Bekal Diri agar Tak Jadi Pemimpin Dzalim
“Ya Allah, barangsiapa memegang urusan umatku (memimpin rakyat) lalu ia bersikap kejam, maka kejamilah dirinya.”
SETIAP manusia adalah pemimpin, baik itu pemimpin bagi orang
lain maupun bagi dirinya sendiri. Presiden adalah pemimpin bagi seluruh
rakyat di negerinya. Suami adalah pemimpin bagi istri dan anak-anaknya.
Istri adalah pemimpin rumah tangga jika suaminya telah tiada. Pembantu
adalah pemimpin yang mengatur dan menyediakan kebutuhan tuannya,
demikian seterusnya. Pada intinya, masing-masing kita adalah pemimpin
yang memiliki hak dan kewajiban yang dengannya kelak akan diminta
pertanggungjawaban.
Kewajiban sebagai pemimpin adalah mengayomi orang-orang yang
mengikutinya, berbuat adil kepada semua yang dipimpinnya, serta mencegah
terjadinya kemunkaran di muka bumi ini. Dan setiap kewajiban harus
dipertanggungjawabkan di hadapan Sang Pencipta kehidupan ini.
Sebenarnya, amanah yang kita emban sebagai khalifah di muka bumi cukup
berat. Sampai-sampai langit, gunung, lautan dan lainnya tiada yang
sanggup menerima amanah tersebut. Hanya manusia yang berani dan siap
ditunjuk menjadi pengelola bumi ini demi kemaslahatan umat-Nya.
Sayangnya, banyak manusia di sekitar kita yang ingkar atas amanah
yang telah ia dapatkan. Banyak pemimpin yang mengabaikan hak-hak
rakyatnya, tidak jarang suami yang menganiaya istri dan anaknya, serta
tak terhitung jumlah istri yang telah menghianati suaminya. Inilah
sebagian fakta yang tidak dapat kita pungkiri, karena sering terjadi di
depan ‘batang hidung’ kita. Akibatnya, sejumlah ketidak-adilan dan
kezaliman menjadi tradisi yang turun-temurun di setiap generasi umat
manusia.
Maraknya kekerasan, pembantaian, pertikaian dan perilaku kriminal
lainnya menjadi indikasi jika umat manusia hingga detik ini belum
memiliki jiwa kepemimpinan yang adil lagi bijaksana. Karena pemimpin
yang adil selalu menerapkan aturan kepada siapa saja tanpa ‘pandang
bulu’, sementara pemimpin yang bijak akan memanfaatkan kekayaan alam
untuk kesejahteraan umat manusia.
Logikanya, jika umat sudah hidup adil dan sejahtera, buat apa mereka
melakukan tindak kejahatan? Toh, semua yang dibutuhkan sudah mereka
dapatkan sesuai porsinya.
Fenomena yang ada, teramat banyak manusia yang hanya mementingkan
diri atau kelompoknya sendiri. Sehingga mereka dengan rakusnya menilap
hak-hak orang lain demi memenuhi ambisinya. Tak terhitung jumlah
pemimpin-pemimpin yang berbuat kejam terhadap para bawahan atau
pengikutnya. Dan yang sedang marak beberapa dekade belakangan ini,
banyaknya oknum penguasa pemerintahan yang telah menelantarkan rakyatnya
selama ia menduduki kursi jabatannya. Krisis kepemimpinan yang
berkepanjangan tersebut telah melanda banyak negeri, termasuk negeri
kita tercinta Indonesia.
Carut-marutnya sistem pendidikan nasional, tingginya harga
bahan-bahan pokok, mahalnya biaya kesehatan, centang-perenangnya roda
pemerintahan penyebab lemahnya hukum dan meningkatnya tindak kriminal.
Serta ketidak-adilan lainnya menjadi bukti bahwa sebagian besar pemimpin
bangsa ini telah melalaikan kewajibannya. Alhasil, mayoritas kehidupan
rakyat di tanah air ini masih berkutat dengan kemiskinan dan
keterbelakangan.
Lalu, dimanakah akar permasalahannya? Inilah yang harus segera kita
uraikan agar kezaliman di muka bumi, khususnya di Indonesia dapat segera
berakhir. Kita semua tentu sudah bosan mendengar kasus pencabulan,
perkosaan, kerusuhan, tawuran pelajar, pertikaian berkepanjangan,
peperangan dan pembantaian. Saatnya kini, semua itu segera dihapuskan
dan digantikan menjadi kehidupan yang adil, sejahtera, aman dan sentosa.
Peringatan bagi yang Zalim.
Sebagai makhluk yang telah dipercaya mengelola bumi beserta isinya,
jiwa kepemimpinan dalam diri setiap kita harus ditumbuh-kembangkan.
Kepedulian terhadap hak-hak orang lain merupakan salah satu landasan
dalam memimpin, baik itu memimpin diri sendiri maupun memimpin orang
lain. Jika setiap individu mampu tampil sebagai pemimpin yang adil lagi
peduli, tidak mustahil kehidupan umat manusia mencapai titik kedamaian.
Anjuran bagi setiap pemimpin khususnya para pemimpin rakyat, agar
melaksanakan kewajibannya dan menunaikan hak-hak rakyat yang
dipimpinnya. Pemimpin harus bersungguh-sungguh dalam membimbing
pengikutnya untuk meraih ridha Allah semata. Sebagaimana firman-Nya
dalam al-Qur’an,
إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيتَاء ذِي
الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاء وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ
يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
”Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran
kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (QS an-Nahl [16]: 90).
Sebaliknya, peringatan tegas kepada para pemimpin yang zalim berupa
kesulitan-kesulitan dan ancaman siksaan baik di dunia maupun di akhirat.
Tidak hanya pemimpin rakyat, siapaun yang berbuat kezaliman kepada
orang lain, dirinya dilarang Allah memasuki surga-Nya.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam bersabda, artinya, “Apabila
ada hamba atau pemimpin yang diamanahi mengurusi umat lalu ia tidak
berusaha keras untuk membantu dan tidak pula menasehati umatnya, maka
Allah mengharamkan surga baginya.” (Riwayat Muslim).
Perintah kepada para pemimpin agar tidak berbuat kejam dan zalim
kepada rakyatnya merupakan pilar membangun suatu bangsa. Kezaliman yang
dimaksud diantaranya penindasan dan perampasan hak-hak rakyat. Pemimpin
juga diperintahkan untuk menyeru dan mencegah terjadinya perbuatan
munkar. Bukan hanya diam melihat keterpasungan rakyatnya dalam
penderitaan, sementara dirinya hidup dalam kemewahan.
Bahkan, Rasulullah pernah berdoa, yang artinya, “Ya Allah,
barangsiapa yang memegang urusan umatku (memimpin rakyat) lalu ia
bersikap kejam, maka kejamilah dirinya. Dan barang siapa memegang urusan
umatku dan ia bersikap sayang, maka sayangilah dirinya.” (Riwayat
Muslim).
Pelajaran dari hadis tersebut diantaranya; Rasulullah meminta kepada
Allah untuk memberi balasan yang setimpal kepada apa yang telah
dilakukan para pemimpin. Selain itu, bentuk perhatian Rasulullah kepada
urusan umat menjadi teladan bagi kita semua dalam melaksanakan tugas
sebagai seorang pemimpin. Jangankan kepada rakyat, hidup bertetangga
saja kita diperintahkan untuk saling peduli dan saling memperhatikan.
Menjadi seorang pemimpin tidak semestinya meninggalkan kesederhanaan
dan kepedulian terhadap orang lain. Pemimpin yang bijak tentu akan
berlaku santun kepada siapa saja, terlebih-lebih kepada orang yang
mengikutinya. Dalam hal ini, Allah telah memerintahkan kepada setiap
pemimpin untuk merendahkan diri di hadapan rakyat atau orang yang
dipimpinnya, terutama orang-orang yang beriman. (QS. Asy-Syuara: 215).
Rakyat Wajib Mengingatkan.
Manusia adalah makhluk yang bergelimang dosa. Wajar jika kemudian ada
orang, baik itu pemimpin atau bukan pemimpin yang pernah berbuat
kesalahan. Namun, tidak dibenarkan jika kesalahan itu menjadi suatu
kebiasaan dan menyengsarakan orang banyak. Lumrah ada pemimpin yang
khilaf sehingga menyakiti hati rakyatnya, asalkan pemimpin itu segera
sadar gdiri dan memperbaiki kesalahannya itu.
Apabila ada pemimpin yang tetap melakukan kesalahan, wajib bagi
rakyat memperingatkannya. Dalam hal kebaikan, semua manusia memiliki
kewajiban yang sama untuk saling mengingatkan, tanpa harus membedakan
usia maupun jabatan. Allah berfirman dalam al-Qur’an surat al-Ashr ayat
ke-3, yang artinya, “…dan saling menasehati agar kalian mentaati
kebenaran dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran.”
Di dalam hadisnya, Rasulullah juga menjelaskan ketika ada pemimpin
yang buruk dan zalim, maka kita dilarang menjadi bagian dari kezaliman
itu. Jika ada pemimpin yang mengajak dan memerintahkan perbuatan
maksiat, kita harus menolaknya dengan santun dan semampunya mengingatkan
pemimpin tersebut untuk kembali pada kebaikan. Sebagaimana pesan
Rasulullah kepada Ubaidillah bin Ziyad yang kemudian diteruskan kepada
anaknya, Aidz bin Amr RA.
Sungguh, sebaiknya-baiknya umat yang saling mencintai. Pemimpin
mencintai rakyatnya dan rakyat mencinta pemimpinnya. Pemimpin selalu
mendoakan kesejahteraan untuk rakyatnya dan rakyatnya mendoakan kebaikan
untuk pemimpinnya. Maka, sikap saling peduli inilah yang akan
menumbuhkan rasa cinta, kasih sayang, keamanan dan ketentraman.
Pertanyaannya, bolehkah rakyat memberontak kepada pemimpinnya? Jawabnya,
Rasulullah melarang pemberontakan kepada pemimpin yang masih
melaksanakan shalat sesuai syari’at-Nya.
Kesimpulannya
Menjadi pemimpin merupakan fitrah manusia yang telah dibawanya sejak
manusia itu lahir ke dunia fana ini. Hanya saja, perkembangannya
tergantung pada potensi masing-masing individu. Apakah dirinya mampu
menjadi pemimpin umat, atau hanya menjadi pemimpin bagi orang
disekitarnya, bahkan hanya mampu memimpin dirinya sendiri, itu semua
terletak dalam bakat setiap manusia. Bersyukurlah mereka yang telah
mampu dan diberi amanah mengurusi kepentingan umat, serta memiliki
kekuasaan untuk mengatur dan membuat kebijakan publik.
Orang yang diamanahi menjadi pemimpin rakyat akan mendapat peluang besar meraih surga, apabila dirinya mampu menjalankan amanah dengan sebaik-baiknya.
“Sesungguhnya, orang-orang yang berbuat adil kelak di sisi Allah
berada di atas mimbar-mimbar cahaya. Orang-orang yang berbuat adil dalam
keputusannya, adil terhadap keluarga dan dalam kepemimpinannya.”
(Riwayat Muslim).
Rasulullah juga telah menjelaskan, diantara penghuni surga adalah
terdapat orang-orang yang memiliki kekuasaan lalu berbuat adil, orang
yang memiliki sifat penyayang kepada keluarga dan setiap orang
disekitarnya, serta orang yang menanggung beban keluarga dan banyak
orang lainnya namun dirinya tidak mau hidup meminta-minta. Termasuk
meminta atau menerima gratifikasi dan sejenisnya.
Pada akhirnya, apabila masing-masing orang dalam kepemimpinannya
secara sadar dan ikhlas memberikan apa yang menjadi hak orang lain, maka
tidak akan terjadi yang namanya korupsi.
Karena perilaku korup hanya dipraktekan oleh pemimpin-pemimpin yang
tidak mempedulikan hak orang banyak, mereka hanya mementingkan diri atau
golongannya sendiri. Marilah kita tumbuhkan jiwa kepemimpinan yang
dapat mengayomi diri sendiri dan orang-orang disekitar, terlebih-lebih
seluruh umat manusia.
Insya Allah.
Dosen STKIP
Hidayatullah Batam
0 komentar:
Posting Komentar