Selasa, 20 Agustus 2013

Renungkan dan Pikirkanlah

DUA MATA HATI 

Syekh Abdul Qadir Al Jilani menerangkan bahwa hati memiliki dua mata. Satu mata dapat melihat tajalli (penzahiran) sifat-sifat dan nama-nama Allah. Pandangan ini akan terus berlanjut sepanjang evolusi kerohanian berlangsung, yaitu pengalaman-pengalaman dalam tingkat kerohanian menuju Allah SWT. Mata yang lainnya hanya melihat apa yang diterangi oleh cahaya atau nur tauhid dan keesaan Allah SWT. Seseorang yang telah masuk ke peringkat ‘di sisi Allah’ saja yang dapat melihat keesaan Allah yang mutlak. Yakni mereka yang berada di peringkat tertinggi, tingkat tajalli zat.

 

Untuk sampai ke tingkat tersebut di dalam dunia ini, kita harus membersihkan diri dari segala sifat keduniawian serta keegoan diri. Jauh dan dekatnya jarak pengembaraan kita menuju ke peringkat tersebut, tergantung dari sejauh mana jarak yang kita tempuh antara diri kita dengan hawa nafsu dan ego kita.

Tujuan yang ingin dicapai adalah kesadaran tentang kosongnya diri kita dan kesadaran bahwa yang wujud hanya Allah SWT. Allah Maha Agung dan Maha Besar, segala puji hanya untuk-Nya. Allah Maha Pengasih dan Maha Pengampun. Dia menzahirkan diri-Nya. Dia membentangkan hijab antara Dia dengan kita. Dia yang dikenali itu tersembunyi dalam Dia yang tidak dikenali. 


Renungkan dan pikirkanlah.
------------------------------------
Malu

“Iman itu ada tujuh puluh cabang lebih. Dan malu adalah salah satu cabang iman.” (Shahih Muslim No.50)

Ketika kecil kita sering diajarkan orang tua bahwa kalau kita mandi di muka umum itu malu dilihat orang misalnya, atau jika kita ketahuan bohong itu memalukan, jika kita ketahuan menyontek itu memalukan, dan sebagainya. 

Namun Benarkah kadar malu manusia masa kini ini semakin berkurang? Sebuah pertanyaan yang perlu kita jawab dan kita koreksi pada pribadi kita masing-masing . Saudaraku, Budaya malu di lingkungan sekitar kita saat ini sedang berada dalam taraf yang menghawatirkan kalau tak boleh dikatakan krisis moral. Bagaimana tidak. Orang terang-terangan melakukan korupsi, perzinahan, perjudian dan perbuatan tidak halal lainnya sekarang makin berani saja dan terang-terangan, bahkan berjamaah. Tak peduli dengan namanya yang sangat Islami, tak peduli dengan lingkungannya yang berlabel dan berpapan nama “agama”. Yang penting saya bisa kaya, yang penting saya bisa menikmati dunia. Itulah jargon mereka. Orang semakin terbiasa melihat hal-hal yang tidak syar’i. Anak-anak telah dibiasakan menonton perilaku orang dewasa yang semestinya bukan konsumsi mereka. Para remaja dibiarkan dengan kehidupan yang serba boleh. Wal hasil mereka melakukan hal-hal yang sebelumnya tabu dan mengandung banyak dosa itu menjadi sesuatu hal yang wajar dan biasa-biasa saja, boleh-boleh saja. Lebih parahnya lagi, dilegalkan. Naudzubillah min dzalik.

Seakan sudah imun dengan apa yang kita lakukan. Segala perilaku yang dilakukan berulang-ulang akan memberikan efek terbiasa bagi penikmatnya hal baik ataupun hal buruk.Orang terbiasa berperilaku memalukan sehingga makin biasa dan dianggap biasa.  Demikian juga halnya dengan sifat malu yang kian luntur. Orang tak lagi malu tampil maaf ,telanjang, di muka umum. Anak muda tak lagi malu berbuat asusila.

Dalam sebuah riwayat dikatakan Ibnu Umar ra., ia berkata,Nabi saw. mendengar seseorang menasehati saudaranya dalam hal malu, lalu Nabi saw. bersabda: Malu adalah bagian dari iman. (Shahih Muslim No.52). Lantas predikat apa yang patut kita sematkan bagi para prilaku tersebut di atas. Jika dikaitkan dengan sabda Rasul tersebut, pantaslah kita pertanyakan pada diri kita, seberapa kadar keimanannya.
Saudaraku, marilah kita koreksi diri, kita perbaiki akhlak kita, budayakan malu tertanam pada diri kita. Malu  jika kita menipu, malu jika kita berbuat curang, malu jika kita melakukan kemaksiatan. Sesungguhnya Allah masih memberi kesempatan pada kita memperbaiki diri. Yakinlah bahwa Allah masih belum membuka aib kita dihadapan banyak orang. Yakinlah bahwa Allah masih menyembunyikan perbuatan buruk kita. Maka dari itu bersegeralah beritighfar dan berbenah diri sebelum kita benar-benar malu atas perbuatan dosa kita yang telah ditampakkan Allah. 

Sebuah pertanyaan yang pantas kita renungkan, malukan kita jika berbuat dosa? Malukah kita menjadi pelindung orang-orang yang melakukan perbuatan dosa? Malukah kita jika membantu orang berbuat dosa? Apabila jawabannya Ya, maka kebaikan masih senantiasa mengiringi perbuatan kita, sebagaimana sabda Nabi saw,”Malu itu tidak datang kecuali dengan membawa kebaikan.” (Shahih Muslim No.53) 

Wallahu a’lam bishawab.
 By

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Press Release Distribution