“Kenapa Harus Takut?”
Apa yang kiranya bakal terjadi jika seseorang berlalu di suatu
tempat sementara ada benda keras di hadapannya siap menghantam tubuhnya,
sedangkan orang tersebut tak punya keinginan sedikitpun untuk
menghindar ? Apa pula yang kiranya bakal terjadi jika seseorang berlalu
di suatu tempat sementara di sekitarnya bertebaran benda-benda tajam
siap menusuk-nusuk telapak kakinya, sedangkan orang tersebut tak punya
keinginan sedikitpun untuk beranjak mundur?
Takut ( خوف ) adalah sebentuk perasaan yang ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa
karuniakan kepada kita agar dengannya kita menghindar dari segala yang
dapat menciderai diri kita. Kita mengelak dari besi tajam yang siap
menghujam, berkelit dari kejaran binatang buas yang siap menggigit,
berlari dari kobaran api yang siap membakar, surut ke belakang ketika
kaki sudah di tepi jurang. Semua itu karena takut.
Tak ada yang mendorong kita untuk berlindung atau menghindar dari
bahaya, kecuali rasa takut. Tak ada yang mendorong kita untuk berupaya
mencari dan memperoleh keselamatan -di dunia maupun di akhirat- kecuali
juga rasa takut. Maka apa jadinya jika ALLAH tidak mengaruniai kita rasa
takut? Takut kepada segala marabahaya dan kemarahan, juga takut kepada
api neraka dan kemurkaan-NYA. Tentu saja dengan mudahnya kita akan
tertimpa malapetaka di dunia dan terjerumus ke dalam perbuatan yang
menghantarkan kita kepada kesengsaraan dan penderitaan di akhirat
,seandainya ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa tidak mengaruniai kita rasa takut. Karenanya Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam pun mengajari kita untuk berdo’a :
اللهم اقسم لنا من خشيتك ما يحول بيننا وبين معاصيك
(Ya, Tuhan kami. Karuniailah kami rasa takut kepada-MU, yang dengan itu menjauhlah kami dari berma’shiyat kepada MU)
Takut Yang Bersifat Tabi’at
Takutnya kita kepada tikaman senjata, terkaman binatang, jilatan api,
terjatuh dari tempat yang tinggi, atau tenggelam ke dalam air merupakan
takut yang bersifat tabi’at (khauf thabi’iy). ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa
memang telah memperlengkapi kita dengan perasaan ini, sebagaimana juga
perasaan benci dan cinta -yang dengan itu manusia benci kepada siapa
saja yang berbuat jahat kepadanya dan cinta kepada siapa saja yang
berbuat baik kepadanya-. Karena nya takut yang bersifat tabi’at ini
tidaklah berdosa, selama tidak menjadi sebab dilalaikannya perintah atau
dilanggarnya larangan ALLAH. Namun jika lantaran takut terluka atau
cidera kemudian kita enggan berangkat ke medan jihad, maka takut semacam
ini menjadi berdosa.
ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa telah berfirman:
( فَلا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ) (آل عمران: من الآية175)
(…Maka janganlah kalian takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-KU jika kalian orang beriman) (Ali Imran: 175)
Maka ketika kita tiba-tiba muncul rasa takut dari hal-hal yang dapat menciderai tubuh, hendaknya kita bertanya ,”Kenapa harus takut. Apakah yang muncul ini semata tabi‘at
dan ia tidak menyebabkan dilalaikannya perintah atau dilanggarnya
larangan ALLAH. Masih bolehkah aku merasa takut, atau sudahkah rasa
takut ini menjerumuskan aku kepada dosa?“
Takut Yang Bersifat Ibadah
Kita tegakkan sholat, shaum di bulan Ramadhan, tunaikan zakat, berhaji ke baitullah,
dan amalkan segala bentuk ibadah lainnya seperti zikir, berdo’a, atau
i’tikaf tidak lain karena mengharapkan kebaikan -berupa keridhoan ALLAH
dan ganjaran-NYA- atau karena menghindari keburukan -berupa kemurkaan
ALLAH dan hukuman-NYA-. Manakala seseorang melakukan sebentuk upacara
ritual -yang tidaklah ia lakukan itu kecuali didorong oleh rasa takut,
yakni takut terhadap bahaya atau petaka yang akan menimpa jika ia tidak
melaksanakan upacara tersebut-, maka yang semacam ini semua merupakan
takut yang bersifat ibadah (khauf ibadah). Jika takut semacam ini ditujukan kepada atau disebabkan oleh selain ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa,
maka takut yang demikian merupakan sejenis kesyirikan. Begitu pula,
manakala seseorang menanam ari-ari bayi di depan rumah kemudian
memberinya penerangan selama 40 hari, atau menggantung janur kemudian
menanam kepala kerbau di saat menegakkan bangunan -tidaklah ia lakukan
yang demikian kecuali karena takut tertimpa petaka-, maka takut yang
demikian merupakan sejenis kesyirikan.
Bukankah ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa berfirman :
(قُلْ إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ) (الأنعام:162)
(Katakanlah, sesungguhnya sholatku, ibadahku,hidup, dan matiku hanyalah untuk ALLAH, Rabb semesta alam) (Al An’am: 162)
Dan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
لعن الله من ذبح لغيرالله
(ALLAH mela’nat orang yang menyembelih bukan karena ALLAH) (HR: Muslim)
Perhatikanlah, betapa seringnya kita lihat manusia melakukan
perbuatan-perbuatan yang dilandasi perasaan takut yang bersifat ibadah (khauf ibadah)
ini. Membuat sesajen-sesajen, menyembelih atau menanam sesembelihan,
dan menggantung atau memancangkan benda-benda, yang semuanya dilakukan
dengan maksud untuk menghindari petaka dan takut jika tidak dilakukan
maka petaka itu akan menimpa dirinya. Semua ini termasuk perbuatan
menyekutukan ALLAH, karena telah mengalihkan khauf ibadah tersebut kepada selain ALLAH.
Bukankah ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa berfirman:
(وَالَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ لا يَخْلُقُونَ شَيْئاً وَهُمْ يُخْلَقُونَ) (النحل:20)
Mereka yang menyeru selain ALLAH, yaitu yang tak mampu menciptakan sesuatu, bahkan sesuatu yang diciptakan) (An-Nahl:30)
Dan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam telah mengajarkan kita melalui do’anya:
ببسم الله الذي لا يضر مع إسمه شئ في الأرض ولا في السماء و هو السميع البصير
(Dengan Nama ALLAH Yang dengan NYA tak ada satu pun yang dapat
mencelakakan, di langit maupun di bumi. Dan IA Maha Mendengar dan Maha
mengetahui)
Maka ketika hati ini terdorong -disebabkan bisikan syaithan atau adat
kebiasaan- untuk meyiapkan sesajen, menanam sesembelihan,atau
menggantung penangkal bala’, hendaknya kita bertanya, “Kenapa harus takut.
Apakah layak sesuatu yang tak dapat memberikan man’faat dan
mendatangkan mudharat menerima rasa takutku. Kenapa sesuatu yang tak
dapat menciptakan dan tak mampu -bahkan menyelamatkan dirinya sendiri-
harus dimuliakan melalui rasa takutku?“
Takut Yang Tersembunyi
Takut yang tersembunyi (khauf sirry)
adalah takut yang sesungguhnya tidak beralasan dan tidak pada tempatnya
kita merasa takut. Dan tidaklah timbul rasa takut semacam ini kecuali
karena telah tertanam keyakinan bahwa sesuatu yang ditakutinya itu dapat
mendatangkan mudharat atau petaka baginya. Maka takut yang demikian ini
(sebagaimana yang dijelaskan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Sholih Al
Utsaimin -rahimahullahu ta’alaa- di dalam Syarah Tsalatsatul Ushul) merupakan jenis kesyirikan.
Perhatikanlah, wahai kaum muslimin. Betapa upaya untuk menanamkan
bibit kesyirikan kepada umat melalui jalan ini begitu nampak. Para
produser film dan sutradaranya -atas nama imaginasi dan kreativitas
seni- menjadi kader dan pelanjut para pendongeng primitif, ramai-ramai
menebarkan khauf sirry ini. Entah dari mana atau siapa yang
mengilhami mereka untuk menceritakan kejadian-kejadian yang dapat
menimbulkan rasa takut manusia kepada syaithan atau jin itu.
Akhirnya sebelum rasa takut kepada ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa
tertanam pada anak-anak kita bahkan orang dewasa sekalipun- rasa takut
mereka kepada syaithan sudah tertanam lebih dahulu. Kalau dikatakan
kepada mereka, “Jangan lakukan ini atau itu, nanti dimurkai ALLAH!”
Kita dapati mereka melanggarnya karena tidak takut sama sekali terhadap
kemurkaan ALLAH. Akan tetapi, kalau dikatakan kepada mereka,”Jangan lakukan ini atau itu, nanti jin atau syaithan penunggu tempat ini akan marah!”
Kita dapati mereka segera menta’ati larangan atau perintah itu karena
takut mendapat petaka. Kalau dinasihatkan kepada mereka,”Jangan bergaul dengan bajingan itu, karena dia sangat berbahaya dan tega mencelakakan dirimu!”
Kita dapati mereka tetap bergaul akrab dengan bajingan tersebut dan
tidak takut sama sekali bajingan tersebut akan menipu dan
memperdayakannya. Namun jika dikatakan kepada mereka, “Tolong temani sebentar mayat (bajingan) temanmu ini di ruang mayat sendirian sementara keluarganya belum datang melayat!” Kita dapati mereka mencari teman lain karena takut menunggui mayat tersebut sendirian.
Manakala anak-anak kita lebih takut kepada ceritra-ceritra takhayul
temannya ketimbang amarah dan pukulan orang tuanya, atau dia lebih
berani berkelahi -dengan lawan yang lebih besar sekalipun- ketimbang
harus pergi sendirian ke kakus yang terletak jauh di belakang rumah,
sesungguhnya anak tersebut telah mengidap khauf sirry dan bibit-bibit kesyirikan. Karena tidaklah khauf sirry
itu muncul kecuali karena ada keyakinan bahwa yang ditakuti itu memang
layak untuk ditakuti, sebagaimana seharusnya perasaan tersebut ditujukan
semata kepada ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa.
Maka jika muncul perasaan takut ketika kita harus meliwati daerah
pekuburan di malam hari, sehabis mendengar ceritra-ceritra takhayul dan
khurafat, atau karena mendengar longlongan anjing di tengah malam,
hendaklah kita bertanya, “Kenapa harus takut.
Apakah sesuatu yang tak dapat menciptakan -walau sebiji kacang- dapat
mencelakakan dan mendatangkan petaka bagiku. Kenapa takut yang telah
ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa karuniakan kepada ku -demi keselamatanku-
harus aku tujukan kepada yang tidak dapat menyelamatkan diriku?“
Kenapa Harus Takut ?
Ya, kenapa harus takut itu artinya: Apakah takutnya
kita kepada sesuatu hanya bersifat tabi’at? Apakah takut yang bersifat
tabi’at itu telah menyebabkan kita melalaikan perintah dan melanggar
larangan ALLAH Subhaanahu wa ta’alla ? Apakah yang mendorong kita melakukan ritus-ritus tertentu sedangkan hal tersebut tidak pernah diperintahkan ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa
? Mengapa sesuatu yang tak mampu mendatangkan petaka itu dapat
menggetarkan hati kita ? Dan terakhir, kenapa kita harus takut hanya
kepada ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa ?
Ya, takut adalah sebentuk perasaan yang ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa
karuniakan justru demi keselamatan hamba-NYA di dunia maupun di
akhirat. Yang dengannya seorang hamba menjauh dari segala yang dapat
mencelakakan dirinya. Maka bagaimana mungkin perasaan yang IA karuniakan
kepada kita dengan rahmat-NYA- itu kemudian kita persembahkan kepada
selain DIA. Sebagaimana kita diciptakan untuk beribadah kepada NYA, maka
bagaimana hukumnya jika kemudian kita beribadah kepada selain NYA.
0 komentar:
Posting Komentar