Takut Dan Harap Dalam Islam
Takut dan harap adalah ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat
dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Keduanya juga adalah fitrah
manusia, yang senantiasa ada dalam diri setiap individu. Sisi yang
pertama tidak akan berarti tanpa adanya sisi yang ke-duanya, demikian
pula sebaliknya keduanya saling berhubungan erat.
Islam menyeru kepada manusia agar senantiasa takut hanya kepada Allah
semata, dan bukan kepada yang lainnya perhatikanlah ayat Allah. Allah
berfirman:
“Mengapa kamu tidak memerangi orang-orang yang merusak
sumpah (janjinya), padahal mereka telah keras untuk mengusir Rasul dan
mereka yang pertama kali memulai memerangi kamu Mengapa kamu takut
kepada mereka, padahal Allah-lah yang berhak untuk kamu takuti, jika
kamu benar-benar orang-orang beriman. (QS. 9:13)
Ayat tersebut menggambarkan betapa rasa takut pada Allah itu mutlak
harus ada pada diri orang orang yang mengatakan dirinya telah beriman
kepada-Nya. Sebab manusia yang paling takut kepada Allah adalah manusia
yang paling tahu tentang dirinya dan Tuhannya, itulah sebabnya
Rasulullah mengatakan:
“Demi Allah! Aku adalah orang yang paling tahu tentang Allah di antara kamu, dan paling takut pula kepada-Nya (HR. Bukhari)
Seorang mukmin sejati, seharusnya memiliki ruh keberanian untuk mengatakan yang benar adalah benar, dan mengerjakannya, demikian pula sebaliknya mengatakan kebatilan adalah batil lalu meninggalkannya, tanpa rasa takut kepada satu makhluk pun di dunia.
Takut Kepada Allah
Tidak terbayangkan seandainya ada seorang mukmin yang tidak punya
rasa takut kepada Allah, betapa pun lemah imannya. Semakin tebal
keimanan seseorang yang berbanding lurus dengan makrifatnya kepada
Allah, semakin besar pula rasa khauf yang ada pada dirinya kepada
Allah. Rasulullah saw menggambarkan ganjaran yang dijanjikan Allah swt
kepada hamba-Nya yang senantiasa menangis karena takut kepada-Nya.
“Seorang hamba yang menangis berderai air mata lantaran takut kepada
Allah ta’ala, tidaklah akan masuk neraka sehingga air susu bisa kembali
ke sumbernya” (HR.Turmudzi)
Dalam hadits yang lain Rasulullah bersabda: “Dua mata yang tidak akan
tersentuh oleh api neraka, yaitu mata yang senantiasa menangis karena
takut kepada Allah, dan mata yang tidak tidur (di malam hari) karena
berjaga-jaga di jalan Allah”(HR. Muslim).
Takut kepada Allah tidaklah berarti kita harus mengeluarkan air mata
sederas-derasnya lalu kita usap, lalu menangis, kemudian menghapusnya
lagi. Akan tetapi takut kepada Allah adalah meninggalkan suatu perbuatan
yang memang sudah dilarang oleh Allah dan kita takut akan azab yang
ditimbulkannya.
Abul Qosim al Hakim ra, berkata: “Barang siapa yang takut kepada
sesuatu, ia akan menjauhinya, tetapi barang siapa yang takut kepada
Allah maka ia akan mendekati-Nya”.
Rasa takut kepada Allah, akan senantiasa menjauhkan kita dari hawa
nafsu untuk melakukan kejahatan atau kemaksiatan. Kita akan selalu
mengingat bahaya hukuman yang akan ditimpakan Allah. Segala pikiran,
tindakan, dan ucapan kita akan terkontrol dengan baik karena adanya
khauf ini, sebagaimana pula segala daya dan upaya kita kerjakan agar
selalu merasa dekat kepada Allah.
Setiap manusia tidaklah luput dari kesalahan yang diperbuatnya, dan
itu juga bisa terjadi pada orang beriman kepada Allah, bahkan sejarah
mencatat di kalangan generasi sahabat ada juga yang berbuat kesalahan,
seperti melakukan zina, hanya saja ia cepat menyadari kesalahannya
tersebut, dan rela untuk dijatuhkan hukuman rajam kepada dirinya sebagai
sanksi atas perbuatannya. Tentu saja itu dilakukannya karena keimanan
sahabat tersebut yang kemudian memunculkan rasa takut pada dirinya akan
azab Allah yang akan menimpanya di akhirat kelak, serta berharap akan
mendapatkan ampunan Allah di akhirat
nanti dengan menjalani hukumannya di dunia.
Berharap Kepada Allah
Harapan akan ampunan Allah yang disertai dengan usaha-usaha atau langkahlangkah untuk mencapainya inilah yang disebut sebagai roja’ atau optimis. Roja’
(optimis) sudah pasti berbeda dengan anganangan kosong. Orang yang
beranganangan kosong lalu ia yang berharap akan mendapatkan sesuatu,
sedang ia tidak melakukan suatu usaha untuk mencapainya. Ia ingin
mendapatkan rezki tetapi berdiam diri saja, yang tentu saja mustahil
untuk mendapatkannya. Maka harapan yang benar adalah, bila
setiap mukmin mempunyai harapan kepada Allah dan harapannya itu membuat
dirinya menjadi taat dan mencegahnya dari kemaksiatan, akan tetapi bila
harapannya hanya angan-angan saja, sementara dirinya tenggelam dalam
kemaksiatan maka harapannya itu sia-sia dan percuma saja. Dan orang
seperti inilah yang dimaksud oleh Rasulullah saw, sebagai orang yang
bodoh, kebalikan dari orang yang cerdas. Dalam sabdanya Beliau
menyebutkan:
“Orang yang cerdas itu, adalah orang yang membersihkan dirinya dari
“kotoran”, lalu melakukan amal perbuatan kebaikan untuk mendapatkannya
-hasilnya- di hari setelah kematian, sedang orang yang dungu itu, adalah
orang yang mengikuti hawa nafsunya kemudian berangan-angan (bukan
berharap, pen) kepada Allah –mendapatkan ampunan dan kenikmatan-. (HR.
Turmudzi)
Renungkanlah perkataan Yahya bin Muadz berikut ini sehubungan dengan
kalimat di atas: “Di antara ketertipuan yang paling besar adalah terus
menerus berbuat dosa sambil mengharapkan ampunan tapi tanpa penyesalan,
mengharapkan untuk dekat dengan Allah tanpa diiringi ketaatan
kepada-Nya, menanam benih neraka tetapi mengharap panen surga, ingin
tinggal bersama orang-orang yang taat tapi dengan cara berbuat maksiat,
menunggu-nunggu pahala tanpa berbuat amal kebaikan”.
Demikianlah nasib orang-orang yang suka berangan-angan kosong. Mereka
bukanlah orang yang beruntung, akan tetapi mereka adalah orang yang
tertipu karena kebodohannya sendiri.
Untuk mencapai kesempurnaan sikap roja’, maka ada tiga perkara yang harus diperhatikan seperti berikut:
Cinta
Yaitu mencintai Allah dan Rasul-Nya atas segala yang lainnya, dimana ada tiga maqam yang harus dimiliki, yaitu:
Pertama, maqam takmil (maqam
penyempurnaan). Yaitu hendaklah Allah dan Rasul Nya lebih ia cintai
daripada yang lainnya, yang berarti pula tidak hanya bermakna sekedar
cinta, tapi cinta yang sebenar-benarnya cinta atau sampai pada
kesempurnaan cinta.
Kedua, maqam tafriq (maqam
pembedaan), yaitu, mencintai seseorang hanya karena Allah semata, dan
juga sebaliknya membenci seseorang baik berupa perkataan maupun
perbuatan, semata hanya karena hal tersebut dibenci oleh Allah.
Ketiga, maqam daf’ul al-naqidh (maqam
penolakan atas lawan iman). Yaitu hendaklah membenci segala sesuatu
yang berlawanan dengan iman dengan kebencian yang melebihi kebenciannya
bila dilemparkan ke dalam neraka.
Maka cinta kepada Allah sesungguhnya tidaklah akan sempurna kecuali
dengan menyerahkan semua loyalitasnya hanya kepada-Nya saja, tentu saja
dengan menyesuaikan dirinya dengan apa yang Allah suka dan benci, dengan
kata lain bahwa ia mencintai apa yang dicintai Allah dan begitu juga ia
membenci apa yang Allah benci. Sesungguhnya cintalah yang menggerakkan
kehendak hatinya dan setiap kali tuntuta hatinya itu menguat, setiap itu
pula ia selalu melaksanakan apa yang dicintai Allah.
Takut harapannya hilang
Setiap orang yang mengharap adalah juga orang yang takut pada saat
yang sama. Bahwa orang yang mengharap mendapatkan ridha dan ampunan-Nya,
maka pada saat itu pula ia akan senantiasa merasa takut melakukan
pekerjaan yang tidak disukai oleh Allah swt. Untuk membina rasa takut
kepada Allah, ada tiga hal yang patut dicermati:
Pertama, mengetahui dosa-dosa dan keburukannya serta akibat dari perbuatan dosa tersebut.
Kedua, meyakini kebenaran akan ancaman Allah, bahwa Allah swt telah menyediakan siksaan atas setiap dosa yang dilakukan manusia.
Ketiga, memahami bahwa boleh jadi ia tidak akan pernah bisa melakukan taubat dari dosa-dosa yang telah diperbuatnya.
Kuat dan lemahnya rasa takut kepada Allah dalam diri seorang hamba,
bergantung pada kuat atau lemahnya ketiga hal itu dalam dirinya. Dengan
rasa takut akan memaksa seorang hamba untuk berlari kembali kepada
Allah. Merasakan ketenteraman di haribaan-Nya. Itulah rasa takut yang
disertai dengan kelezatan iman di hatinya. Juga ketenangan hati,
ketenteraman jiwa dan cinta yang senantiasa memenuhi ruang hatinya.
Berusaha untuk mencapainya
Untuk mendapatkan sesuatu yang diharapkan seorang hamba pada Allah
swt, tentulah dengan usaha yang sungguh-sungguh. Di samping dengan rasa
cinta dan takut ia akan berusaha dengan semaksimal mungkin untuk
mendapatkan harapannya tersebut.
Ketiga hal tersebut di atas menjadi penting karena raja’ yang
tidak dibarengi dengan tiga perkara di atas, maka itu hanyalah ilusi
dan hayalan. Sebab orang yang berharap adalah juga orang yang takut,
seperti orang yang ingin sampai di suatu tempat dengan tepat waktu,
tentu ia takut untuk terlambat.
Begitulah selayaknya seorang mukmin, menjadikan rasa takut dan
menggantungkan harapannya hanya kepada Allah. Dengan rasa takut kepada
Allah, maka ia akan mampu menahan organ tubuhnya dari segala
kemaksiatan. Kemudian di saat yang sama ia senantiasa berharap atas
ampunan dan ridho-Nya, maka dengan begitu akan menjadikannya sebagai
hamba yang akan selalu menggantungkan dan menyerahkan dirinya kepada
Allah.
Wallahu a’lam bisshawab
0 komentar:
Posting Komentar