Tiga Hal yang Harus Diperhatikan oleh Seorang Suami pada Istrinya di Masa-masa Awal Rumah Tangganya
Pernikahan adalah ikatan hukum, agama dan psikologis antara seorang
lelaki dewasa dan perempuan dewasa untuk membangun rumah tangga,
memiliki keturunan dan bersama-sama mengabdi kepada Allah SWT dengan
menjalankan segala perintah-Nya. Allah SWT memberikan tuntunan-Nya
kepada kaum Muslimin bahwa dalam rumah tangga, suami adalah pemimpin
rumah tangga.
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena
Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian
yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shaleh, ialah
yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada,
oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu
khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di
tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka
menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (An-Nisa : 34).
“Setiap kamu adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas
kepemimpinannya. Seorang imam (amir) pemimpin dan bertanggung jawab atas
rakyatnya. Seorang suami pemimpin dalam keluarganya dan bertanggung
jawab atas kepemimpinannya. Seorang isteri pemimpin dan bertanggung
jawab atas penggunaan harta suaminya. Seorang pelayan (karyawan)
bertanggung jawab atas harta majikannya. Seorang anak bertanggung jawab
atas penggunaan harta ayahnya.” (HR. Bukhari-Muslim)
Tanggung jawab suami sebagai pemimpin di rumah tangga adalah berat.
Ia akan diminta pertanggungjawabannya oleh Allah SWT di akhirat kelak
tentang semua apa yang dipimpinnya. Begitu sebuah rumah tangga
terbentuk, apa yang harus diperhatikan oleh seorang suami pada istrinya?
Pada awal-awal rumah tangganya, ada tiga hal yang harus dilakukan oleh
seorang suami pada istrinya untuk menyelamatkan bahtera rumah tangganya
ke depan dan untuk mewujudkan dirinya sebagai pemimpin.
Memeriksa Tauhidnya
Tauhid adalah dasar keimanan setiap Muslim. Tauhid adalah dasar yang
menentukan benar tidaknya dan diterima tidaknya peribatan sebuah
keluarga kepada oleh Allah SWT. Dengan demikian, tauhid adalah fundasi
pertama yang harus diperhatikan dalam membangun rumah tangga. Dasar inti
ajaran tauhid terdapat dalam tiga tempat: Pertama, dalam
rukun iman yang berisi enam pengakuan dan keyakinan kepada Allah,
malaikat-Nya, nabi dan rasul-Nya, Al-Qur’an, qadha dan qadar serta hari
akhir. Kedua, dalam surat Al-Ikhlas yaitu pengakuan tentang
keesaan Allah, Allah tempat bergantung segala sesuatu, Allah tidak
beranak dan dilahirkan, dan pengakuan tidak ada yang setara dengan
Allah. Ketiga, dalam ‘ummul kitab yaitu surat Al-Fatihah yang berbunyi: “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in” (Hanya kepada Allah kita menyembah dan hanya kepada Allah memohon pertolongan).
Tauhid yang benar akan menjadi dasar yang benar pula bagi seluruh
peribadatan keluarga kepada Allah SWT. Tauhidnya salah, menyimpang atau
belum lurus, akan menyebabkan seluruh amal-amal ibadah keluarga tersebut
tertolak bahkan celaka terjerumus dalam jurang kemusyrikan yang dosanya
tidak akan diampuni kecuali dengan taubat nasuha (taubat yang
sungguh-sungguh). Bila tauhidnya tidak benar maka seluruh peribadatan
kepada Allah jadi percuma dan tidak membuahkan hasil yang diharapkan.
Jelaslah, tauhid adalah dasar utama dan pertama sebuah keluaga yang
akan menentukan mereka selamat atau celaka. Memeriksa tauhid istri di
awal-awal pernikahan dan membentuk rumah tangga (sebelum yang lain-lain)
adalah tugas suami sebagai pemimpin dan kepala rumah tangga. Bila
setelah sekian tahun bahkan sampai tua, tauhid istri dan kemudian
anak-tidaknya tidak diperiksa dan ternyata tidak lurus kepada Allah SWT,
maka yang akan diperiksa dan diminta pertanggungjawaban pertama kali di
hadapan Allah SWT kelak adalah suaminya.
Memeriksa Wudhu dan Shalatnya
Fundasi kedua adalah wudhu dan shalatnya. Fundasi kemusliman dan fundasi seluruh amal seorang Muslim adalah shalatnya. “Yang
pertama-tama dipertanyakan (diperhitungkan) terhadap seorang hamba pada
hari kiamat dari amal perbuatannya adalah tentang shalatnya. Apabila
shalatnya baik maka dia beruntung dan bahagia dan apabila shalatnya
buruk maka dia kecewa dan merugi” (HR. An-Nasaa’i dan Tirmidzi). “Barangsiapa meninggalkan shalat dengan sengaja maka dia kafir terang-terangan” (HR. Ahmad). Dalam hadits lain Rasulullah SAW juga menyatakan bahwa shalat adalah tiangnya agama (‘imaduddin). Barangsiapa menegakkan shalat, ia telah menegakkan agamanya (aqamaddin). Sebaliknya, meninggalkannya, berarti meruntuhkannya (hadamaddin).
Dengan demikian, shalat ada tiangnya agama dan yang paling dasar
dalam menjalan syari’at Islam. Tetapi, sebelum itu, sah tidaknya shalat
kita juga ditentukan oleh proses sebelumnya yaitu wudhunya. Wudhunya
benar, shalatnya akan benar, wudhunya salah shalatnya tidak sah. Wudhu
dan shalat tidak bisa dipisahkan. Hal-hal seperti ini mungkin dianggap
sepele padahal sangat penting menyangkut peranan dan tanggungjawab
seorang kepala rumah tangga. Karena merupakan dasar-dasar dalam
membangun rumah tangga yang taat kepada Allah untuk membangun keluarga
yang sakinah mawaddah warahmah, seorang suami harus
memperhatikan aspek-aspek dasar dan penting ini pada istrinya dan kelak
anak-anaknya, sebelum memperhatikan tugas, pernan dan tanggungjawabnya
dalam aspek-aspek lain.
Memeriksa Caranya Berhadats
Aspek “kecil” lain yang mungkin jarang diperhatikan selain wudhu
adalah soal berhadats (bersuci), disini terutama bersuci setelah
suami-istri melakukan hubungan seksual. Cara berhadats tentu harus
diperhatikan agar benar sesuai tuntunan Nabi SAW. Bila berhadatsnya
tidak benar, berarti setiap setelah melakukan hubungan, istri tidak
suci-suci. Tidak suci artinya kita beribadah dalam keadaan kotor (junub).
akan membuat seluruh amal ibadahnya tidak sampai dan tidak diterima
Allah SWT. Makanya, persoalan hadtas tidak bisa dianggap sepele. Bila
dihitung, berapa orang suami yang pernah bertanya dan ingin memeriksa
caranya berhadats istrinya agar sesuai dengan tuntunan ajaran Islam?
Jawabannya pasti sedikit sekali. Padahal, benarnya bersuci akan
menentukan ibadah-ibadah yang lainnya. Bila istri sudah mempelajari
agama sejak kecil, keturunan keluarga santri apalagi pernah mesantren,
mungkin gak ada masalah. Tapi, tidak sedikit juga istri yang karena
basis agamanya tidak kuat tidak terlalu menguasai persoalan fiqh ibadah
sehari-hari atau ia lebih banyak melakukannya dari tradisi yang belum
tentu benar.
Penutup
Inilah tiga fondasi “kecil” yang mungkin jarang diperhatikan seorang
suami pada istrinya. Mungkin dianggap bisa saja dan tidak ada masalah.
Atau, karena suami sibuk mengurus urusan-urusan yang “lebih besar,” atau
lebih fokus dan sibuk dalam urusan ekonomi dan urusan dunia lainnya.
Padahal, ketiga hal ini harus diperhatikan seorang suami pada istrinya
sejak ia mulai menikah dan membangun rumah tangganya. Fokus disini pada
istri karena pembahasannya tentang tanggung jawab suami. Tentu, disini
suami diasumsikan yang pemahaman dan praktek ibadahnya sehari-hari sudah
lebih dari istrinya. Ia menguasai agamanya lebih dalam. Bila keadaan
sebaliknya, istri yang lebih menguasai agama ketimbang suaminya, ya
tinggal dibalikkan saja. Istri berkewajiban membimbing suaminya yang
belum tahu banyak tata cara peribadatan dan pelaksanaan syari’at agama.
Jadi, sifatnya fleksibel saja. Namun, karena suami adalah pemimpin,
dialah yang harus lebih bertanggungjawab atas hal-hal dasar seperti ini
daripada istrinya.
Sudahkah para suami melakukannya? Siapkah menjawab pemeriksaan Allah
SWT di pengadilan akhirat kelak bahwa ternyata kita mengabaikan
kewajiban-kewajiban mendasar pada istri-istri kita yang akibatnya
ternyata keimanan kita tidak diterima dan ibadah-ibadah kita menjadi
percuma dan akhirnya akan membuat kita celaka?
Wallahu’alam!
0 komentar:
Posting Komentar