Kamis, 29 Agustus 2013

Bunga Atau Riba itu Menyeramkan

Ranjau Di Balik Kenikmatan

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah ta’ala, yang telah menganugerahkan keimanan nan teguh serta keislaman syamil, kesabaran yang berkesinambungan, keistiqamahan dalam menjalankan agama kita yang mulia, atas nikmat-Nya pula terdapat persaudaraan di jalan Allah, yang dengan ikatan itulah kita berjumpa dan berpisah, saling merindukan, saling membantu laiknya satu tubuh yang cedera, maka bagian lain ikut merasakan, saling mendoakan dalam setiap waktu, ketika tangan-tangan kita menengadah saat bermunajat menembus langit dunia, mengetuk pintu harap dan raja’ kita kepada-Nya, segala problema dalam perjalanan dunia tentulah ada solusinya, terlebih lagi kita punya kekokohan ukhuwah islamiyah bertangkai kekuatan do’a.


Namun saudara-saudariku, terkadang kita silap mata atau tersandung dalam pergaulan, sehingga kita bisa lupa bahwa ada banyak ranjau dan jurang yang berbalut kenikmatan, ditawarkan oleh orang-orang bersenyum manis membawa ikatan cinta palsu atau disebabkan bisikan setan yang kian menerobos hawa nafsu. Simaklah beberapa pengalaman berikut, kita petik hikmah-Nya bersama.

Ibu Syam dulu merasa terdesak, keperluan anak-anak sekolah di tahun ajaran baru makin menggunung, kebutuhan sehari-hari kian bertambah, dana pemasukan dan tabungan keluarganya tak mencukupi, apalagi ada anaknya yang harus segera masuk kuliah di kota lain, maka ia memutuskan untuk meminjam dana kepada Wak Nenet. Ketika itu, keadaan keuangan keluarganya benar-benar memerlukan bantuan. Setiap bulan ia membayar sejumlah uang kepada Wak Nenet. Lama, berbulan-bulan, masih saja belum lunas, kadang-kadang bila Wak Nenet menagih ke rumah di saat bu Syam sedang pergi, dana bayaran ke Wak Nenet tersebut dititipkan ke anak bu Syam. Jadi, si anak remajanya yang penasaran akhirnya bertanya, “Bunda, kok utang di Wak Nenet gak selesai-selesai, sih? Kan Bunda membayar terus setiap bulan ?”

Bu Syam akhirnya menjelaskan bahwa yang dibayar setiap bulan itu bukan jumlah utangnya, melainkan bunga-nya. “Otomatis utang ibu memang belum dibayar sama sekali, nak…tiap bulan itu cuma bayar bunga. Nanti kalau bapakmu dapat bonus tahunan dan dana lembur yang besar, barulah bisa melunasi utang di Wak Nenet”, penjelasan Bu Syam.

Setelah mengetahui hal itu, si anak menjadi kesal terhadap Wak Nenet, “Berarti Wak Nenet itu rentenir dong! Jahat sekali…”, keluhnya dalam hati. Ia hitung-hitung dengan sebal, permisalan jika orang tuanya meminjam 3 juta rupiah dengan bunga 10%. Jadi sepuluh persennya itulah yang dibayar ibunya setiap bulan. Uang sepuluh persen itu bahkan bisa mencukupi untuk membeli lauk-pauk keluarga besarnya selama satu minggu-an.

Anak ibu syam suatu hari memenangkan sebuah perlombaan tingkat provinsi, mendapatkan hadiah televisi baru selain piala dan piagam. Teringat utang orang tuanya yang belum juga lunas, ia berkata, “Bunda, televisi baru itu dijual saja. Tolong bunda bayarkan ke Wak Nenet, …bla bla…bla…”, bu Syam terkejut mendengar perkataan anaknya, bangga dan salut, namun sekaligus sedih karena anaknya jadi ikutan tahu keadaan keuangan orang tua. Anaknya mungkin ikut berpikir-pikir akan beratnya beban orang tua, sehingga merasa harus membantu meringankan beban itu. Ibu Syam memberikan nasehat agar anaknya tak lagi memikirkan Wak Nenet. Televisi baru itu malah dijual langsung ke Wak Nenet, namun hanya cukup melunasi sepertiga dari jumlah utang. Dan sejak itu, jika membayarkan bunga pinjaman per-bulannya atas sisa utang, Ibu Syam sembunyi-sembunyi dari sang anak, agar anaknya tak lagi ikut terpikir masalah tersebut.

Ternyata bunga atau riba itu menyeramkan. Diawali dengan ‘kenikmatan’ menggunakan dana segepok, lalu membayar bunganya berlipat-lipat ganda. Dengan adanya riba, keluarga bisa melarat, anak sulit konsentrasi belajar, tak berselera makan, bisa menyulut emosi, dsb.

Dalam salah satu petikan firman-Nya, “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan bergelimang dosa.” (QS. Al-Baqoroh [2] : 276)

Sampailah periode bertahun-tahun, tatkala semua anak ibu Syam lulus sekolah, barulah utang di Wak Nenet itu selesai. Wak Nenet tiap akhir bulan berkeliling dari rumah ke rumah menagih piutangnya, seumur hidupnya ia memakan riba dari ratusan orang seperti ibu Syam. Naudzubillahi minzaliik.

Sedikit berbeda dengan ibu Syam, Bunda Virda (bukan nama sebenarnya) yang sholihat ternyata harus tersandung jalan pula. Bunda Virda diamanahi oleh adiknya sejumlah rekening bank untuk keperluan-keperluan rumah sang adik ketika adiknya sekeluarga harus menetap di luar negara. Bunda Virda terbiasa hidup sederhana, terbiasa dipercaya dan bertahun-tahun mengelola dana yang dititipkan adiknya. Jika terkadang keluarganya mengalami kondisi keuangan yang sulit, si adik yang mapan sering membantu menyuntik dana pula. Dan sudah banyak peristiwa keseharian si bunda Virda yang mengingatkannya akan ayat-Nya nan bermakna, “Dan Allah memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nya. Sungguh, Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu.” (QS. At-Tholaaq [65] : 3)

Namun situasi naik-turunnya keimanan diiringi kepercayaan yang tinggi sang adik, Bunda Virda malah sering lalai dan lupa. Perubahan terjadi setiap waktu, seringkali bunda Virda seperti pikun, lupa mentransfer sedekah dan zakat bulanan yang diamanahi adiknya. Seringkali lalai, ada saja tugas urusan rekening bank itu yang tidak ia jalankan. Padahal honor buat keperluan pribadinya selalu ia ambil duluan. Sang adik yang hanya ‘mendiamkan’ dan pura-pura tak tahu akan ulah si kakak dan berharap bahwa hal itu akan segera berubah, ternyata makin harus menebalkan kesabaran hati, sebab semakin hari Bunda Virda kian menjadi-jadi, dana di rekening bank adiknya malah ia pergunakan untuk hal-hal pribadi, ia nikmati sesuka hati yang tidak ada sikap transparansi. Mulai dari ‘sikap bodoh bermewah-mewahan’, beli baju baru dan perhiasan, sampai sikap meminjamkan dana adiknya kepada orang lain (dengan di’bumbui’ bunga atau imbalan lain seperti pulsa atau barang). Sampai jutaan rupiah dana “terpergok hilang” dari rekening ketika adiknya mengecek internet-banking, lalu mencoba menanyakan, Bunda Virda dengan nyantai bilang, “Pinjam dulu yah…ada bisnis nih…”.

Sekali melakukan kelalaian tanpa ada yang memberi teguran, dan berlanjut ‘maksiat’ kecil-kecilan, maka ada kebohongan terus-terusan, begitulah yang terjadi, semoga Allah ta’ala dapat menyinari kembali hati Bunda Virda dengan hidayah-Nya. Bisa kita bayangkan, sang adik yang nun jauh merantau di negeri lain tentu sulit menerima pil pengkhianatan yang mana pelakunya adalah darah daging sendiri, kakak tersayang yang dipercayainya.

Hmmm, Bunda Virda berpikir matangkah, apa bedanya diri sang bunda dengan MD si pembobol rekening yang kasusnya masih berkembang di negeri pertiwi? Apa bedanya Bunda Virda dengan para koruptor harta rakyat? Mungkin hanya berbeda posisi, beda letak kedudukan, tapi memiliki “kesamaan menguasai dana”, yang seharusnya bersikap amanah, dititipkan kepercayaan dari-NYA dalam mengemban tugas, bahkan mengetahui ilmu agama-Nya, memiliki kesempatan emas untuk memperoleh pahala yang besar tatkala menjalankan amanah berat tersebut. Hal yang lucu jika melihat bunda Virda atau Virda-Virda lainnya berkumpul demonstrasi di bundaran HI, menuntut agar para koruptor dihukum mati, menuntut agar wakil rakyat memiliki kejujuran tinggi. Cobalah telunjuk arahkan ke dada sendiri, tanya ke dalam nurani, “telah jujur dan amanahkah diri ini?”. Orang-orang beriman bukan manusia yang tanpa dosa, melainkan orang yang selalu memperbaiki diri, segera bertaubat setiap saat.

Saya sebagai ibu ratu rumah tangga pun harus menyiapkan laporan bulanan secara inisiatif pribadi, meskipun ‘boss’ku tak pernah meng-audit, namun jika sesekali beliau ingin melihat prihal pengeluaran dana yang lama, atau sekedar ingin tau jumlah sisa uang belanja, maka tidak susah mengingatnya, file laporannya telah tersedia, bahkan sering kami update sama-sama. Saya masih ingat, para da’i sering memberi pesan bahwa menjaga, menjalankan amanah dan bersedekah merupakan pembuka pintu-pintu luas rezeki, sedangkan mengkhianati kepercayaan dan amalan riba adalah penyebab kesusahan sampai mati. Sudah banyak kita baca dan bahkan kisahnya di-filmkan tentang riwayat jeleknya sakaratul maut bagi para pemakan riba dan pengkhianat amanah-amanah yang tidak sempat bertaubat, naudzubillahi minzaliik.

Saudara-saudariku, yang enak-enak dan nikmat itu seringkali adalah jebakan setan, adalah ranjau-ranjau neraka. Di negeri sekuler dan negera non islam seperti tempat tinggal kami sekarang ini, penduduk ‘doyan disodori iklan kondom’, padahal yang urgen adalah ‘jauhi zina’. Iklan pemerintah kepada masyarakat lainnya adalah “Kurangi kadar alkohol dan kurangi merokok, mumpung masih muda”, padahal kalau memang jujur, seharusnya katakan, “Gerakan hidup sehat, manfaatkan masa muda tanpa minuman beralkohol, tanpa merokok”. Namun begitulah, kenikmatan-kenikmatan dunia sangat digemari, Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda, ”Dunia adalah penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir.”

Hampir setiap kasus penipuan dan perampasan hak di berbagai negeri selalu menggunakan modus operandi ‘kenikmatan’. Contohnya ada kelompok pengajian RT fulanah tiba-tiba dikucuri ‘nikmat’ dana yang lumayan besar untuk keperluan bakti sosial ramadhan mereka. Donaturnya merupakan sahabat dari salah seorang jamaah pengajian tersebut. Namun tak diduga, beberapa tahun setelah itu, selain diduga bahwa dana yang seharusnya berjumlah dua kali lipat dari jumlah itu menurut laporan tertulis, terungkaplah bahwa dana itu ‘diributkan’ pula di level penguasa, ada indikasi besar bahwa dana donasi itu merupakan sebagian kecil dari dana yang dikorupsi oleh si donatur atas amanah yang ia emban. Astaghfirrulloh, berputar-putar lingkaran setan, dari lapisan atas hingga lapisan bawah, korupsi dan kolusi merata-rata. Naudzubillahiminzaliik.

Ada pula kisah lama Pak Yanto yang pulang dari negeri jiran usai kerja sebagai TKI. Setelah berhasil melalui ribetnya situasi di bandara Soekarno-Hatta, menenteng satu tas besarnya, beliau tiba di salah satu terminal bus di Jakarta. Saat hendak membeli tiket bus ke kota kecil tempat tinggalnya di Jawa, seorang calo licik menyodorinya es kopi seraya mengajaknya berbahasa daerah yang sama dengan Pak Yanto. Oalah, Pak Yanto tertipu, ia merasa si calo “kayak saudara sendiri”, satu daerah, pastilah memang baik hati, ternyata si calo berulah pura-pura baik hati saja, salah satu taktik ialah menggunakan bahasa daerah yang sama.

Usai meneguk es kopi yang nikmat siang itu, Pak Yanto tak sadarkan diri. Esok paginya ia sudah berada di pos polisi. Berdasarkan penjelasan petugas setempat, mereka menemukan Pak Yanto tergolek pingsan di sudut terminal, hanya berbalut kain usang di badan. Duh, sedih, miris mendengar nasib Pak Yanto itu, belum berjumpa keluarga yang ditinggalnya bertahun-tahun, bekal, oleh-oleh dan dompetnya dirampas, bahkan pakaian dan sepatunya pun dirampok, dan kesadarannya pun belum pulih, entah obat apa yang dimasukkan si penjahat ke dalam es kopi tersebut. Dan kejadian serupa masih sering terjadi berulang kali.

Di antara nikmat yang paling besar yang diberikan Allah SWT kepada hamba-Nya adalah pertolongan-Nya sepanjang waktu, terutama bagi hamba-Nya yang taat dan menjauhi maksiat. Bukankah korupsi dan riba berarti berlumur maksiat? Ingatkah akan terpecah belahnya ummat Islam juga karena makin banyak maksiat (selain keterlibatan kolusi dan konspirasi Internasional pemerintah Amerika, Israel, Inggris, dll)? Umar bin Khattab r.a berwasiat ketika melepas tentara perang:
“Dosa yang dilakukan tentara (Islam) lebih aku takuti dari musuh mereka. Sesungguhnya umat Islam dimenangkan karena maksiat musuh mereka kepada Allah. Kalau tidak demikian kita tidak mempunyai kekuatan, karena jumlah kita tidak sepadan dengan jumlah mereka, perlengkapan kita tidak sepadan dengan perlengkapan mereka. Jika kita sama dalam berbuat maksiat, maka mereka lebih memiliki kekuatan. Jika kita tidak dimenangkan dengan keutamaan kita, maka kita tidak dapat mengalahkan mereka dengan kekuatan kita.”
Telah Allah kirimkan tsunami, gempa di bumi-Nya berulang kali, banjir dimana-mana, badai dan beragam amukan alam-Nya akibat peringatan pula atas menggunungnya kemaksiatan yang bagi kebanyakan manusia merupakan ‘kenikmatan’. Tetapi lagi-lagi belum ada taubat sejati, tak usai dibahas, tak habis dikuliti, tetap saja lingkaran setan penyakit korupsi dan maksiat itu tak segera diakhiri. Amanah bantuan bencana alam malah selain jadi ladang amal, sebagian menjadikannya “ladang korupsi” nan tetap merajalela. Tragis. Negeri yang dulu dikenal berpenduduk ramah dan bersikap tolong-menolong (dalam kebaikan), sekarang lebih dikenal sebagai negeri yang banyak masalah korupsi, penduduk saling tatap curiga dan mudah terpancing emosi. Jika budaya tolong menolong masih diakui, banyak pula yang salah persepsi, tolong-menolong malah dalam menutupi ulah berkorupsi, bergotong-royong menggerogoti harta anak cucu negeri, jangan sampai tercebur ke penjara. Kalau ada pemeriksaan polisi, semuanya (lari), beralasan sakit jantung atau tugas luar negeri. Mereka terus berpesta dan merasakan ‘kenikmatan’, suka cita penuh tawa, tanpa menyadari bahwa sesungguhnya mereka sedang berdiri di atas ranjau-ranjau berbalut kesenangan! Maka kasus tak pernah selesai. 

Mungkin menanti sidang Allah ta’ala di yaumil hisab, wallahu ‘alam bisshowab.

(Semoga ramadhan tahun ini kian bermakna, Selamat datang bulan mulia, Terima kasih atas kesempatan menemui ramadhan kembali, duhai Ilahi…)


0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Press Release Distribution