dalam keadaan sujud, maka perbanyaklah do’a ( di dalamnya ) “ ( HR Muslim )
Ibnu Nafi dan Muthorif berkata : “ Bahwa
Imam Malik ketika menyelesaikan bacaan surat ini, beliau sujud di
dalam kesendiriannya “ [17]
[1] Tafsir Qurtubi : 20/ 83
[2] Tafsir Qurtubi : 20/ 83
[3] Syaukani, Fathu Al Qadir : 5/ 589.
[4] Ibnu Utsaimin, Tafsir Juz Amma, hlm : 265
[5] Tafsir Ibnu Katsir : 4/530
[6] Tafsir Quthubi : 20 / 83
[7] Berkata Syu’aib al-Arnauth : Hadist ini sanadnya hasan. (Shahih Ibnu Hibban,Tahqiq Syuiab al Arnauth, Beirut, Muassah ar-Risalah, 1994 )
[8] Tafsir Qurtubhi : 20/ 84, 85.
[9] Ibnu Utsaimin, Tafsir Juz Amma, hlm : 267
[10] Syaukani, Fathu al Qadir : 5/ 590
[11] Tafsir Ibnu Katsir : 4/ 531
[12] Syenkithi, Adhwaul Bayan : 9/ 458
[13] Abdurrahman Sa’di, Taisir ar-Rahman, 7/ 625
[14] Tafsir Qurtubhi : 20/ 85
[15] Tafsir Qurtubhi : 20/ 86
[16] Ibnu al Arabi, Ahkam al-Qur’an : 4/ 425
[17] Ibnu al Arabi, Ahkam al- Qur’an : 4/ 425
0 komentar:
Posting Komentar